Presiden Jokowi luncurkan program pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu, sebagian korban menolak
Pemerintah meluncurkan program pemenuhan hak korban dari 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebagian korban menerimanya dan…
Tragedi Wasior terjadi pada 2001 silam, tercatat empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang dan 39 orang disiksa.
Menurut Frans Saba saat ini jumlah korban dan ahli waris korban yang tercatat sebanyak 259 orang. Namun, ia sendiri mengaku belum mendapat kabar dan informasi terkait dengan bantuan melalui mekanisme nonyudisial.
"Belum ada informasi itu," katanya.
Dalam kasus pelanggaran HAM berat "Dukun Santet", salah satu ahli waris korban Dedy Sumardi mengaku belum menerima informasi lanjutan mengenai rencana pemerintah tersebut.
"Belum ada ya, atau pas ke sini saya tertidur. Tapi sepertinya belum ada," ungkap pria 52 tahun ini.
Dia menambahkan, jika memang informasi itu ada dari pemerintah pusat dan akan diteruskan ke pihaknya tentu dirinya saat ini sudah mengetahui.
Bagaimanapun, menurutnya jika memang ada rehabilitasi langkah itu membawa kebaikan untuk semua terutama keluarga korban. " Yang penting yang terbaik, itu pemerintah sistemnya (non yudisial ) bagimana?"
Dedy juga sangat terbuka dengan rehabilitasi nonyudisial bagi korban dan ahli waris selama itu membawa kebaikan.
Sekarang, Dedy lebih memilih menunggu petugas atau perwakilan pemerintah datang kepadanya.
"Nggak enak Mas kalau harus menanyakan, Saya kan yang punya musibah. Nanti dikira saya ini mau apa," jelasnya kepada wartawan Ahmad Sulhan Hadi yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (27/06).
Pada tragedi 1998 lalu, ayah Dedy dibunuh sekelompok orang karena dituduh 'Dukun Santet'.
'Saya sudah memaafkan'
Sementara itu, salah satu keluarga korban dari peristiwa Jambo Keupok di Aceh Selatan, Saburan meminta pemerintah untuk "lebih teliti dan serius" dalam pemenuhan hak korban.
Ditemui di sela agenda peluncuran, Saburan mengaku berterima kasih dengan langkah nonyudisial pemerintah.
Saburan kehilangan ayah dan adiknya dalam tragedi Jambo Keupok pada 2003, di mana belasan warga desa disiksa, ditembak mati, dan dibakar hidup-hidup oleh tentara Indonesia karena dituduh sebagai simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Kalau pemerintah telah mengakui itu sebagai pelanggaran HAM berat, kami dari ahli waris korban, mengharapkan pemerintah memperhatikan keluarga korban yang dari tahun 2003 terkatung-katung menuntut keadilan dan pemenuhan [hak]," kata Saburan kepada wartawan Muhammad Riza yang melaporkan untuk BBC News Indonesia di Aceh.
Dia mengharapkan pemenuhan hak berupa bantuan rumah dan modal usaha yang bisa dikelola oleh ahli waris korban.
Sementara itu, Fauzi Nurhamzah, 49, yang merupakan anak dari korban tragedi Rumah Geudong berharap upaya nonyudisial ini sekaligus menjadi pengingat agar kasus-kasus pelanggaran HAM serupa tidak terulang lagi di masa depan.
Ketika ditanyai soal harapannya soal upaya yudisial penyelesaian kasus pelanggaran HAM, Fauzi mengatakan, "Saya sudah memaafkan secara yudisial, semoga orang tua saya tenang."
Apa alasan Fauzi pada akhirnya memaafkan hal yang menimpa orang tuanya?
"Itu rahasia Allah yang tidak kita tahu," ujarnya.
Upaya penyelesaian nonyudisial ini pertama kali bergulir ketika Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 untuk membentuk Tim PPHAM.
Tim PPHAM kemudian menerbitkan 11 rekomendasi yang di antaranya meminta pemerintah mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Rekomendasi lainnya adalah menyusun ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa.
