Tapera: Tabungan Perumahan yang Bikin Galau Kaum Pekerja
Keluhan soal gaji yang akan dipotong tiap bulan terdengar makin lantang usai aturan baru tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan…
"Harusnya kalau memang mau ada aturan begini ya tidak usah dipaksa, buat yang mau saja gitu. Karena yang paling kena imbasnya dan nggak bisa ke mana-mana ya kelas menengah.”
Selain itu, Tiara juga bersikap skeptis pada program ini lantaran punya trust issue kepada pemerintah. Dia mencontohkan kasus yang pernah terjadi, seperti Asabri dan Jiwasraya.
Mimpi nikmati gaji pertama
Jika Tiara keberatan lantaran banyak pengeluaran yang dihadapinya, berbeda lagi dengan Myranda.
Myra yang baru saja merasakan pengalaman kerja penuh waktu sebulan lalu, terkejut bukan main.
Ia mengaku sudah merencanakan semua pos keuangan dengan gajinya, tapi "dengan ada aturan ini bubar lagi semuanya rencana. Walaupun masih 7 tahun lagi, tapi tetap aja, aku belum ada rencana untuk beli rumah karena ada rencana jangka panjang untuk kuliah di luar negeri, cari pengalaman di luar negeri."
Subsidi silang?
Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menyebut Tapera merupakan penyempurnaan dari aturan sebelumnya.
Tabungan ini dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.
Namun, bagaimana dengan orang-orang yang sudah punya cicilan KPR atau sudah punya rumah sendiri, apakah masih harus membayar KPR?
"Perlu ada grand design yang melibatkan peran serta masyarakat untuk bareng-bareng pemerintah. Konsepnya bukan iuran tapi nabung. Yang sudah punya rumah dari hasil pemupukan sebagian dipakai untuk subsidi biaya KPR untuk yang belum punya rumah supaya bunganya tetap terjaga lebih rendah di bunga komersial saat ini 5%,” ucapnya saat konferensi pers Staf Kantor Kepresidenan, Jumat (31/05).
"Jadi kenapa harus ikut nabung? Jadi seperti prinsip gotong royong di UU Tapera itu, pemerintah, masyarakat yang punya rumah, bantu yang belum punya rumah, semua membaur. Kalau itu dikonstruksikan, UU Tapera ini sangat mulia sebenarnya, maka kemampuan gotong royong tadi antara pemerintah dan masyarakat dalam men-deliver output perumahan dalam rangka mengejar kesenjangan kepemilikan rumah tadi akan semakin bisa terkejar."
Bagaimana kalau sudah punya rumah?
Menanggapi skema itu, Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik menyatakan ketidaksetujuannya.
"Tidak semua orang sanggup dipotong uangnya 3%. Yang memang 2,5% dari pemerintah itu sebagian dari pemerintah, seperti BPJS. Ya berat lah, tidak bisa. Kalau sudah punya rumah, masa cuma dipotong juga untuk orang? Enggak mau lah,” ucapnya kepada DW Indonesia.
"Kalau Anda berpenghasilan ratusan juta, pasti akan rela. Kalau pas-pasan UMR, ya enggak bisa lah masa kita membantu orang lain untuk membangun rumah. Itu tugas pemerintah, bukan tugas warga negara.”
Senada dengan Agus, Trubus Rahadiansyah, pengamat kebijakan publik mengungkapkan keberatannya atas kebijakan tersebut. Apalagi untuk orang-orang yang sudah punya KPR.
"Terdapat tumpang tinggi kebijakan yang akhirnya membebani masyarakat. Menurut saya, kan harusnya ini menjadi tanggung jawab pemerintah, Jadi hal-hal ini harusnya kalau mereka sudah punya KPR ya tidak usah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.