Kericuhan Prancis: Kematian pemuda yang memicu kerusuhan di pinggiran kota Paris
Kematian Nahel M, seorang pemuda berusia 17 tahun keturunan Aljazair, di tangan polisi telah memicu kerusuhan di berbagai kota di…
Baca juga:
Dia memuji "sikap teladan" remaja itu, jauh dari pembunuhan karakter yang disebarkan di media sosial.
Dia mengenal Nahel ketika dia tinggal bersama ibunya di Vieux-Pont, pinggiran kota Nanterre, sebelum mereka pindah ke perkebunan Pablo Picasso.
Satu hal yang menjadi perhatian, keluarganya berasal dari Aljazair.
"Semoga Allah memberinya rahmat," bunyi tulisan yang dibentangkan di jalan lingkar Paris, di luar Stadion Parc des Princes.
Stigma minoritas
"Kekerasan dilakukan oleh polisi setiap hari, terutama jika Anda orang Arab atau berkulit hitam," kata seorang pemuda di kota Prancis lainnya, yang menyerukan keadilan bagi Nahel.
Namun, pengacara keluarga, Yassine Bouzrou, mengatakan ini bukan tentang rasisme, tapi tentang keadilan.
"Kami memiliki sistem hukum dan peradilan yang melindungi petugas polisi dan menciptakan budaya impunitas di Prancis," katanya kepada BBC.
Nahel sudah lima kali menjadi subyek pemeriksaan polisi sejak 2021 - yang dikenal dengan refus d'obtempérer - penolakan untuk bekerja sama.
Baru-baru ini, pada akhir pekan lalu, dia dilaporkan berada di tahanan karena penolakan semacam itu dan akan diadili di pengadilan remaja pada September. Sebagian besar masalah yang dia alami baru-baru ini melibatkan mobil.
Kericuhan yang dipicu oleh kematiannya menjadi pengingat bagi banyak orang di Prancis pada peristiwa tahun 2005 lalu, ketika dua remaja, Zyed Benna dan Bouna Traoré, disetrum saat mereka melarikan diri dari polisi setelah pertandingan sepak bola dan menabrak gardu listrik di kota Clichy-sous-Bois, di pinggiran Paris.
"Bisa jadi saya, bisa saja adik laki-laki saya," kata seorang remaja Clichy bernama Mohammed kepada situs Prancis Mediapart.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.