Kisah PRT, supir angkot, penjual sabun, dan tukang mi ayam menjadi caleg - 'Dana kampanye dari hasil mengosek WC'
Bagaimana para caleg miskin menyiasati biaya politik yang tinggi dan tantangan apa saja yang mereka hadapi saat berkampanye? BBC News…
Satu demi satu proses pendaftaran dilewati hingga akhirnya Yuni menjadi daftar calon tetap (DCT).
Kehidupan PRT yang jauh dari layak dan rawan mengalami kekerasan menjadi pijakan bagi Yuni untuk terus melangkah, kendati dia kerap diselimuti rasa tidak percaya diri karena bersaing dengan calon-calon yang memiliki amunisi dana, popularitas, jaringan sosial di masyarakat, hingga gempuran politik uang.
“Harus ada perwakilan dari PRT yang menjadi anggota dewan sehingga bisa turun andil mengambil kebijakan kami para PRT,” kata Yuni.
Yuni – yang menyebut dirinya sebagai caleg duafa atau miskin kota – juga mengalami hambatan saat berkampanye.
“Di wilayah sendiri saja aku tidak boleh bersosialisasi dengan alasan yang tidak masuk akal. Mungkin karena tidak bermodal, aku pun bukan orang sini asli, istilahnya pendatang. Diskriminasi kependudukan saya alami,” katanya tanpa menjelaskan lebih rinci.
Selain itu, Yuni mengatakan hanya mampu mengalokasikan dana Rp1,5 juta untuk kampanye, dengan menyisihkan pengeluaran untuk kebutuhan keluarga yang juga harus dipenuhi.
“Dana kampanye aku sisihkan dari upah. Kasarnya dari hasil saya mengosek [bersihkan] WC,” katanya.
Usai berbincang di rumahnya, Yuni mengajak saya untuk mengikutinya berkampanye.
Dengan mengendarai sepeda motornya, Yuni mendatangi rumah seorang teman di Terogong, Cilandak. Di sana, ada sejumlah PRT dan ibu rumah tangga (IRT) yang telah berkumpul.
Di hadapan mereka, Yuni menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki dana untuk dibagi-bagikan, namun menegaskan bahwa misinya maju sebagai caleg adalah demi keterwakilan perempuan dalam politik.
“Saya minta dukungan dari kawan-kawan supaya ada perwakilan perempuan, dan dari PRT bisa masuk [parlemen]. Saya tidak ada pelicin, tapi jika ada masalah kami siap advokasi,” katanya.
Seorang PRT yang hadir, Sumainah, 34 tahun, sempat mengatakan tidak akan memilih (golput).
“Yang jadi pemimpin mah enak, saya cari duit sendiri (PRT). Mau tidak terima kita kalau ke rumahnya?” kata Sumainah yang mengaku baru bertemu dengan Yuni saat itu.
Yuni lalu menjawab, “Aku buka [pintu]. Aku saja lagi pikir kalau terpilih, aku masih mau kok kerja sebagai PRT. Aku sayang sama bos aku.”
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.