Konflik Palestina Vs Israel
Joe Biden Ditekan untuk Serang Pangkalan Houthi di Yaman, tapi Masih Ragu
Laut Merah semakin memanas, Presiden AS Joe Biden rupanya ditekan untuk menyerang langsung ke pangkalan Houthi di Yaman, tapi masih ada keraguan.
Penulis:
Tiara Shelavie
Editor:
Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - The New York Times melaporkan bahwa Presiden AS Joe Biden menghadapi tekanan besar untuk bertindak melawan Houthi di Yaman ketika ketegangan semakin meningkat di Laut Merah.
Menurut laporan tersebut, para pejabat pertahanan AS telah menyiapkan rencana untuk menyerang pangkalan rudal dan drone Houthi di Yaman.
Tetapi pemerintahan Biden ragu untuk melakukannya.
Para pejabat senior di pemerintahan khawatir bahwa melakukan serangan dapat menguntungkan Iran, dan juga memengaruhi gencatan senjata antara Yaman dan Arab Saudi, kata laporan itu.
“Saya ragu mengenai dampak serangan ini,” ujar Adam Clements, mantan atase Angkatan Darat AS di Yaman, mengatakan kepada Times.
“Hubungan Iran-Houthi mendapat manfaat besar dari konflik, jadi mengapa harus menciptakan lebih banyak konflik?”
Baca juga: Genderang Perang di Laut Merah Segera Ditabuh, Inggris dan AS Kompak Bersiap Serang Houthi
Namun, purnawirawan Komandan Armada Kelima Laksamana Madya Kevin Donegan memperingatkan New York Times bahwa jika AS tidak menanggapi ancaman yang ditimbulkan oleh Houthi terhadap kapal dan personel militer AS, hal ini akan mengundang lebih banyak serangan.
Ia berpendapat bahwa kelompok musuh akan mulai menilai bahwa “menyerang kapal AS memiliki risiko pembalasan yang rendah.”
Kelompok Houthi yang didukung Iran telah melakukan lebih dari 20 serangan terhadap kapal-kapal di jalur pelayaran Laut Merah sejak dimulainya perang Israel dengan Hamas di Gaza.
Meskipun Houthi mengeklaim, bahwa mereka hanya menargetkan kapal-kapal yang memiliki hubungan dengan Israel, mereka telah melancarkan serangan antara lain di kapal yang berlayar di bawah bendera Norwegia dan Liberia.
AS menenggelamkan tiga kapal Houthi, sedikitnya 10 pemberontak tewas
Mengutip firstpost.com, dalam eskalasi terbaru, AS menenggelamkan tiga kapal Houthi dan menewaskan setidaknya 10 militan.
Insiden tersebut terjadi pada malam tahun baru ketika Houthi berusaha menaiki kapal Maersk Hangzhou yang berbendera Singapura, menurut pernyataan dari Maersk dan Komando Pusat AS (CENTCOM).
Menurut Reuters, juru bicara Houthi menegaskan bahwa kelompok mereka memulai serangan karena awak kapal mengabaikan seruan peringatan.
Ia menyatakan, bahwa 10 personel angkatan laut Houthi “mati dan hilang” setelah respons pasukan AS di Laut Merah.
Sebelumnya, pemerintahan Biden terus-menerus berbicara tentang perlunya menghindari eskalasi perang Israel-Hamas menjadi konflik regional yang lebih luas.

Baca juga: 17 Perusahaan Pelayaran Bereaksi terhadap Serangan Houthi di Laut Merah
Serangan terhadap kelompok yang didukung Iran di Irak dan Suriah belum memperluas konflik, kata Mayjen Pat Ryder, sekretaris pers Pentagon pada awal Desember lalu, mengutip PBS.
Jadi tidak jelas apakah serangan yang ditargetkan terhadap gudang senjata Houthi atau lokasi serupa – yang juga mendapat dukungan Iran – akan melewati batas dan memicu perang yang lebih luas.
“Kami akan terus berkonsultasi dengan sekutu dan mitra internasional mengenai cara yang tepat untuk melindungi pelayaran komersial yang melewati wilayah tersebut, dan pada saat yang sama memastikan kami melakukan apa yang perlu kami lakukan untuk melindungi pasukan kami,” kata Ryder.
Siapakah Houthi dan Apa yang Terjadi di Yaman?
Mengutip PBS, kelompok militan Houthi menguasai wilayah utara Yaman dan merebut ibu kota, Sanaa, pada tahun 2014, sehingga memicu perang sengit.
Koalisi yang dipimpin Arab Saudi melakukan intervensi pada tahun 2015 untuk mencoba mengembalikan pemerintahan Yaman yang diasingkan dan diakui secara internasional ke tampuk kekuasaan.
Perang selama bertahun-tahun melawan koalisi pimpinan Saudi berubah menjadi perang proksi antara Arab Saudi dan Iran, yang menyebabkan kelaparan dan kesengsaraan yang meluas di Yaman, negara termiskin di dunia Arab.
Perang tersebut telah menewaskan lebih dari 150.000 orang, termasuk pejuang dan warga sipil, dan menciptakan salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia, yang menewaskan puluhan ribu lainnya.
Gencatan senjata secara teknis berakhir lebih dari setahun yang lalu, hingga kini masih dipatuhi.
Arab Saudi dan Houthi telah melakukan beberapa pertukaran tahanan.

Baca juga: Lawan Houthi, Inggris Siap Lancarkan Serangan Rudal hingga Libatkan Pesawat Tempur
Delegasi Houthi diundang ke perundingan perdamaian tingkat tinggi di Riyadh pada bulan September sebagai bagian dari upaya perdamaian yang lebih luas yang dicapai kerajaan tersebut dengan Iran.
Meskipun mereka melaporkan “hasil positif”, namun masih belum ada perdamaian permanen.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.