'Aku takut, mama tolong cepat jemput', santri di Kediri tewas diduga dianiaya -Mengapa terulang lagi kekerasan di pesantren?
Dugaan penganiayaan berujung kematian seorang santri di bawah umur di sebuah pesantren di Kediri, Jatim, tidak dapat dilepaskan dari…
"Saya dikabari saat baru bangun tidur, bahwa Bintang meninggal dunia. Kemudian saya tanya saudaranya FT, bahwa korban terpeleset di kamar mandi," kata Fatih, Senin (26/02).
Penasehat hukum keempat terduga pelaku, Rini Puspita Sari mengakui bahwa kliennya melakukan pemukulan kepada Bintang, yaitu ke wajah, punggung, dan dada.
Berdasarkan pengakuan terduga pelaku, kata Rini, pemukulan dilakukan karena korban tidak melakukan beberapa aturan, seperti mengikuti salat berjemaah dan piket.
“Pelaku ini mengingatkan jangan begitu, tapi korban saat ditegur menjawabnya tidak sinkron. Akhirnya emosi dan spontanitas melakukan pemukulan,” kata Rini ke BBC News Indonesia.
Al Hanifiyyah tidak memiliki izin
Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur menyebut bahwa PPTQ Al Hanifiyyah tidak memiliki izin operasional sebagai tempat pondok pesantren.
Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jatim Mohammad As'adul Anam mengatakan, karena tidak memiliki izin maka pihaknya tidak bisa melakukan tindakan secara administrasi.
"Kanwil dalam hal ini sangat menghormati proses hukum yang berlaku. Kalau penutupan, mohon maaf, karena sekolah, madrasah dengan ponpes itu entitas yang berbeda. Kalau ponpes ini rata-rata tidak didirikan pemerintah, semuanya didirikan kiai. Kalau pesantren dicabut izinnya, kegiatan ngajinya tetap, karena sifatnya informal,"kata Anam.
Berdasarkan penelusuran Kanwil Kemenag Jatim, PPTQ Al-Hanifiyyah mulai menjalankan kegiatan belajarnya sejak tahun 2014.
Saat ini, jumlah santri Al Hanifiyyah sebanyak 93 orang, terdiri dari 19 santri dan 74 orang santriwati.
Mengapa kekerasan kerap terjadi di pesantren?
Pengamat pesantren dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Prof. Dr. Muhammad Tohir menyebut tindak kekerasan yang menewaskan santri di Kediri disebabkan karena keteledoran. Pasalnya, kasus serupa pernah terjadi di pesantren lain.
Tohir juga menyebut tidak ada sistem di pesantren yang bisa memantau, memonitor dan bisa memitigasi terjadinya kekerasan.
”Namanya teledor, tidak ada persiapan, mitigasi, tidak ada upaya pencegahan,” kata Tohir kepada wartawan Mustopa yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (28/02).
Relasi kepatuhan santri kepada seniornya juga disebut memberikan peluang untuk terbukanya tindakan-tindakan yang bisa dianggap sebagai kekerasan.
”Maka, menurut saya sudah sepatutnya pesantren, semua lembaga sekolah punya semacam layanan untuk ramah santri,” katanya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.