53 Orang Jepang Akhiri Hidup Setiap Hari, Dipicu Budaya Kerja Ekstrem?
Data pemerintah mencatat ada 21.000 kasus per tahun, menurun tajam dari puncaknya pada 2003 yang mencapai 34.000 kasus atau sekitar 93 kasus per hari
Ringkasan Berita:
- Angka bunuh diri di Jepang masih tinggi, sekitar 53 kasus per hari, dipengaruhi tekanan budaya menahan diri, isolasi sosial, hingga budaya kerja ekstrem.
- Meski pemerintah telah menurunkan jumlah kasus dibanding dua dekade lalu, masalah kini bergeser ke kelompok muda, perempuan, dan lansia.
- Upaya penanganan terus dilakukan, namun perubahan sosial berjalan lambat.
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO – Hingga saat ini, sekitar 53 orang bunuh diri setiap hari di Jepang. Jika satu kelas berisi 25 murid, maka setara dengan hilangnya dua kelas sekolah setiap harinya.
“Masih banyak sekali bunuh diri di Jepang. Sekitar 53 orang setiap hari. Kalau satu kelas berisi 25 murid, berarti dua kelas hilang tiap hari,” ujar seorang polisi Jepang kepada Tribunnews.com, Jumat (21/11/2025).
Pada 15 November lalu, seorang polisi berusia 43 tahun di Akashi, Prefektur Hyogo, bahkan ditemukan tewas bunuh diri setelah melompat dari atap kantor kepolisian sekitar pukul 09.00 pagi.
Meski dikenal sebagai negara maju dengan teknologi dan standar hidup tinggi, Jepang masih berhadapan dengan persoalan serius yang berlangsung puluhan tahun: tingginya angka bunuh diri.
Baca juga: Pelajar di Sukabumi dan Sawahlunto Bunuh Diri, KPAI Dorong Bangun Early Warning System
Data pemerintah mencatat sekitar 21.000 kasus per tahun, menurun tajam dari puncaknya pada 2003 yang mencapai 34.000 kasus atau sekitar 93 kasus per hari.
Namun para ahli menilai masalah ini belum berakhir karena pola bunuh diri kini makin banyak terjadi di kalangan anak muda dan perempuan.
Menurut pengamatan Tribunnews.com, salah satu faktor utama adalah budaya gaman—menahan diri, tidak mengeluh, dan tidak ingin membebani orang lain.
Banyak warga Jepang memilih menyimpan masalah pribadi, baik ekonomi maupun emosional, tanpa mencari pertolongan.
“Di Jepang, menunjukkan kelemahan masih dianggap tabu. Banyak orang merasa harus kuat sendiri,” ujar seorang konselor di Tokyo.
Budaya Kerja Ekstrem
Jepang juga bergulat dengan budaya kerja yang menekan.
Istilah karōshi—kematian akibat kerja berlebihan—menjadi simbol besarnya tekanan hidup para pekerja.
Jam kerja panjang, beban berat, serta hubungan kerja yang kaku membuat sebagian pekerja mengalami depresi.
Beberapa tahun lalu, seorang karyawan perempuan Dentsu bunuh diri pada malam Natal.
Pihak keluarga memenangkan gugatan karena perusahaan terbukti mempekerjakannya secara berlebihan.
Sumber: Tribunnews.com
| Kasus Dugaan Bunuh Diri Timothy, Polisi: CCTV di Lantai 4 FISIP Unud Rusak sejak 2 Tahun Lalu |
|
|---|
| Misteri Kematian Mahasiswa Unud Timothy Anugerah, Polisi Belum Simpulkan Bunuh Diri |
|
|---|
| Ayah Timothy Akui sang Anak Sempat Idap Gangguan Psikologis saat Anak-anak, tapi Kini Sudah Sembuh |
|
|---|
| Ayah Timothy Tak Masalahkan Pelaku Bullying, tapi Lapor Polisi Demi Ungkap Kematian Anak |
|
|---|
| Cari Titik Terang, Orang Tua Timothy Bawa Kasus Kematian Anaknya ke Meja Hukum |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.