Konflik Palestina Vs Israel
Israel Peringati Dua Tahun Perang Gaza: Rakyat Mulai Lelah, Tuntut Pemerintah Segera Akhiri Konflik
Dalam peringatan dua tahun perang, warga Israel menyerukan gencatan senjata, menuntut pemerintah akhiri konflik Gaza yang tak kunjung membawa damai.
TRIBUNNEWS.COM – Memperingati dua tahun setelah serangan besar yang dilancarkan militan sayap kanan Hamas pada 7 Oktober 2023 silam, warga Israel kini berada di titik kelelahan nasional.
Konflik yang bermula dari serangan mendadak saat penutupan festival Yahudi Sukkot itu, kini telah berubah menjadi perang panjang yang menelan korban besar di kedua belah pihak.
Mengutip laporan AFP, lebih dari 1.219 orang tewas, sebagian besar warga sipil, sementara 251 orang diculik ke Gaza, dengan 47 di antaranya masih ditawan hingga kini.
Dalam dua tahun berikutnya, kampanye balasan Israel di Gaza berlangsung tanpa henti melalui serangan udara, darat, dan laut, menyebabkan kehancuran besar serta menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina, menurut data otoritas kesehatan Gaza yang diakui oleh PBB.
Imbas perang yang tak kunjung berkesudahan, suara publik Israel mulai berubah.
Survei terbaru dari Israel Democracy Institute menunjukkan 66 persen warga Israel menginginkan perang segera dihentikan.
Sementara 64 persen menyalahkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu atas kegagalan pemerintah dalam mencegah serangan awal Hamas dan menuntutnya mundur.
Warga Israel Dihantui Trauma
Bagi banyak warga Israel, dua tahun perang bukan hanya soal keamanan, tetapi juga tentang kehilangan dan trauma yang belum pulih.
Adalah Yonatan Shamriz, salah satu warga Kfar Aza, yang terdampak perang hingga harus kehilangan saudaranya dalam insiden tragis di Gaza.
Baca juga: Netanyahu Tutup Kuping, Nekat Gempur Gaza Meski Trump Serukan Gencatan Senjata
Seperti banyak warga lain, Yonatan hidup dalam ketidakpastian. Suara sirine peringatan dan ledakan di langit selatan Israel sudah menjadi bagian dari keseharian.
Ia bersama ribuan keluarga terpaksa meninggalkan rumah mereka di dekat garis perbatasan dan tinggal di penampungan sementara.
Yonatan kini hidup di pengungsian dalam negerinya sendiri, tinggal di trailer atau tempat tinggal di kendaraan bergerak (mobile home) bersama keluarganya.
“Saya masih menjadi pengungsi di negara sendiri. Tidak punya rumah, tidak punya saudara. Tapi saya tidak ingin tenggelam dalam kesedihan. Saya hanya ingin perang ini berakhir,” katanya kepada ABC News.
Selain memicu korban jiwa dan migrasi massal, dampak perang juga terasa di sektor ekonomi.
Harga kebutuhan pokok dilaporkan melonjak, banyak bisnis kecil gulung tikar, dan anggaran pertahanan yang membengkak memaksa pemerintah memangkas dana sosial. Bagi masyarakat, semua itu menambah tekanan psikologis di tengah bayang-bayang konflik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.