Myanmar: Tiga BUMN dilaporkan ke Komnas HAM atas tuduhan jual senjata ke junta militer yang perangi warga sipil
Petinggi BUMN membantah tuduhan menjual senjata ke junta militer Myanmar. Tapi apakah bisnis jual-beli senjata bisa menghindar dari…
Sementara itu, menurut para pelapor, delegasi militer Myanmar pernah berkunjung ke markas PT. Dirgantara Indonesia (Persero) di Bandung, Jawa Barat. Dalam laporan kepada Komnas HAM, delegasi militer Myanmar juga disebut pernah berkunjung ke pameran produsen pesawat itu di Singapore Airshow tahun 2020.
Namun di luar sejumlah hubungan dagang yang telah dinyatakan kepada publik ini, para pelapor tidak merinci apakah tiga BUMN Indonesia tersebut masih mengekspor persenjataan ke Myanmar usai kudeta pada Februari 2022. Mereka mendesak Komnas HAM untuk menginvestigasi penggunaan senjata buatan tiga BUMN itu dalam dugaan sejumlah pelanggaran HAM di Myanmar.
"Komnas HAM harus membuat Tim Pencari Fakta Independen, termasuk melibatkan pakar di bidang HAM, bisnis, serta ahli perdagangan," begitu permintaan para pelapor. Menurut mereka, Komnas HAM berwenang menelusuri dugaan keterlibatan entitas bisnis asal Indonesia dalam kasus kemanusiaan di Myanmar.
Apa dasar hukum tuduhan itu?
Para pelapor mendasarkan tuduhan mereka pada Konvensi Jenewa tahun 1949 yang pada bagian turunannya, merujuk pernyataan Komite Palang Merah Internasional, meminta negara-negara memutus hubungan perdagangan alutsista kepada sebuah negara yang diduga kuat akan memanfaatkan persenjataan itu untuk melanggar hukum humaniter. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa melalui UU Nomor 59 Tahun 1958 dan oleh karenanya terikat pada perjanjian internasional tersebut.
Lebih dari itu, para pelapor menyebut penjualan persenjataan ke Myanmar juga tidak sesuai dengan Pasal 28 UUD 1945 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Atas dasar ini, para pelapor meminta Komnas HAM mendesak pemerintah untuk menghentikan hubungan dagang persenjataan dengan junta militer Myanmar secara permanen, sampai konflik di negara tersebut berhenti dan pemerintahan yang berbasis demokrasi berdiri di Myanmar.
Apa kata pakar militer terkait laporan ini?
Produsen persenjataan pelat merah Indonesia belum memiliki pangsa pasar yang kuat, menurut ahli pertahanan dari Universitas Padjajaran, Muradi. Dalam situasi itu, Muradi menyebut tiga BUMN tersebut lebih mengedepankan pertimbangan bisnis ketimbang hal-hal lain, termasuk penggunaan senjata mereka usai proses jual-beli selesai.
"Mau tidak mau BUMN butuh pasar. Sekitar 80% industri pertahanan Indonesia selama ini diserap di dalam negeri. Dilema ini mesti dijelaskan," ujar Muradi.
Di sisi lain, kata Muradi, UU Nomor 16 Tahun 2012 dan UU Nomor 19 Tahun 2003 tidak melarang penjualan senjata kepada negara yang tengah memiliki konflik bersenjata. Dan dalam hubungan jual-beli persenjataan, Indonesia tidak bisa mendikte batasan penggunaan alutsista tersebut.
"Indonesia sempat menjual tiga juta peluru ke Arab Saudi, tapi pemerintah tidak bisa melarang agar senjata itu tidak digunakan untuk memerangi Yaman. Indonesia menjual tank N-231 ke Pakistan, tapi pemerintah tidak bisa bilang 'jangan pakai untuk ini-itu'," kata Muradi.
Muradi menilai, hal serupa juga terjadi di berbagai negara di dunia yang menjual persenjataan ke negara-negara yang bergejolak akibat sengketa senjata.
Amerika Serikat dan Rusia, sebagai dua dari beberapa produsen alutsista terbesar di dunia, misalnya, hingga saat ini belum meneken Traktat Perdagangan Senjata Internasional yang membatasi jual-beli persenjataan untuk aksi militer melanggar hukum humaniter.
Yang bisa dilakukan tiga produsen persenjataan pelat merah Indonesia, menurutnya, melakukan klarifikasi kepada publik apakah hubungan jual-beli itu berlangsung dalam proses bisnis yang legal.
Bagaimana kasus di negara lain?
Pemerintah Inggris pada awal tahun 2023 digugat oleh koalisi Campaign Against Arms Trade yang menuding penjualan senjata oleh negara itu ke Arab Saudi berkontribusi memperburuk konflik dan krisis kemanusiaan di Yaman.
Koalisi ini dalam gugatan tahun 2019 berhasil meyakinkan pengadilan untuk menyatakan penjualan senjata oleh Inggris ke Arab Saudi merupakan kebijakan yang melanggar hukum. Alasannya, senjata yang diekspor oleh Inggris digunakan untuk konflik bersenjata yang berujung pelanggaran HAM dan krisis kemanusiaan.
Walau dilarang pengadilan, pemerintah Inggris melalui Liz Truss yang saat itu menjabat Menteri Perdagangan melanjutkan ekspor alutsista ke Arab Saudi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.