Semakin Banyak Warga Singapura dan Jepang Pilih Melajang, Tolak Menikah, Ini Penyebabnya
Singapura dan Jepang, termasuk China, kini menghadapi masalah baru jumlah warga menikah menurun drastis.
Penulis:
Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Negara dengan tingkat perekonomian maju di Asia yakni Singapura dan Jepang, termasuk China, kini menghadapi masalah baru.
Warganya banyak yang memilih jadi lajang dan tidak mau menikah.
Lalu apakah semakin maju sebuah negara keinginan warganya menikah semakin menurun?
Singapura
Pada awal tahun ini, Institute of Policy Studies (IPS) melakukan survei terhadap masyarakat di Singapura.
Hasilnya sebagian besar warga Singapura berusia 21-34 menganggap bahwa pernikahan itu tidak begitu penting.
Mereka juga menganggap bahwa hidup melajang adalah hal yang wajar.
Jajak pendapat Mothership yang dilakukan antara November-Desember 2023, ini bertujuan untuk mengukur sikap, nilai-nilai, dan pendapat masyarakat Singapura terhadap isu-isu mengenai kesejahteraan, pekerjaan, keluarga, keterlibatan masyarakat, dan transisi kehidupan.
Baca juga: Saat Warga Singapura Tidak Lagi Bicara Kemakmuran Tapi Bagaimana Menemukan Makna Hidup
Serta memahami apakah dan bagaimana sentimen-sentimen ini dapat bervariasi antar kelompok umur.
IPS melakukan survei pada 2.356 warga negara Singapura dan penduduk tetap berusia 21-64 tahun yang direkrut dari panel online.
Hasilnya dilihat berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, dan etnis.
Perbandingan antar kelompok umur juga dilakukan untuk memeriksa persamaan dan perbedaan antargenerasi.
Ada hasil survei sebesar 82 persen responden dari kelompok usia termuda yang menjadi sampel berusia 21-34 tahun mengatakan bahwa memilih hidup melajang adalah hal yang wajar.
Di antara mereka yang berusia 35-49 tahun, 78 persen setuju bahwa tetap melajang adalah hal yang wajar.
Di antara mereka yang berusia 50-64 tahun, 75 persen setuju bahwa tetap melajang adalah hal yang wajar.
Apakah pernikahan itu perlu? Ternyata 70 persen dari mereka yang berusia 21-34 tahun setuju bahwa tidak perlu menikah.
Dalam kelompok usia termuda yaitu 21-34 tahun, 72 persen setuju dengan gagasan bahwa pernikahan tidak perlu menghasilkan anak.
Mayoritas peserta yang lebih muda masih menginginkan pernikahan dan anak.
Menariknya, meskipun mereka berpandangan bahwa pernikahan tidak perlu dan mempunyai anak dalam satu pernikahan, sebagian besar peserta yang berusia lebih muda masih menginginkan pernikahan dan anak untuk diri mereka sendiri.
Sedangkan 68 persen responden berusia 21-34 tahun yang belum menikah memperkirakan akan menikah di Singapura di masa depan.
Dan 67 persen responden berusia 21-34 tahun yang belum memiliki anak mengatakan mereka berharap memiliki anak suatu hari nanti.
Selain itu, angka-angka ini lebih tinggi di antara mereka yang sedang menjalin hubungan.
Di antara responden berusia 21-34 tahun yang sedang berpacaran, 84 persen memperkirakan dirinya akan menikah di Singapura di masa depan.
Dan, di antara responden berusia 21-34 tahun yang sedang berpacaran atau menikah, 76 persen berharap memiliki anak di masa depan.
Hasil yang tampaknya bertentangan, meskipun membingungkan, dikatakan konsisten dengan temuan penelitian remaja, menurut Peneliti Senior IPS Kalpana Vignehsa.
Dia menjelaskan bahwa ada perubahan sikap, dimana semakin sedikit responden remaja yang menganggap hubungan romantis dan mengasuh anak sebagai hal yang penting untuk kepuasan diri.
Dengan kata lain, tampaknya persepsi tentang pernikahan dan peran sebagai orang tua telah berubah, lebih dari sekadar aspirasi dan rencana keluarga yang sebenarnya.
Jepang
Pada 2023 lalu pemerintah Jepang mengeluarkan data jumlah bayi yang lahir di Jepang terus menurun, anjlok selama delapan tahun berturut-turut dan mencapai angka terendah baru.
Sebanyak 758.631 bayi lahir di Jepang tahun 2023, mengalami penurunan sebesar 5,1 persen dari tahun sebelumnya, menurut Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang seperti laporan Associated Press.
Ini merupakan jumlah kelahiran terendah sejak dimulainya pencatatan statistik pada tahun 1899.
Hal ini disebabkan jumlah pernikahan turun 5,9% menjadi 489.281 pasangan, turun di bawah setengah juta untuk pertama kalinya dalam 90 tahun.
Salah satu alasan utama menurunnya jumlah kelahiran.
Kelahiran di luar pernikahan jarang terjadi di Jepang karena nilai-nilai keluarga yang didasarkan pada tradisi patriarki.
Survei menunjukkan banyak kaum muda Jepang enggan menikah atau memiliki keluarga, terhalang oleh prospek pekerjaan yang suram, biaya hidup tinggi yang meningkat lebih cepat daripada gaji, dan budaya perusahaan yang tidak cocok dengan kehadiran kedua orang tua yang bekerja mencari nafkah.
Suara tawa maupun tangis bayi serta suara anak-anak bermain di luar semakin dianggap sebagai gangguan, membuat banyak orang tua muda merasa terisolasi.
Sekretaris Kabinet Utama Yoshimasa Hayashi mengatakan kepada wartawan pada Selasa (27/2/2024) bahwa tingkat kelahiran yang terus menurun berada pada "keadaan kritis."
Jumlah kelahiran di Jepang telah mengalami penurunan sejak 50 tahun yang lalu, saat mencapai puncak sekitar 2,1 juta.
Penurunan jumlah kelahiran bayi baru hingga di bawah 760.000 per tahun terjadi lebih cepat daripada proyeksi sebelumnya yang memperkirakan itu akan terjadi pada tahun 2035.
Diperkirakan, populasi Jepang yang lebih dari 125 juta akan turun sekitar 30% menjadi 87 juta pada tahun 2070, dengan empat dari setiap 10 orang berusia 65 tahun atau lebih.
Rekap Hasil Semifinal Voli VNL 2025 Putri: Brasil Kalahkan Jepang, Tantang Italia di Final |
![]() |
---|
Dosen PKn UNY Promosikan Nasionalisme Inklusif di Jepang |
![]() |
---|
10 Provinsi dengan Warga Miskin Paling Banyak, Jawa Timur Nomor 1 |
![]() |
---|
Pak Camat Tertangkap Basah Berzina dengan Istri Orang di Dalam Mobil Dinas |
![]() |
---|
Sorotan Semifinal VNL 2025 Putri: Asa Brasil Revans dari Jepang, Resep Balas Dendam Sudah di Kantong |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.