Kamis, 28 Agustus 2025
Deutsche Welle

Warga Gaza Utara Kembali ke Rumah, Antara Suka dan Duka

Di bawah gencatan senjata Israel-Hamas, warga Palestina mulai kembali ke rumah mereka di Gaza utara. Banyak yang menemukan rumahnya…

Deutsche Welle
Warga Gaza Utara Kembali ke Rumah, Antara Suka dan Duka 

Mahmoud Ayoub sibuk mengemas selimut hangat dan pakaian di kamp pengungsi Nusseirat di Gaza tengah. Seperti kebanyakan pengungsi warga Palestina lainnya, pekerja berusia 33 tahun bersama keluarganya ini sudah tinggal di tenda selama beberapa bulan terakhir.

"Saya sangat gembira memikirkan bisa pulang ke Gaza utara, setelah mengungsi selama 16 bulan. Berita [gencatan senjata Israel-Hamas] ini telah memberikan kami harapan," katanya kepada DW.

Ayoub, seorang ayah dari tiga anak, bersiap untuk kembali ke rumah bersama keluarganya ke Sheikh Radwan, sebuah wilayah di Kota Gaza, pada Senin (17/01) pagi. Orang-orang dari tenda tetangga, semuanya pengungsi dari Gaza utara. Mereka saling membantu menurunkan tenda dan melipatnya dengan rapi.

Namun, beberapa lainnya memilih untuk menunggu beberapa hari sambil melihat bagaimana perkembangan situasinya. Ada rasa lega, tetapi juga banyak kekhawatiran muncul soal apa yang sedang menunggu mereka di Gaza utara.

"Kami menghubungi beberapa teman di utara untuk menanyakan kondisi rumah kami," kata Ayoub. "Mereka memberi tahu kami bahwa rumah itu hampir hancur, dan kami tidak yakin apakah kami masih bisa tinggal di sana. Kami memutuskan untuk kembali bagaimanapun juga. Jika kami tidak bisa tinggal di rumah, kami akan mendirikan tenda di dekatnya dan tinggal di sana, bersama istri dan anak-anak saya."

Keluarga itu juga harus merencanakan perjalanan dengan berjalan kaki seperti ratusan ribu warga Palestina lainnya, yang terpaksa mengungsi dari Gaza utara selama perang Israel-Hamas lalu.

"Kami tidak tahu bagaimana perjalanan itu nantinya, apakah akan mudah atau sulit. Perjalanannya sangat panjang, sekitar 7 kilometer di sepanjang garis pantai," katanya, seraya mengkhawatirkan bagaimana anak-anaknya akan menghadapi tantangan itu.

Kepulangan warga Palestina ke Gaza utara tertunda

Pada Minggu (26/01), ribuan warga Palestina menunggu di Jalan Rashid, yang membentang dari selatan ke utara di sepanjang garis pantai Jalur Gaza.

Perjalanan dengan berjalan kaki ini seharusnya diizinkan di bawah kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera antara Israel dengan Hamas, kelompok militan yang bertanggung jawab atas serangan pada 7 Oktober 2023 di Israel selatan, yang memicu perang di Gaza.

Namun, Israel memblokir perjalanan kepulangan warga Palestina itu, setelah menuduh Hamas telah melanggar kesepakatan gencatan senjata, dengan tidak membebaskan Arbel Yehoud, seorang warga sipil Israel, dalam pertukaran sandera pada Sabtu (25/01).

Yehoud, yang diculik bersama kekasihnya dari Kibbutz Nir Oz pada serangan 7 Oktober lalu, ditahan oleh kelompok Jihad Islam, militan Palestina lainnya. Saudara laki-lakinya tewas dalam serangan tersebut.

Pada Minggu (26/01) malam, Qatar, yang membantu menengahi perundingan gencatatn senjata Israel-Hamas, mengumumkan, kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas telah tercapai, Yehoud akan dibebaskan pada Kamis (30/01), bersama dengan dua sandera Israel lainnya.

Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengonfirmasi hal itu dan mengatakan, pembebasan sandera selanjutnya akan mencakup seorang tentara perempuan bernama Agam Berger. Tiga sandera lainnya akan dibebaskan pada Sabtu (01/02), seperti yang telah direncanakan, dengan imbalan pembebasan sejumlah warga Palestina yang ditahan di penjara Israel.

