Jam malam di Sri Lanka diperpanjang setelah lebih dari 50 rumah pejabat dibakar massa, WNI merasakan kesulitan ekonomi
Pemerintah Sri Lanka memperpanjang jam malam hingga Kamis (12/05) setelah semakin banyak rumah pejabat yang dibakar massa, termasuk hotel mewah
Pria berusia 76 tahun itu mengirimkan surat pengunduran diri kepada adiknya, Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Dalam surat tersebut, dia menulis mengenai harapan dirinya untuk mengatasi krisis ekonomi namun kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya tampaknya tidak memuaskan kubu oposisi kecuali kalau dia mundur.
Pengunduran diri, menurut Rajapaksa, diniatkan untuk mendorong terbentuknya "pemerintahan yang terdiri dari semua partai demi menuntun negara ini keluar dari krisis ekonomi".
Sejak gelombang demonstrasi muncul pada awal April, para pengunjuk rasa berkumpul di luar kantor perdana menteri guna menuntut Rajapaksa lengser.
Demonstrasi ini memicu bentrokan berdarah antara kubu antipemerintah dan pendukung Rajapaksa di Ibu Kota Kolombo.
Baca juga:
Sri Lanka mengalami krisis ekonomi terburuk sejak meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1948. Pemerintah bahkan meminta warganya yang berada di luar negeri untuk mengirimkan uang ke dalam negeri demi memenuhi kebutuhan bahan pangan dan bahan bakar, setelah negara itu gagal membayar utang luar negeri senilai $51 miliar (Rp732 triliun).
Cadangan devisa Sri Lanka telah habis dan tidak lagi bisa menopang kebutuhan rakyat, seperti makanan pokok, obat-obatan, dan bahan bakar.
Para dokter di Sri Lanka mengatakan sudah banyak rumah sakit kehabisan obat-obatan dan persediaan penting karena krisis ekonomi negara itu memburuk.
Kondisi ini membuat berang sebagian masyarakat mengingat kebutuhan hidup sehari-hari tak lagi terjangkau.
Pemerintah menyalahkan pandemi Covid yang mematikan sektor pariwisata. Namun, sejumlah pakar menilai pemerintah salah kelola ekonomi.
WNI merasakan dampak krisis di Sri Lanka
Dua warga negara Indonesia yang tinggal di Sri Lanka mengatakan krisis di negara itu sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.
Ni Putu Eka Yuli Suswantari yang bekerja sebagai terapis spa di ibu kota Colombo mengatakan yang sangat ia rasakan adalah tingginya biaya hidup dan sulitnya pengiriman uang ke Indonesia dengan nilai mata uang yang anjlok.
"Krisis yang terjadi sangat mempengaruhi semua. Semua serba mahal, jadinya kita dapat gaji sekian, dan bekal hidup sekian, semua dihemat," kata Yuli kepada BBC News Indonesia.