Redupnya Kebebasan Ekonomi Lukai Reputasi Hong Kong
Perusahaan asing bersiap hengkang ketika pemerintah Hong Kong berniat memperluas implementasi UU Keamanan Nasional Cina. Apakah eksodus…
Pandemi Covid-19, pengganyangan protes pro-demokrasi dan perang dagang Cina melawan Amerika Serikat membuat keok reputasi Hong Kong sebagai salah satu pusat keuangan dunia.
Pulau yang dulu diduduki Inggris itu diyakini telah kehilangan kemerdekaannya dan dianggap telah melebur dengan Partai Komunis Cina di Beijing.
Perkembangan Hong Kong menempatkan investor dalam dilema terhadap kota yang dulu dinamakan sebagai Permata Asia.
Sejak tahun 2019, jumlah perusahaan multinasional yang bermarkas di Hong Kong turun sebanyak 8,4 persen, menurut sensus ekonomi kota.
Angkanya terlihat lebih mencolok pada perusahaan AS.
Harian Wall Street Journal melaporkan, sebanyak sepertiga perusahaan AS sudah keluar dari Hong Kong dalam satu dekade terakhir.
Adapun perusahaan yang masih bertahan memangkas jumlah pegawainya, rata-rata hampir sebesar sepertiga dari jumlah sebelumnya.
Perda keamanan picu eksodus
UU Keamanan Nasional yang disahkan Presiden Xi Jinping pada 2020 direspons pemerintah Hong Kong dengan menerbitkan dua peraturan daerah demi menumpas gerakan pro-demokrasi.
Legislasi pertama menyeret ratusan pegiat ke penjara dan membredel media-media independen. Perda kedua memudahkan aparat membidik individu, perusahaan atau kelompok swadaya yang dianggap subversif.
Konsul Jendral AS di Hong Kong, Gregory May, belum lama ini memperingatkan betapa kini perusahaan AS menggunakan laptop atau ponsel sekali pakai jika datang berkunjung, lantaran mengkhawatirkan kebocoran data.
Dia menilai, Hong Kong perlahan memperkuat sensor internet seperti di daratan.
Kementerian Luar Negeri di Washington baru-baru ini juga mewanti-wanti, UU keamanan yang baru mengadopsi definisi yang "luas dan ambigu" tentang batas rahasia negara dan intervensi asing.
Kemunduran demokrasi lemahkan kebebasan berbisnis
"Jika Anda berusaha membatasi kebebasan berkumpul dan berekspresi, Anda akan mendapat efek samping terhadap supremasi hukum dan kebebasan ekonomi," kata Matt Mitchell, peneliti di Frazer Institute di Kanada.
Tahun lalu, Frazer dan Cato Institute di AS menempatkan Hong Kong di peringkat ke46 dari 165 wilayah hukum di Indeks Kebebasan Manusia, anjlok dari posisi ke29 di tahun sebelumnya. Hanya Myanmar yang mencatatkan kemunduran lebih besar akibat kudeta militer.
Namun, Mitchell meyakini posisi Hong Kong belum mencerminkan situasi teranyar. "Sangat mungkin bahwa peringkat Hong Kong akan semakin menurun," ujarnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.