Konflik Palestina Vs Israel
Houthi yang Perang Lawan AS-Inggris, China Lah yang Jadi Pemenang di Laut Merah
China lah yang menjadi pihak yang menang banyak dari eskalasi di banyak wilayah yang melibatkan AS, khususnya di Laut Merah.
Penulis:
Hasiolan Eko P Gultom
"Namun, mengingat gugus tugas anti-pembajakan Tiongkok di Teluk Aden dan pangkalan militernya di Djibouti, tuduhan ini tidak sepenuhnya bisa dibenarkan," kata Cafiero.
Secara mudah, Cafiero menyebutkan tiga alasan sederhana Beijing ogah bergabung dalam koalisi satgas Operation Prosperity Guardian (OPG) yang dipimpin AS.
"Pertama, Tiongkok tidak tertarik untuk memperkuat hegemoni AS; kedua, bergabung dengan koalisi militer angkatan laut dapat mengganggu diplomasi multi-vektornya terhadap Ansarallah dan Iran; dan ketiga, dunia Arab-Islam dan negara-negara Selatan lainnya akan menafsirkannya sebagai dukungan Tiongkok terhadap perang Israel di Gaza," kata Cafiero.
Penolakan bergabung ke misi OPG justru memperkuat citra regional Tiongkok sebagai pembela perjuangan Palestina.
"Javad Heiran-Nia, direktur Kelompok Studi Teluk Persia di Pusat Penelitian Ilmiah dan Studi Strategis Timur Tengah di Iran, mengatakan: 'Kerja sama [Beijing] dengan Barat dalam mengamankan Laut Merah tidak akan berdampak baik bagi hubungan Tiongkok dengan negara-negara Arab dan Iran'. Oleh karena itu, Tiongkok telah menerapkan pengekangan politik dan militer untuk menghindari bahaya terhadap kepentingan ekonomi dan diplomatiknya di wilayah tersebut," tulis Cafiero.
Menimpakan Semua Kesalahan ke AS
Beijing mengakui eskalasi keamanan Laut Merah sebagai imbas langsung perluasan Perang Gaza, dimana Tiongkok telah menyerukan gencatan senjata segera.
Seperti yang disampaikan Yun Sun, salah satu direktur Program Tiongkok di Stimson Center yang berbasis di Washington kalau Tiongkok melihat krisis di Laut Merah sebagai tantangan bagi perdamaian dan stabilitas regional, namun Beijing melihat krisis di Gaza sebagai sumber utama krisis tersebut.
Oleh karena itu, solusi terhadap krisis, dalam pandangan Tiongkok, harus didasarkan pada gencatan senjata, meredakan ketegangan dan kembali ke solusi dua negara.
Jean-Loup Samaan, peneliti senior di Institut Timur Tengah Universitas Nasional Singapura, sependapat pada hal tersebut, dan mengatakan, "Para diplomat Tiongkok telah dengan hati-hati mengomentari kejadian tersebut, namun dalam narasi Beijing, meningkatnya serangan adalah konsekuensi dari perang Israel di Gaza – dan mungkin yang lebih penting adalah kebijakan AS dalam mendukung pemerintahan Netanyahu.
Namun pada Januari, setelah AS dan Inggris memulai mengebom fasilitas militer Ansarallah Houthi di Yaman, Tiongkok mulai mempertimbangkan kekhawatiran serius mengenai krisis Laut Merah.
Beijing mencatat, baik Washington maupun London belum menerima izin penggunaan kekuatan dari Dewan Keamanan PBB, dan oleh karena itu, seperti yang dijelaskan Sun, serangan AS-Inggris “tidak memiliki legitimasi dalam pandangan Tiongkok.
Krisis Laut Merah Menguntungkan China
Cafiero dalam penjelasannya mennilai, Tiongkok telah memanfaatkan meningkatnya kemarahan yang ditujukan terhadap AS dari seluruh dunia Islam dan negara-negara Selatan.
"Perang Gaza dan penyebarannya ke Laut Merah telah memberi Beijing keuntungan lunak dan memperkuat pentingnya multipolaritas bagi negara-negara Arab," kata Cafiero merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Victor Gao, wakil presiden Pusat Tiongkok dan Globalisasi.
Di Forum Doha 2023, Gao menjelaskan, "Fakta bahwa hanya ada satu negara yang [pada 8 Desember 2023] memveto Resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata dalam Perang Israel-Palestina seharusnya meyakinkan kita semua bahwa kita seharusnya sangat beruntung hidup tidak di dunia yang unipolar."
Cafiero menjelaskan, ujaran Gao itu jelas menunjukkan kalau China memang menyalahkan AS dalam kebijakannya menangani Perang Gaza hingga meluas ke kawasan Timur Tengah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.