Sebagai gantinya, Israel mengizinkan pergerakan pengungsi Gaza dari selatan ke utara melalui koridor Netzarim, sebuah jalan yang dikontrol oleh militer Israel. Jalan besar yang membentang dari timur ke barat ini dibangun selama perang, yang memutus Gaza selatan dari utara. Akibatnya, banyak keluarga yang terpisah, dan banyak warga Palestina terpaksa meninggalkan kerabat mereka saat menuju ke selatan, daerah yang dianggap lebih aman daripada di utara saat itu.

Pada Senin (27/01) pagi, gelombang pertama ribuan warga Gaza melintasi koridor dengan berjalan kaki. Beberapa jam kemudian, kendaraan juga diizinkan melintas tetapi harus menjalani pemeriksaan keamanan terlebih dahulu.

Beberapa warga Palestina juga sudah berkemah sejak Sabtu (25/01) malam, demi menjadi yang pertama melintas.

"Selama dua hari terakhir, kami tidur di tempat terbuka, menunggu tentara Israel membuka pos pemeriksaan Netzarim sehingga kami bisa pulang ke Gaza utara, dan melihat apa yang tersisa dari rumah kami yang hancur, jika masih ada yang tersisa," kata Rizek Ayoub, seorang pejalan kaki yang sedang dalam perjalanan ke Kota Gaza bersama 57 kerabatnya.

Kepulangan ke utara membawa suka dan duka

"Namun, suasananya relatif gembira," kata Amani Zahd, yang sedang melakukan perjalanan ke wilayah rumahnya di distrik al-Nasr, Kota Gaza.

"Pemandangannya mengerikan dan cukup aneh. Ada begitu banyak orang, tetapi mereka bahagia. Meskipun semua orang menderita, ada kebahagiaan di dalamnya, dan saya merasakan itu juga," katanya kepada DW. "Saya yakin, masa depan akan jauh lebih baik."

Beberapa warga juga telah mengantisipasi kepulangan yang menyakitkan, bukan hanya karena mereka kehilangan rumah saja. Tamer al-Farani, seorang karyawan LSM lokal, berharap untuk akhirnya bisa menguburkan orang-orang terkasihnya, yang masih berada di bawah reruntuhan rumah yang hancur akibat serangan udara di Gaza utara.

"Saya kehilangan kontak dengan saudara perempuan saya, suaminya, dan keempat anak mereka pada 1 Desember 2024. Saat itu, mereka tinggal di sebuah rumah di daerah Tal al-Zaatar di Kamp Jabaliya bersama keluarga lainnya," kata al-Farani melalui telepon dari Deir al-Balah di Gaza tengah, saat dia bersiap untuk pergi.

"Dua minggu kemudian, kami mendengar dari orang lain bahwa bangunan tempat mereka tinggal runtuh dibom, dan semua orang di dalamnya meninggal. Itu adalah bangunan empat lantai, dan banyak dari mereka yang masih terkubur di bawah puing-puing," kata al-Farani.

Sesaat mereka kembali ke utara, dia berharap bisa mendapat kejelasan tentang apa yang terjadi dan mencari kerabatnya di tengah reruntuhan itu.

"Kami diberitahu bahwa Pertahanan Sipil tidak memiliki peralatan, tetapi kami akan menggunakan tangan kami dan apa pun yang kami miliki untuk menemukan jenazah mereka," kata pria berusia 27 tahun itu. Dia berharap bisa menguburkan anggota keluarganya.

Pertahanan Sipil adalah layanan darurat dan penyelamatan di Gaza. Badan ini mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa "berdasarkan informasi yang diberikan oleh warga, kami telah mencatat nama-nama dan lokasi ratusan orang yang masih hilang."

Dikatakan pula, pemulihan jenazah di sana cukup sulit, dan kemajuan pencarian juga lamban karena kurangnya peralatan.

Masih ada 6.800 kasus orang hilang di Gaza

Palang Merah Internasional, yang juga mendirikan saluran hotline bagi kabar orang-orang hilang, menyebutkan kan 9.200 warga Gaza dilaporkan hilang sejak awal konflik pada Oktober 2023 hingga Desember 2024. Dari jumlah tersebut, 6.800 kasus di antaranya masih dalam penyelidikan.

Ada kemungkinan, Israel menahan beberapa dari mereka yang hilang. Sementara yang lainnya, mungkin telah tewas selama konflik berlangsung. Beberapa anak yang terpisah dari keluarganyajuga sudah dipersatukan kembali dengan kerabatnya.

"Kami ingin menyembuhkan luka kami dan membangun kembali kehidupan kami, walau hanya sedikit," kata al-Farani. "Angka kehilangan ini cukup besar, dan begitu banyak orang yang masih hilang. Namun, kami harus menemukan cara untuk memulainya kembali."

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris

Sumber: Deutsche Welle
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan