Jumat, 3 Oktober 2025
Deutsche Welle

Tantangan Kebebasan Pers dan ChatGPT di Mata Jurnalis Perempuan dan Queer

Di tengah membanjirnya informasi dan chatbot ChatGPT, proses pencarian informasi, verifikasi, dan penyampaian informasi secara bertanggung…

Julia mengatakan masih banyak wartawan di Jakarta yang belum menerima upah layak seperti yang direkomendasikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Seperti dikutip dari Kompas, AJI Jakarta mengatakan di tahun 2022, hitungan upah layak untuk jurnalis di Jakarta dan sekitarnya diperkirakan Rp8.090.000 per bulan. Lalu tahun 2023 naik di kisaran Rp8.299.229 per bulan.

"Bahkan saya kerja 12 tahun (sebagai wartawan) ternyata standar upah saya di bawah survei AJI," kata Julia.

Julia yang juga berkecimpung di Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) sebagai sekretaris wilayah Jabodetabek menekankan pentingnya pekerja untuk berserikat. Menurutnya, serikat pekerja bisa melindung hak-hak pekerja yang bekerja di suatu perusahaan.

"Pandemi 'kan banyak PHK. Ada pemotongan gaji, nah mereka garda terdepan biar perusahaan tidak semena-mena motong gaji. Dan memastikan pesangon dibayarkan," terang Julia saat berbincang dengan DW Indonesia.

Ia berharap siapa pun yang bergabung dengan serikat pekerja bisa memahami hak-haknya sesuai yang diatur oleh undang-undang. "Akhirnya punya nilai tawar. Jadi bisa memutuskan sign kontrak atau tidak karena ada pemahaman hak diri," terang Julia.

ChatGPT: Ancaman atau peluang?

Inovasi teknologi banyak membantu pekerjaan jurnalis seperti misalnya kamera foto atau video, perekam suara, dan bahkan komunikasi lintas negara dengan surat elektronik. Namun, akhir-akhir ini sebuat platform chatbot berbasis teknologi kecerdasan buatan yaitu ChatGPT dapat mengurangi keterlibatan manusia.

Seperti dikutip dari Anadolu Agency, Jonathan Soma dari Columbia University mengatakan bahwa ChatGPT berfungsi bersama jurnalis sebagai alat bantu bukan sebagai produk mandiri yang melakukan pekerjaan mandiri.

Menurut Rosette di Manila, chatbot dapat membantu dalam hal riset yang dapat membantu jurnalis menghasilkan produk jurnalistik lebih cepat. Dalam hal ini, Rosette melanjutkan, jurnalis dapat fokus pada penyusunan laporan jurnalistik dan kecerdasan buatan menyediakan riset sehingga mengurangi beban kerja jurnalis.

"Saya juga yakin akan ada banyak karya dengan sentuhan manusia yang tidak bisa dikerjakan oleh ChatGPT," kata Rosette.

Sementara itu, bagi Jay di Bangkok, kecerdasan buatan tidak akan menjadi kendala bagi jurnalisme karena wartawan masih membutuhkan pihak tertentu untuk memastikan kebenaran dan fakta.

"ChatGPT tidak dapat mengungkapkan perasaan sumber berita lebih baik daripada jurnalis manusia," kata Jay kepada DW Indonesia. Padahal, teknologi semacam itu akan menjadi penopang dalam memastikan kebenaran dalam hal linguistic dan seni tulis, tambah Jay.

Sedangkan Julia mengaku pernah menggunakan ChatGPT untuk tujuan riset sebelum melakukan peliputan. Namun, dia mendapatkan jawaban yang tidak akurat sama sekali dari ChatGPT setelah dia melakukan verifikasi hasil riset tersebut ke salah satu narasumber kompeten.

"Kita sebagai jurnalis harus tetap skeptis dan cross check," tegas Julia. (ae)

Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved