Fenomena caleg stres: Bolak-balik naik kereta Bogor-Jakarta hingga berjam-jam di luar rumah - 'Partai tidak beri pembekalan mental'
Pengamat politik dari BRIN, Devi Darmawan, mengatakan guncangan mental yang dialami para caleg gagal tak bisa sepenuhnya disalahkan…
Karena merasa sudah berbuat banyak di dapilnya, bahkan memakai uang pribadi, Rizal mengaku kaget dengan jumlah suara yang didapat.
Itu mengapa dia akhirnya membongkar kembali fasilitas umum berupa saluran air sesuai perjanjian dengan warga, klaimnya.
"Satu bulan sebelum pemilihan, masyarakat Blok Jambu minta ke saya, 'Pak di sini banjir terus gimana solusinya?'. Lalu saya beli pipa paralon yang 12 inci delapan batang kurang lebih semuanya Rp12 jutaan."
"Kemudian warga menyatakan seluruh Blok Jambu akan memilih saya. Saya becandain, 'kalau enggak milih saya gimana nih?' [Warga menjawab] 'bongkar saja pak', katanya begitu."
"Lah kemudian saya dipermainkan. Perolehan suara saya cuma 40 dari 300 suara. Artinya saya menganggap ini sudah sesuai perjanjian, ya dibongkar lagi. Itu dibangunnya pakai uang pribadi," papar Rizal.
Selain membongkar saluran air, Rizal juga membongkar jalan di depan rumah warga yang diklaim dibangun memakai uang pribadi.
Kata dia, jalan itu dibongkar karena mengarah ke jalan buntu dan bukan jalan umum. Alasan lain, karena seorang warga di sana disebut tidak memilihnya dan mengucapkan kata-kata kasar kepadanya.
Gara-gara tindakan itu, dia dituduh sebagai caleg stres.
Adapun soal aksi bakar petasan, ia mengatakan hal itu dilakukan untuk merayakan kemenangannya di beberapa daerah, salah satunya di Tambakjati.
Bakar petasan, katanya, sudah menjadi warga setempat saat menyambut kemenangan, hajatan, atau perayaan hari besar Islam dan tahun baru.
Baginya kekalahan ini adalah takdir.
Meskipun keluar uang miliaran rupiah, namun secara mental dia mengaku masih baik-baik saja.
'Kegagalan caleg tak sepenuhnya kesalahan mereka'
Pengamat politik dari BRIN, Devi Darmawan, mengatakan guncangan mental yang dialami para caleg gagal tersebut tak bisa sepenuhnya disalahkan kepada mereka dengan anggapan tak bisa menerima kekalahan.
Devi menyebut ada faktor lain yang membuat para caleg seperti itu, yakni partai politik yang tidak serius menyokong kadernya bertarung dan mahalnya ongkos demokrasi.
"Jadi ada banyak faktor yang menyebabkan kondisi seseorang tak cukup mampu meng-handle situasi yang membuatnya tertekan," imbuh Devi kepada BBC News Indonesia.
Idealnya, kata Devi, jauh sebelum kontestasi politik dimulai parpol harus memberikan pembekalan. Mulai dari penyiapan mental, pengetahuan tentang partai politik, strategi kampanye, hingga sokongan materiil.
Itu semua dilakukan agar mereka tahu medan pertempuran dan paham bagaimana memenangkan pertarungan.
Dengan begitu beban yang ditanggung si caleg pun jadi tak terlalu berat karena sudah terbagi.
Akan tetapi, kondisi ideal tersebut tak terjadi di semua partai politik. Pengamatan Devi, hanya partai-partai lama seperti PDI Perjuangan yang punya sistem rekrutmen serta mekanisme kaderisasi yang baik.
Parpol baru, katanya, kebanyakan mencomot orang jelang pemilu.
"Padahal calon-calon non-pengurus itu rapuh dan tak siap menerima kenyataan bahwa mereka kalah."
"Karena mereka tidak didukung keuangan dari partai, dan kalau sudah kalah dianggap tidak punya nilai manfaat lagi hingga akhirnya tersisih."
"Beda cerita dengan caleg dari kader dari struktur partai yang sudah dididik dari bawah sampai atas, mereka loyalis dan punya pengalaman lebih banyak soal menang dan kalah."
Karena itulah Devi menilai fenomena caleg stres di Indonesia kebanyakan dialami orang baru yang terjun ke politik. Sebab mereka tidak dibentuk memiliki mental yang tangguh.
Modal kampanye pun dari kantong pribadi. Sehingga ambisi untuk menang sangat besar.
Namun ketika situasinya tak sesuai harapan, mereka jadi hilang arah, ujar Devi.
"Makanya ekses pascapemilu terulang lagi. Misal caleg kalah jadi stres selalu ada di pemilu."
Belum lagi tekanan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya suara pemilih.
Meskipun media digital sudah membanjiri hampir di seluruh kelompok masyarakat, tapi tak bisa dipungkiri bahwa "menebar uang" ke masyarakat masih jadi jurus jitu, ungkap Devi.
Di sinilah, menurutnya, caleg harus bekerja keras untuk bagaimana memperkenalkan dirinya supaya dipilih masyarakat. Kalau perlu melakukan praktik "serangan fajar".
"Jadi beban caleg itu berat dan ditanggung sendiri. Kalau gagal yasudah dianggap kesalahan mereka karena tidak populer di masyarakat."
PSI: 'Kami memang tidak ada pembekalan mental'
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Depok, Icuk Pramana Putra, mengatakan pada Pileg 2024 partainya memang mengutamakan kader sendiri untuk maju.
Kendati partai yang didirikan pada 2014 ini menyatakan tak menutup pintu bagi orang baru.
"Rata-rata di Pileg kemarin setengah caleg yang maju pengurus dan setengah lagi bukan pengurus. Ya fifty-fifty."
Caleg yang melaju ini, sambungnya, harus menjalani sekolah kader setahun sebelumnya. Namun bagi caleg yang masuk di masa "injury time" minimal wajib tahu soal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.
Mereka juga diberi pembekalan soal bagaimana cara berkampanye dan pengetahuan soal komisi-komisi yang kelak mereka duduki di parlemen jika menang.
"Misalnya komisi A pendidikan akan ngapain aja. Jadi mereka sudah tahu mau fokus ke mana dan enggak ngawang-ngawang kalau bikin program atau janji kampanye."
Hanya saja pembekalan mental untuk caleg belum ada, kata Icuk.
"Nah memang tidak secara spesifik melakukan itu [pembekalan mental], karena kami berpikir itu ranah privat."
"Secara spesifik kami baru pembekalan dalam informasi kegiatan selama kampanye ngapain."
Berkaca pada banyaknya caleg yang terguncang secara mental gara-gara kalah bertarung, Icuk mengakui perlunya pembekalan mental.
Hal ini pun, katanya, menjadi bahan evaluasi untuk pemilu mendatang.
Wartawan Mustofa El Abdy di Kota Pamekasan, Madura, dan Yuli Saputra di Bandung, Jawa Barat, berkontribusi dalam liputan ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.