Tantangan Kebebasan Pers dan ChatGPT di Mata Jurnalis Perempuan dan Queer
Di tengah membanjirnya informasi dan chatbot ChatGPT, proses pencarian informasi, verifikasi, dan penyampaian informasi secara bertanggung…
Bermula dari apa yang disebut Acta Diurna, yang didistribusikan dan digantung di ruang-ruang publik pada masa Roma kuno sekitar tahun 59 sebelum masehi, produk jurnalisme kini berkembang pesat. Tantangan pun kian bertambah.
Di tengah membanjirnya informasi seperti saat ini, proses pencarian informasi, verifikasi, dan penyampaian informasi secara bertanggung jawab menjadi lebih penting lagi. Namun, proses ini juga bukan tanpa risiko, apalagi bagi para wartawan yang bertugas di negara-negara dengan angka skor indeks kebebasan pers yang cukup rendah.
DW berkesempatan berbincang kepada beberapa wartawan di beberapa negara seperti Thailand, Filipina, dan Indonesia. Sebagai wartawan perempuan dan queer, mereka pun rentan menerima perlakuan kurang menyenangkan selama melakukan peliputan.
Intimidasi, ancaman verbal, dan fisik
Parameshvar Tangsathaporn yang kerap dipanggil Jay menceritakan kepada DW Indonesia bahwa kurangnya kebebasan berekspresi dan berbicara adalah tantangan utama bagi jurnalisme di Thailand.
Reporters Without Borders melaporkan bahwa Indeks Kebebasan Pers di Thailand turun dari skor 54,78 pada tahun 2021 menjadi 50,15 tahun 2022. Sejak kudeta tahun 2014 silam, puluhan jurnalis dan bloger di negeri Gajah Putih ini terpaksa memilih antara pemenjaraan atau pengasingan.
Jay, wartawan queer berusia 30 tahun, menuturkan bahwa pada awalnya dia tidak berpikir untuk menjadi jurnalis. Namun, kini dia mulai menghargai profesi yang digelutinya selama lebih dari dua tahun belakangan.
"Saya hanya ingin membantu orang dengan memberi mereka ruang untuk bersuara dan menunjukkan kepada pemerintah atau pihak berwenang tentang apa yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan di masyarakat," kata Jay kepada DW Indonesia.
Menurutnya, jurnalis di Thailand perlu berhati-hati dengan apa yang mereka publikasikan di media tempat mereka bekerja, karena rentan mendapat ancaman verbal dan fisik. Atau bisa saja berujung mendekam di balik jeruji penjara, tambah Jay.
Jay pun mencontohkan salah hukum pencemaran nama baik keluarga kerajaan di negaranya. Di Thailand, kritik terhadap keluarga kerajaan sama sekali dilarang dan pelanggaran berpotensi menyebabkan hukuman penjara 3 sampai 15 tahun.
"Jika diperhatikan dengan saksama, undang-undang ini cukup kabur karena tidak menjelaskan kritik seperti apa yang dianggap pencemaran nama baik," ujar Jay kepada DW Indonesia.
Kesejahteraan rendah, jurnalis perlu berserikat
Sementara di Filipina, situasi kebebasan persnya juga tidak lebih baik dari Thailand. Reporters Without Borders juga memaparkan bahwa indeks kebebasan pers di Filipina menurun dari skor 54,36 pada tahun 2021 menjadi 41,84 pada tahun 2022.
Rosette Adel misalnya. Perempuan berusia 32 tahun yang bermukim di Manila menuturkan kenyataan yang cukup pahit mengenai kesejahteraan wartawan di negara yang dipimpin oleh Presiden Ferdinand "Bongbong" Marcos Junior.
"Jika Anda bekerja sebagai jurnalis di Filipina, Anda tidak akan memiliki kesempatan untuk menjadi kaya," ujar Rosette.
Namun demikian, perempuan yang telah mengumpulkan pengalaman meliput selama sekitar delapan tahun ini menambahkan bahwa situasi saat ini berangsur-angsur membaik karena adanya pembenahan regulasi. Sebelumnya, di Filipina, beberapa pekerja media hanya bekerja berdasarkan proyek atau kontrak jangka pendek.
Lain lagi di Indonesia. Hanya satu kata yang terucap dari mulut Julia Nur Rochmah saat menjawab pertanyaan DW Indonesia tentang kesejahteraan wartawan di Indonesia. "Buruk!" tegasnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.