Rabu, 8 Oktober 2025

Omicron cepat menular, pemerintah Indonesia akui tracing Covid yang rendah, pakar khawatir

Pemerintah Indonesia mengakui pelacakan kontak (contact tracing) kasus Covid-19 rendah. Ahli epidemiologi mengatakan saat penyebaran virus Covid-19

Tahap awal adalah wawancara kasus, baik itu kasus terkonfirmasi positif melalui tes RT-PCR maupun kasus suspek/probable yang memiliki gejala ISPA dan belum melakukan tes RT-PCR.

Dari situ petugas akan melakukan identifikasi dan evaluasi kontak, sampai menentukan kontak erat. Setelah itu kontak erat akan dihubungi dan dijelaskan permasalahannya kemudian diminta menjalani karantina dan pemantauan gejala selama 14 hari.

Jika tidak timbul gejala selama 14 hari, karantina dinyatakan selesai. Jika timbul gejala, kontak erat harus menjalani pemeriksaan.

Jika hasilnya positif, kontak erat diminta isolasi. Namun, jika dua kali dinyatakan negatif, isolasi dan pemantauan selesai.

"Puskesmas tidak mampu"

Ahli epidemiologi, Masdalina Pane, mengatakan saat ini Kemenkes tidak punya sumber daya yang cukup untuk melakukan pelacakan kontak.

Pasalnya, dalam dua gelombang Covid-19 sebelumnya, pelacakan kontak dibantu oleh tim pelacak (tracer) dari Satgas Penanganan Covid-19 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Pada gelombang pertama, Masdalina—yang juga merupakan anggota sub bidang tracing, bidang penanganan kesehatan di Satgas Penanganan Covid-19—mengatakan 6.000 petugas pelacakan diturunkan ke 11 provinsi dan 62 kabupaten/kota di Indonesia untuk membantu program pelacakan kontak Kemenkes. Sementara pada gelombang kedua, petugas pelacakan yang diterjunkan sebanyak 2.300 orang.

"Tenaga tracer di puskesmas, atau kami menyebutnya tenaga surveillance, itu hanya ada satu atau dua orang. Sementara mereka juga dibebani dengan beban pekerjaan lain. Kalau saat ini mereka dibebani dengan booster, kalau yang gelombang kedua mereka dibebani dengan target vaksinasi, sehingga kegiatan tracing tidak bisa dilakukan maksimal," kata Masdalina.

Saat ini, dia menambahkan, pemerintah belum memerintahkan tim pelacak tambahan untuk terjun ke lapangan. Artinya, tidak ada tenaga bantuan untuk puskesmas-puskesmas di wilayah yang memiliki lebih dari 1.000 kasus per hari—kategori wilayah tempat tim pelacak dikerahkan.

"Kalau kasus sudah puluhan, bahkan ratusan seperti sekarang, jangankan petugas tracer-nya, kita yang di pusat saja sudah hopeless-lah. Bagaimana bisa melakukan tracing dengan baik, jumlah antara petugas tracer dengan jumlah kasus sudah tidak seimbang. Jadi itu yang menyebabkan program tracing tidak berjalan," ujar Masdalina.

"Padahal inti utama pengendalian itu tracing."

Pada Februari 2021 lalu, Kemenkes mengatakan mulai memberikan pelatihan kepada 80.000 Babinsa dan Bhabinkamtibnas untuk melakukan pelacakan kontak.

Namun, kata Masdalina, fakta di lapangan menunjukkan mereka tidak bekerja untuk pelacakan kontak karena memiliki pekerjaan lain dan kapasitasnya lebih cocok sebagai pengawas masyarakat di lapangan.

"Itu hanya bagus di atas kertas, tetapi pelaksanaan di lapangannya nyaris tidak ada," kata dia.

Sumber: BBC Indonesia
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved