Jumat, 12 September 2025

Hari kusta internasional: Kusta merenggut masa remajaku dan bagaimana aku bangkit untuk sembuh

Kisah perempuan penyintas kusta berjuang sembuh dari 'penyakit yang paling distigmatisasi di bumi'

Gejala kusta mulai dirasakan Geby saat masih duduk di bangku Kelas 1 SMP, hanya muncul bercak-bercak merah di pipi tapi makin lama makin besar. Petugas kesehatan di Puskesmas saat itu hanya bilang dia mungkin alergi sabun atau makanan dan hanya diberi obat oles di pipi.

Namun saat menginjak usia SMA, gejalanya kian parah. Geby sering menderita demam berhari-hari dan ada pembengkakan pada bagian-bagian sendi di kaki dan tangan. Sempat dibiarkan, lalu muncul benjolan sebesar biji kelereng di permukaan telapak kaki.

Setelah bolak-balik ke puskesmas dan dirujuk ke rumah sakit di Kabupaten Kupang, tempat Geby tinggal, untuk menjalani tes laboratorium, baru diketahui Geby menderita kusta. Saat itu dia sudah kelas 2 SMA.

Begitu menginjak kelas 3 SMA, sakit kusta yang diderita Geby makin parah. Dia akhirnya menderita kelumpuhan. "Susah berjalan, ambil ini dan itu harus dibantu orang tua."

Akhirnya Geby disarankan untuk berobat di Rumak Sakit Kusta dan Cacat Umum di Kabupaten Timor Tengah Utara, jauh dari rumahnya di Kabupaten Kupang.

"Saat masuk rumah sakit, Geby sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Kurus sekali, seperti tulang yang hanya dibungkus kulit. Maka 3 bulan pertama diberi perbaikan gizi, lalu dilanjutkan dengan terapi, sambil menunggu HB-nya bagus, lalu bisa melanjutkan konsumsi obat kusta," ujarnya.

Dia saat ini sedang menjalani masa pemulihan di Rumah Sakit Kusta dan Cacat Umum di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Sudah sembilan bulan Geby berada di rumah sakit itu.

Kondisinya membaiik, dan sudah bisa berjalan lagi. "Masih tunggu enam bulan lagi untuk diobservasi sampai pulih total."

Kusta membuat 'minder dan malu'

Saat menjalani kelumpuhan sehingga tidak bisa bersekolah, tekanan mental juga menyerangnya.

"Geby sempat down setelah dinyatakan menderita kusta, sementara masyarakat luas pemikirannya berbeda-beda menanggapi kusta. Karena sering ditanya teman-teman, kamu sakit apa, akhirnya Geby sering merasa minder dan malu," ujarnya.

Bagi Uswatun Khasanah, yang pernah menyandang kusta, perasaan itu adalah stigma yang muncul dari diri sendiri. Dan itu yang dia rasakan saat menderita penyakit itu sepuluh tahun lalu.

Seperti Geby, dia juga merasakan gejala-gejala kusta saat masih bersekolah di bangku SMP, diawali dengan bercak-bercak putih di wajah dan tubuhnya. Sempat dikira alergi atau kena gigitan serangga, beberapa bulan kemudian kusta terlanjut melemahkan kondisi Uswatun sebelum akhirnya dirawat.

Stigma dari penyakit itu sudah menyerang dirinya.

"Saya syok, menangis, hampir putus asa. Lalu tidak mau sekolah, tidak mau bergaul. Di situlah timbul stigma diri dulu," ujarnya.

Halaman
1234
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan