Putra miliarder Yaman akui keterlibatannya dalam kasus kematian seorang mahasiswi di London 15 tahun lalu
Farouk Abdulhak, yang kabur ke Yaman setelah kasus kematian seorang mahasiswi di London, mengakui keterlibatannya
Begitu Farouk tampak siap untuk berbagi lebih banyak, saya menegaskan bahwa saya bekerja untuk BBC dan ingin melaporkan kisahnya. Hebatnya, hal ini tidak menghentikannya untuk angkat suara.
Jadi saya memintanya untuk menguraikan pesan yang sebelumnya dia sampaikan di mana dia mengatakan tentang “penyesalan terbesar”. Dia membalas:
"1: Saya sangat menyesali kecelakaan malang yang terjadi. 2 penyesalan datang ke sini [ke Yaman] semestinya saya tetap tinggal [di Inggris] dan seharusnya saya membayar konsekuensinya."
Pada saat yang sama, saya juga mewawancarai orang lain terkait kasus tersebut, termasuk ayah Martine dan teman-teman dekatnya.
Ini menjadikan investigasi ini hal tersulit yang pernah saya kerjakan. Ketika saya berbicara dengan mereka yang hidupnya telah dihancurkan oleh kematian Martine dan sangat membutuhkan jawaban, telepon saya terus-menerus mendapat pesan dari Farouk.
Teman-teman Martine, Nina Brantzeg dan Cecilie Dahl, ada bersamanya di klub pada malam dia meninggal.
Cecile pernah bertemu Farouk dengan Martine sebelumnya, dan mengatakan bahwa mereka berteman.
Tapi malam itu, dia mengatakan Farouk tampak berbeda. Farouk kesal ketika salah satu dari mereka mengambil foto dia dan Martine, meskipun Martine sepertinya tidak menyadari ada sesuatu yang tidak biasa.
Teman Martine lainnya, Thale Lassen, mengatakan bahwa menurutnya Farouk pernah mencoba mencium Martine dan Martine mengatakan bahwa dia tidak tertarik dengan Farouk.
Namun faktanya, Martine sering mendatangi flat Farouk karena berada di pusat kota. CCTV juga menunjukkan lengannya menggandeng Farouk saat mereka meninggalkan klub.
Ketika Martine tidak pulang keesokan harinya, teman-temannya melaporkan bahwa dia hilang.
Baru setelah seseorang menyadari Farouk menghapus akun Facebook-nya, polisi menangani masalah ini dengan serius. Mereka menggeledah apartemen Farouk dan dengan cepat menemukan tubuh Martine yang setengah telanjang berada di ruang bawah tanah.
Pada saat itu, Farouk telah melarikan diri dari Inggris. Polisi mengetahui bahwa dia pergi menggunakan penerbangan komersial dari London ke Kairo, namun tidak tahu secara detil tentang pelariannya.
Saya berhasil melacak salah satu teman terdekat ayah Farouk di London, seorang pria yang saya panggil Samir.
Dia memberi tahu saya bahwa dia menerima panggilan dari Farouk pada dini hari tanggal 14 Maret meminta uang tunai. Saat itu, Farouk mengatakan dia sangat membutuhkan uang tunai itu dan kartu kreditnya tidak berfungsi.
Menurut Samir, ketika dia mengeluarkan uang tunai, Farouk pingsan di sofanya, dan dia menyiram air dingin ke wajahnya untuk menyadarkannya.
"Seolah-olah dia sedang menghadapi sesuatu," kata Samir.
Farouk kemudian membeli tiket untuk penerbangan berikutnya ke Kairo, dan dari situ ayahnya membawanya ke Yaman – tempat yang belum pernah ditinggali Farouk sebelumnya, namun merupakan negara yang tidak mungkin mengekstradisinya kembali ke Inggris.
Saya juga berbicara dengan teman ayah Farouk lainnya, seorang pengusaha asal Yordania, Abdulhay Al Mejali.
“Putranya ingin pergi ke Inggris, duduk di pengadilan dan membela diri,” katanya kepada saya.
“Tapi ayahnya menasihatinya untuk tidak terlibat [dan] bertahan di Yaman.”
Jessica Wadsworth, penyelidik dari kepolisian London yang menangani kasus ini pada saat itu, mengakui bahwa hatinya hancur ketika mereka mengetahui ke mana Farouk pergi.
“Tentu saja karena kesempatannya sudah terlewatkan. Saya tidak pernah menyelidiki pembunuhan di mana dalam tiga atau empat hari, Anda menyadari bahwa tuduhan Anda tidak mungkin dibuktikan,” kata dia.
Polisi menemui keluarga Martine saat baru mendarat dari Norwegia untuk menyampaikan kabar kematiannya.
Ayahnya, Odd Petter Magnussen, bercerita betapa hancur perasaannya saat itu.
"Sebagai orang tua, itu adalah masa tersulit dalam hidup saya. Rasanya hampir seperti dicabik-cabik,” kata dia.
Dalam kondisi putus asa mengharapkan keadilan, Odd Petter menulis kepada Ratu Elizabeth pada tahun 2010, yang meneruskannya kepada Wali Kota London saat itu, Boris Johnson. Pemerintah berkomitmen kepada Petter untuk membantu menyelesaikan kasus ini.
Saya tetap menjalin kontak dengannya selama 12 tahun terakhir, dan berjanji untuk berupaya mendapatkan jawaban atas apa yang terjadi pada putrinya.
Saya akhirnya mendapat kesempatan untuk mendengar kisah Farouk pada malam itu. Sekitar sebulan setelah korespondensi kami, saya benar-benar mulai mencoba menggali kebenarannya secara langsung.
N: "Apakah Anda mau menceritakan apa yang terjadi?"
F: "Saya tidak tahu apa yang terjadi, itu semua buram."
F: "Sesekali kilas balik kejadian itu muncul."
F: "Jika saya mencium parfum perempuan tertentu, saya merasa tidak nyaman."
Saya akhirnya berbicara dengannya di telepon. Saya bertanya apakah dia akan kembali ke Inggris untuk menghadapi konsekuensi atas kematian Martine.
"Saya tidak berpikir keadilan akan ditegakkan," katanya.
"Saya mengetahui bahwa sistem peradilan pidana di sana [di Inggris] sangat bias. Mereka ingin menjadikan saya sebagai anak orang Arab, menjadi... anak dari orang kaya... semua sudah sangat terlambat,” kata Farouk.
Saya terbang ke Yaman untuk mencoba menemuinya secara langsung, tetapi ketika saya sampai di sana, dia mengatakan bahwa dia hanya akan menemui saya di rumahnya. Saya tidak siap mengambil risikonya.
Saya mengatakan kepadanya soal betapa ayah Martine sangat ingin tahu apa yang terjadi.
"Sebagai seorang laki-laki, sebagai manusia, sebagai seseorang yang bermoral, saya pikir seseorang harus melakukan itu," katanya melalui sambungan telepon.
Tetapi dia kemudian melanjutkan, "Beberapa hal lebih baik tidak diungkapkan. Faktanya sebenarnya adalah jika saya tidak ingat apa yang terjadi, tidak ada yang perlu dikatakan."
Kembali ke London, saya mencoba lagi untuk mendapatkan kebenaran dan mengirim SMS bahwa saya selalu ingin tahu apa yang terjadi.
Dan kemudian dia menjawab: "Itu hanya kecelakaan. Tidak ada yang jahat.
"Hanya kecelakaan seks yang salah.
“Tidak ada yang tahu karena saya hampir tidak bisa menyimpulkan apa yang terjadi,” sambungnya.
Ketika saya bertanya mengapa, dia hanya menjawab dengan satu kata: "Kokain."
Saya bertanya apakah dia pernah berdiskusi dengan pengacara di sini. Dia mengaku sudah.
"Percayalah, saya benar-benar sudah melakukannya," ujarnya.
"[Karena itulah] meninggalkan Inggris dan jenazahnya dipindahkan."
Saya bertanya kepadanya mengapa dia memindahkan jenazah Martine.
"Saya tidak ingat," katanya.
Saya juga menanyakan apakah dia pernah berpikir untuk menyerahkan diri. Menurutnya, pengacara telah menyarankan untuk tidak menyerahkan diri karena dia akan “menjalani hukuman terberat”.
"Sudah terlambat, Nawal."
Sepanjang percakapan kami, saya berulang kali memintanya untuk melakukan wawancara yang direkam, tetapi dia menolak.
Sudah waktunya untuk memberi tahu ayah Martine tentang komunikasi saya dengan Farouk.
Bagi Odd Peter, mendengarkan percakapan telepon itu sangat sulit. Untuk pertama kalinya, dia mendengar suara orang yang diduga membunuh putrinya.
“Dia jelas tidak memiliki empati dengan keluarga kami, dan dia tidak menunjukkan penyesalan atau sejenisnya,” kata dia.
Namun dengan terjalinnya komunikasi dengan Farouk, dia berharap bisa ada kemajuan pada kasus ini.
"Saya optimistis kami bisa mendapatkan solusinya dalam jangka panjang… karena kita bisa berbicara dengannya. Lebih dari sebelumnya, saya yakin akan ada solusi untuk kasus ini. Saya hanya berharap ini akan sesuai dengan standar etika saya.”
Saya bertanya kepadanya, apa yang ingin dia sampaikan kepada Farouk.
"Kembalilah ke Inggris. Ceritakan apa yang terjadi pada Martine. Karena bukan hanya Martine yang pantas mendapatkannya, tapi juga keluarga kami.”
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.