Pemerintah juga diminta memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa yang terjadi, mendata para korban, membangun rekonsiliasi, hingga menjamin ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM berat.
Presiden Jokowi pun telah menyampaikan "pengakuan" dan "penyesalannya" terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu pada 11 Januari 2023.
Setelah itu, pemerintah meluncurkan program pemulihan hak-hak korban yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga.
Pemerintah pun telah berulang kali menyampaikan bahwa upaya ini tidak menafikan upaya yudisial, yang sejauh ini belum membuahkan hasil.
Sejauh ini, 35 terdakwa pelanggaran HAM berat dari empat kasus telah dinyatakan bebas karena tak cukup bukti.
Sementara itu, terkait desakan untuk pengungkapan kebenaran, Mahfud mengungkapkan bahwa hal itu "sudah pernah dibicarakan", namun sejarah yang terungkap selalu "berbeda-beda".
"Oleh sebab itu kita sekarang perhatikan korbannya saja, soal kebenaran sejarahnya itu ilmu. Kemdikbud akan memberikan dan menyediakan biaya penelitian bagi siapa saja yang menulis sejarah, tapi tidak mungkin itu menjadi satu-satunya kebenaran karena setiap penulis sejarah itu punya orientasinya sendiri dan harus dihargai," kata Mahfud dalam jumpa pers di Jakarta pada Jumat (23/6).
"Jadi kita [pemerintah] menyediakan dana untuk siapa yang mau menulis sejarah, silahkan, tapi itu akademik, bukan hasilnya itu lalu jadi dasar kebijakan, tak akan pernah ketemu, sejarah itu akan beda-beda."
'Pendataan tidak menyeluruh, potensi kecemburuan antar korban'
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna menilai tidak semua korban dan ahli waris masuk dalam pendataan, karena menurutnya terdapat keterbatasan waktu kerja tim penyelesaian nonyudisial.
Kata Husna, masa kerja tim amat singkat yakni selama tiga bulan. Pendataan yang belum menyeluruh, kata dia, dapat menimbulkan potensi kecemburuan sosial karena pendataan korban dan ahli waris yang tidak merata.
"Adapun yang masuk dalam rekomendasi tim PPHAM hanya sebagian kecil dari keseluruhan korban," kata Azharul Husna.
Sangat disayangkan pula, imbuh dia, tim pelaksana dan pengawas rekomendasi penyelesaian nonyudisial juga memiliki masa kerja yang tidak kalah pendek yakni sampai Desember 2023.
Sementara itu, Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul, menyebut bahwa beleid pemerintah untuk kasus pelanggaran HAM berat melalui penyelesaian nonyudisial merupakan wujud ketidakberdayaan negara dalam memastikan adanya penyelesaian yudisial secara holistik dan komprehensif.
Syahrul yang turut hadir dalam peluncuran di Rumoh Geudong bersama sejumlah organisasi kemanusiaan lain memberi sejumlah catatan terkait pidato Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Mahfud MD.
"Secara yudisial, dia [Mahfud MD] hanya tidak menafikan yudisial, tetapi di sisi lain, dia tidak mengatakan langkah apa yang diambil oleh negara untuk menuju percepatan yudisial," kata Syahrul.
Syahrul sendiri menyayangkan karena selama berpidato tidak terlontar sama sekali dari mulut Presiden Jokowi kata-kata "yudisial."
"Harusnya tadi itu ketika kick-off itu adalah kesempatan kepada Jokowi untuk menyebutkan langkah apa yang akan dia lakukan atau dia akan memerintahkan siapa, kemudian untuk mengawal proses yudisial itu sendiri," katanya.
Selain itu, dari mulut keduanya tidak disinggung," siapa pelakunya, kebenaran apa yang diungkap tidak disebutkan sama sekali."
"Jangan-jangan, lagi-lagi, apa yang kita duga untuk proses yudisial itu untuk melanggengkan impunitas mereka [pelaku]," pungkas Syahrul.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.