Konflik Rusia Vs Ukraina
Mengapa Beberapa Negara Ingin Tetap Bersahabat dengan Rusia di Tengah Invasi Moskow ke Ukraina?
Sejumlah ahli dan mantan pejabat AS membeberkan alasan mengapa beberapa negara tetap ingin bersahabat dengan Rusia di tengah invasi Moskow ke Ukraina.
Penulis:
Pravitri Retno Widyastuti
Editor:
Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Invasi Rusia ke Ukraina telah berjalan selama 25 hari, Minggu (20/3/2022).
Meskipun ada kemarahan di ibu kota Barat atas invasi Rusia ke Ukraina, banyak negara lain di seluruh dunia - termasuk beberapa sekutu dan mitra penting Amerika Serikat (AS) - segan untuk menghadapi atau mendukung sanksi ekonomi terhadap Moskow.
Hal ini disampaikan para ahli dan mantan pejabat AS.
Sejumlah negara kecil telah menyatakan dukungan tanpa syarat untuk Rusia sejak pasukan Vladimir Putin masuk ke Ukraina, termasuk rezim di Suriah, Belarus, Eritrea, Korea Utara, Kuba, dan Venezuela.
Namun, beberapa negara yang lain, termasuk China, telah menghindari penggunaan kata "invasi", sebagaimana diberitakan NBC.
Mereka abstain dari suara PBB yang mengecam Rusia, atau menolak untuk mengambil bagian dalam menghukum Moskow.
Baca juga: Rudal Rusia Hantam Lviv, Seberapa Penting Kota Ini bagi Ukraina di Tengah Invasi?
Baca juga: Profil Singkat 4 Jenderal Rusia yang Tewas dalam Invasi ke Ukraina, Hanya 1 yang Dikonfirmasi Putin
Berikut ini daftar negara yang tetap menjaga persahabatan dengan Rusia di tengah invasi pasukan Putin ke Ukraina:
1. India

Selama beberapa dekade, New Delhi dan Moskow menjalin hubungan persahabatan.
Rusia memasok sekitar 60 persen senjata dan peralatan untuk militer India.
Para ahli mengatakan hubungan kedua negara tersebut sedikit menjelaskan, mengapa India menggunakan bahasa halus dalam menanggapi perang di Ukraina, menghindari kritik tajam terhadap Rusia, dan mendesak solusi diplomatik.
India juga menghindari kritik terhadap Rusia setelah perebutan semenanjung Krimea Ukraina pada 2014.
“Saya pikir ahli strategi India sudah memperhitungkan bahwa mereka tidak mampu mengasingkan Rusia,” kata Lisa Curtis, rekan senior di lembaga pemikir Center for a New American Security, yang bertugas di Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih dari 2017 hingga 2021.
India telah mencoba membeli lebih banyak perlengkapan militer dari Amerika Serikat dan negara-negara lain dalam beberapa tahun terakhir, tetapi tetap bergantung pada Rusia, kata Curtis.
Melihat kedua negara tetangga Pakistan dan China sebagai musuh, India semakin khawatir pada hubungan Moskow dengan Beijing yang semakin dalam.
“Ini, saya pikir, menggarisbawahi mengapa hal itu akan mempengaruhi kepentingan India untuk mencoba berbuat lebih banyak untuk mengakhiri perang ini,” kata Michael Kugelman, wakil direktur Program Asia di lembaga pemikir Wilson Center.
Baca juga: Daftar Negara Sekutu Rusia, India hingga China, Lawan Kekuatan Kremlin Bisa Merugikan Mereka
“Bukan dengan mengutuknya (Rusia) di depan umum, tetapi lebih dari itu. India diam-diam mencoba mendesak Rusia dan Ukraina, terutama Rusia, untuk berhenti (melakukan invasi),” ujarnya.
Bank sentral India sedang menjajaki pengaturan perdagangan dengan Moskow yang hanya akan menggunakan rupee India dan rubel Rusia, mengabaikan sanksi Barat, menurut Financial Times dan media lainnya.
India juga berencana membeli tiga juta barel minyak dari Rusia dengan harga diskon.
Langkah ini tentu saja membuat AS frustrasi.
2. Israel

Serangan Rusia terhadap Ukraina telah menempatkan Israel, sekutu setia AS, dalam posisi yang sulit.
Awalnya, Israel secara hati-hati mengutuk invasi Rusia ke Ukraina.
Sejauh ini belum bergabung dengan negara demokrasi lainnya dalam menjatuhkan sanksi terhadap Moskow.
Israel juga belum berjanji untuk mengirim senjata apapun ke Ukraina, meskipun drone buatan Israel bisa sangat membantu Kyiv dalam menangkis serangan Rusia.
Namun, Israel telah menawarkan menjadi mediator dalam konflik tersebut.
Baca juga: Australia Larang Ekspor Aluminium ke Rusia, Sanksi Lanjutan akibat Serangan di Ukraina
Sejak perang dimulai, Perdana Menteri Israel Naftali Bennet telah bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow dan melakukan beberapa percakapan telepon dengannya, serta Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Sejak Rusia mengerahkan pasukan ke Suriah untuk mendukung rezim Bashar Assad, Israel telah menjalin kesepahaman dengan Moskow yang memungkinkan pasukan Israel menyerang pengiriman senjata Iran ke Hizbullah di Lebanon atau milisi lain yang didukung Iran di Suriah, menurut mantan pejabat AS.
"Kami memiliki semacam batas dengan Rusia," ujar Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid bulan lalu, sesaat sebelum invasi.
Rusia adalah "kekuatan penting" di Suriah, kata Lapid, sehingga Israel berada dalam "situasi negara-negara Baltik".
Karena Rusia dan Ukraina memiliki komunitas Yahudi yang besar, ujarnya, ia harus "lebih berhati-hati daripada menteri luar negeri lainnya di dunia."
Begitu Putin mengirim pesawat Rusia dan pasukannya ke Suriah pada 2015, "Israel menganggapnya sangat serius sebagai penengah," kata Eric Edelman, mantan diplomat senior AS dan pejabat pertahanan, yang kini bertempat di lembaga pemikir Center for Strategic and Budgetary Assessments.
Ketika ditanya apakah oligarki Rusia yang memiliki properti dan hubungan dengan Israel mungkin bisa menghindari sanksi Barat di negara itu, Lapid bersumpah, "Israel tidak akan menjadi jalan bagi Rusia untuk melewati sanksi yang dijatuhkan AS dan negara-negara Barat lainnya."
Pejabat Israel, bagaimanapun, mengatakan pemerintah tak punya wewenang untuk menghentikan perusahaan Israel berbisnis dengan perusahaan Rusia.
3. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA)

Arab Saudi dan UEA telah menghindar mendukung pemerintahan Biden dalam upaya mengisolasi dan menghukum Rusia atas invasi ke Ukraina.
Kedua negara itu juga menghindari mengkritik Moskow sejak pasukan Rusia memulai apa yang disebut Putin sebagai "operasi militer khusus".
Baca juga: Rusia Bantah Kosmonotnya Kenakan Seragam Berwarna Bendera Ukraina
UEA bulan lalu abstain dari pemungutan suara Dewan Keamanan PBB yang mengutuk invasi Rusia.
Sejauh ini, negara-negara Teluk belum memilih untuk meningkatkan produksi minyak untuk mengendalikan kenaikan harga, meski ada permintaan dari Washington dan pemerintah Barat lainnya.
Monarki Teluk Rusia yang kaya melihat Rusia sebagai aktor penting dalam koalisi produsen minyak yang dirancang untuk mengelola pasar minyak global.
Pada 2019, Saudi dan negara produsen minyak terbesar lainnya mengundang Rusia untuk membentuk kelompok yang dikenal sebagai "OPEC+".
Organisasi ini dibentuk untuk mengontrol produksi dan memastikan pasar minyak stabil dan menguntungkan.
Tak hanya itu, OPEC+ dibuat untuk melawan efek ledakan produksi minyak serpih Amerika.
Negara-negara Teluk Arab tak ingin membahayakan pengaturan itu atas perang di Ukraina.
Mereka melihat Rusia sebagai "pintu kunci" penting bagi koalisi penghasil minyak, ujar Ellen Ward, seorang rekan non-residen di lembaga pemikir dan penulis Dewan Atlantik dari Saudi, Inc.
"Negara-negara Teluk ini ingin mempertahankan aliansi OPEC dengan Rusia karena membuat OPEC lebih kuat sebagai pengelola pasar," terang Wald.
Baca juga: Lagi, Jenderal Kelima Rusia Dilaporkan Tewas di Tangan Tentara Ukraina
"Mereka melihat jauh (ke masa dapan) atas masalah Ukraina dan tidak ingin merusak hal baik yang telah mereka lakukan."
Negara-negara Teluk Arab, yang menampung pasukan AS, telah secara konsisten mendukung Amerika Serikat selama beberapa dekade.
Tapi, tanggapan mereka terhadap perang di Ukraina mencerminkan bagaimana kepentingan mereka mulai menyimpang dari Washington, kata para ahli.
Pembunuhan kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi, oleh tim pembunuh Saudi pada 2018 lalu, telah memunculkan ketegangan permanen pada hubungan AS-Saudi.
Sementara itu, Emirat frustrasi karena pemerintahan Biden tidak memberlakukan sanksi keras terhadap pasukan Houthi yang didukung Iran setelah serangkaian serangan di UEA.
Negara-negara Teluk juga mewaspadai upaya Gedung Putih untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015, khawatir pemulihan perjanjian itu dapat meningkatkan saingan berat mereka di Teheran.
4. Turki

Di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan, Turki memiliki hubungan yang kontradiktif dengan Rusia.
Kedua pemerintah menemukan kesamaan di beberapa bidang, bahkan saat mereka berkonflik di bidang lainnya.
Turki, anggota NATO, mendukung Dewan Keamanan PBB yang mengecam invasi rusia ke Ukraina, tapi tidak menjatuhkan sanksi pada Moskow atau menutup wilayah udaranya untuk pesawat Rusia.
Di Libya dan Azerbaijan, Turki telah mendukung kelompok-kelompok yang memerangi pasukan yang didukung Rusia.
Tetapi, Erdogan dan Putin telah menjalin hubungan persahabatan, dan Turki telah membeli rudal anti-pesawat S-400 buatan Rusia dan membuat kesepakatan energi dengan Moskow.
Turki juga meminta Rusia untuk membantunya mempertahankan tekanan pada kelompok-kelompok Kurdi di Suriah, karena Ankara khawatir akan munculnya negara Kurdi di perbatasan.
Di Ukraina, pemerintah di Kyiv telah menggunakan pesawat tak berawak buatan Turki untuk melawan konvoi lapis baja Rusia.
Turki telah menyebut invasi Rusia sebagai “perang,” yang memungkinkannya untuk menutup Selat Bosphorus (di bawah Konvensi Montreux 1936) – yang menghubungkan ke Laut Hitam – untuk kapal perang.
Namun, keputusan itu tidak berarti angkatan laut Rusia tak bisa sama sekali berlayar ke Laut Hitam.
Tindakan Turki, bagaimanapun, dapat menghambat Rusia untuk memasok pasukannya.
Ketika mencoba untuk menyeimbangkan antara Rusia, Ukraina, dan NATO, Ankara telah muncul sebagai mediator potensial, bersama dengan Israel, dalam upaya menemukan penyelesaian yang dinegosiasikan untuk perang.
Erdogan telah menawarkan bantuan dialog antara Moskow dan Kyiv sejak April tahun lalu, menjadi tuan rumah bagi Zelenskyy untuk pembicaraan dan kemudian melakukan perjalanan ke kota Sochi di Rusia pada bulan September untuk bertemu dengan Putin.
Awal bulan ini, Turki menjadi tuan rumah pembicaraan tatap muka pertama antara pejabat Rusia dan Ukraina di kota selatan Antalya, di mana para menteri luar negeri membahas kemungkinan gencatan senjata 24 jam.
5. China

Reaksi China terhadap perang di Ukraina dapat memicu konflik dan bentrokan yang lebih besar antara Moskow dan Barat.
China menggambarkan dirinya netral terhadap "krisis" di Ukraina, tapi media pemerintahannya menggemakan propaganda Rusia.
Juga, telah mendukung pandangan Moskow bahwa perang di Ukraina terjadi karena ekspansi NATO sejak berakhirnya Perang Dingin.
Selama bertahun-tahun, hubungan Rusia dan China terus meningkat, terutama sejak Presiden Xi Jinping berkuasa.
Kedua negara itu memiliki kesamaan dalam permusuhan mereka pada AS, terhadap demokrasi secara lebih luas, serta tatanan dunia berbasis aturan yang dibuat AS dan sekutu Eropanya usai Perang Dunia II.
Di sela-sela Olimpiade Musim Dingin Beijing, Xi dan Putin mengatakan dalam sebuah pernyataan bersama, bahwa kemitraan antara mereka "tidak berbatas" dan tidak ada "bidang kerja sama yang dilarang."
"Pada dasarnya apa yang kita lihat adalah bahwa dua kekuatan otoriter, Rusia dan China, beroperasi bersama," kata Jens Stoltenberg, sekretaris jenderal NATO, pada 15 Februari.
Sejak pemerintah AS dan Eropa memberlakukan sanksi terhadap Moskow setelah invasi, ekspor China ke Rusia telah melonjak, termasuk peralatan listrik, kendaraan, dan mesin.
Sementara, Moskow mengirim produk minyak bumi dan kayu ke CHina.
Tetapi, tak jelas apakah China bersedia mengirim perangkat keras militer Rusia untuk mengisi stok yang habis.
Perang telah mempersulit ambisi China di Eropa, pasar utama dalam rencana jangka panjang Beijing.
Pengaruh perang di Ukraina terhadap global bisa berdampak besar bagi ekonomi China, yang sudah tersendat sebelum invasi Rusia.
Meskipun India dan negara-negara lain tampaknya siap untuk terus berdagang dengan Rusia dan menahan diri untuk tak mengkritik Moskow secara terbuka, hanya China yang punya kekuatan untuk memberi bantuan pada Moskow karena sanksi-sanksi Barat menekan ekonominya.
"Ini adalah kelompok (negara) yang membantu Rusia di sana-sini. Tapi, pertanyaan besarnya sebenarnya adalah China," ujar Barry Pavel, mantan pejabat senior Pentagon yang saat ini menjadi wakil presiden senior di Dewan Atlantik.
Seperti dalam kasus lain, termasuk dengan Iran atau Korea Utara, China dapat memutuskan untuk menutup mata terhadap sanksi Barat tanpa secara eksplisit menentangnya, menurut Pavel.
Ia menyebut pendekatan Korea Utara sebagai "dua langkah", dengan China melakukan bantuan "di belakang layar untuk membantu teman Anda."
Para ahli tidak setuju China dapat mengurangi dampak sanksi keuangan yang telah menyebabkan jatuhnya rubel Rusia dan mendorong spekulasi bahwa sektor perbankan Rusia pada akhirnya bisa runtuh.
Tidak peduli bagaimana China merespons, ekonomi Rusia “sangat menderita,” kata Pavel.
6. Afrika Selatan

Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyalahkan NATO atas perang di Ukraina dan mengatakan ia menolak seruan untuk mengutuk Rusia.
Para pemimpin politik Afrika Selatan mempertahankan kesetiaan mereka pada Moskow sejak era Perang Dingin, ketika Uni Soviet melatih dan mempersenjatai para aktivis anti-apartheid, sementara AS mendukung rezim apartheid selama bertahun-tahun.
Afrika Selatan termasuk di antara dua lusin negara Afrika yang menolak bergabung dalam pemungutan suara Dewan Keamanan PBB yang menyesalkan tindakan Rusia di Ukraina.
Rusia telah menjalin hubungan di seluruh benua melalui perjanjian kerja sama militer tanpa perjanjian hak asasi manusia, dan tentara bayaran Rusia telah dikaitkan dengan konflik di Republik Afrika Tengah dan Mali.
“Mayoritas umat manusia (yang bukan kulit putih) mendukung pendirian Rusia di Ukraina,” Letnan Jenderal Muhoozi Kainerugaba, putra Presiden Uganda Yoweri Museveni, mengatakan dalam sebuah tweet.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)