Konflik Rusia Vs Ukraina
AS Tawarkan Proposal Damai untuk Ukraina, Pertemuan Penentu Digelar di London 23 April
Pertemuan di London disebut sebagai momen krusial untuk tentukan apakah proposal damai AS akan disampaikan secara resmi ke Moskow.
Penulis:
Andari Wulan Nugrahani
Editor:
Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Upaya diplomatik internasional untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina memasuki babak penting.
Perwakilan dari Ukraina, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis dijadwalkan menggelar pertemuan di London pada Rabu (23/4/2025).
Pertemuan ini merupakan kelanjutan dari diskusi sebelumnya di Paris pada 17 April 2025 lalu.
Dalam pertemuan di Paris, Gedung Putih memaparkan sebuah proposal perdamaian kontroversial, yang menjadi sorotan internasional.
Menurut Wall Street Journal, usulan tersebut mencakup pengakuan atas aneksasi Krimea oleh Rusia, larangan keanggotaan Ukraina di NATO, serta pelonggaran sanksi terhadap Rusia jika tercapai gencatan senjata jangka panjang.
Selain itu, menurut laporan Bloomberg, rancangan dokumen juga menyatakan bahwa semua wilayah yang saat ini dikuasai Rusia akan tetap berada di bawah kendalinya.
AS akan diwakili oleh Menteri Luar Negeri, Marco Rubio, bersama dua utusan khusus Presiden Donald Trump, yaitu Steve Witkoff dan Keith Kellogg.
Sementara itu, negara-negara Eropa akan mengirim menteri luar negeri serta penasihat keamanan nasional mereka.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengonfirmasi kehadiran delegasi negaranya.
Ia pun menegaskan kesiapan Kyiv untuk bernegosiasi secara konstruktif demi gencatan senjata tanpa syarat.
"Kami siap bergerak maju sekonstruktif mungkin untuk mencapai perdamaian yang nyata dan abadi," tulis Zelensky di platform X, Senin (21/4/2025), usai berbicara dengan Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer.
Baca juga: Rusia Puas AS Ikut Menolak Ukraina Gabung NATO, Kremlin: Sejalan dengan Sikap Kami
Pertemuan di London disebut sebagai momen krusial untuk menentukan apakah proposal damai AS akan disampaikan secara resmi ke Moskow.
Masukan dari Ukraina akan menjadi faktor kunci dalam proses ini.
Trump Optimis Rusia-Ukraina Damai
Presiden Donald Trump menyatakan optimisme tinggi terhadap tercapainya kesepakatan damai.
Trump bahkan mengklaim konflik bisa berakhir minggu ini jika kesepakatan tercapai.
Ia menjanjikan rincian lengkap proposal dalam tiga hari ke depan, seperti dilaporkan Kyiv Independent.
Namun, Trump juga memperingatkan, jika Washington bisa menarik diri dari upaya perundingan jika tidak ada kemajuan berarti dalam waktu dekat.
"Keduanya kemudian akan mulai melakukan bisnis besar dengan Amerika Serikat, yang sedang berkembang pesat, dan menghasilkan banyak uang," ujar Trump.
Reaksi Putin
Dari Moskow, Presiden Rusia Vladimir Putin secara mengejutkan mengusulkan pembicaraan bilateral dengan Ukraina, langkah yang belum pernah dilakukan sejak perang dimulai.
Dalam pernyataannya kepada media pemerintah Rusia, Putin mengatakan, Moskow terbuka terhadap inisiatif damai apa pun dan berharap Kyiv memiliki sikap serupa.
"Kami selalu membicarakan hal ini. Kami memiliki sikap positif terhadap inisiatif perdamaian apa pun," ucap Putin, dikutip dari Reuters.
Menanggapi hal itu, Presiden Zelensky menyatakan pihaknya siap berdialog, terutama untuk menghentikan serangan terhadap warga sipil.
Kedua pemimpin menghadapi tekanan dari Amerika Serikat, yang mengancam akan menghentikan keterlibatannya jika tidak ada kemajuan nyata.
Baca juga: Rusia Serang Target Sipil, Putin Tuduh Ukraina Jadikan Lokasi Itu Tameng Militer
Sebelumnya, Rusia dan Ukraina telah menyepakati gencatan senjata Paskah selama 30 jam.
Akan tetapi, menurut Putin, pertempuran kembali pecah usai masa gencatan berakhir.
Sementara itu, Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyambut baik sikap AS yang tidak lagi mendorong keanggotaan Ukraina dalam NATO.
"Kami telah mendengar pernyataan dari Washington bahwa keanggotaan Ukraina di NATO dikesampingkan. Ini sejalan dengan sikap kami," ujar Peskov, seperti dikutip TASS.
Pertemuan di London akan menjadi penentu apakah perang yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini bisa segera memasuki fase akhir.
Ringkasan Peristiwa Terbaru
Kebocoran informasi terbaru menunjukkan bahwa pemerintahan Trump mendorong sebuah "kesepakatan damai" antara Rusia dan Ukraina yang dinilai sangat menguntungkan pihak Moskow.
Dilansir The Telegraph dan Politico, kesepakatan tersebut mencakup penghentian pertempuran di sepanjang garis depan sepanjang 1.000 kilometer yang saat ini ada di Ukraina.
Selain itu, Rusia akan mendapat pengakuan resmi atas wilayah Krimea, yang dicaplok pada 2014.
Trump juga disebut mendukung pemberian hak veto bagi Rusia terhadap keanggotaan Ukraina di NATO.
Tak hanya itu, laporan yang belum dikonfirmasi menyebutkan pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia – yang direbut Rusia sejak 2022 – akan dijadikan zona "netral".
Moskow sendiri tetap pada tuntutan maksimalisnya, The Guardian melaporkan.
Kremlin ingin Ukraina menyerahkan seluruh wilayah yang telah dianeksasi, serta menerima status netral secara permanen.
Namun, pemerintah Ukraina menolak tegas usulan tersebut.
Kyiv menilai kesepakatan semacam ini sama saja dengan bentuk penyerahan diri, dan akan membuat negara mereka tanpa perlindungan jika Rusia kembali melancarkan serangan di masa depan.
Seorang jurnalis senior asal Rusia dilaporkan melarikan diri dari tahanan rumah setelah menghadapi dakwaan serius karena mengkritik militer negaranya.
Ekaterina Barabash, yang berusia 63 tahun, sebelumnya ditangkap pada Februari 2024.
Menurut laporan media pemerintah Rusia, Barabash tengah diburu oleh kepolisian setelah berhasil kabur dari pengawasan.
Ia dikenal sebagai pengkritik vokal terhadap invasi Moskow ke Ukraina.
Di akun Facebook pribadinya, Barabash menulis bahwa Rusia telah "mengebom negara itu" dan "meratakan seluruh kota dengan tanah".
Komentar seperti ini kini tergolong pelanggaran berat di Rusia, di mana Presiden Vladimir Putin telah melarang keras segala bentuk kritik terhadap militer maupun operasi militer khusus di Ukraina.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Hari ke-1.154: Pertama Kali, Putin Sebut Rusia-Kyiv Bisa Berunding Langsung
Jika terbukti bersalah, Barabash terancam hukuman hingga 10 tahun penjara.
Kasus ini mengingatkan publik pada insiden serupa yang menimpa Marina Ovsyannikova, mantan jurnalis TV pemerintah Rusia.
Ovsyannikova sempat menghebohkan dunia ketika memprotes perang Ukraina secara langsung di tengah siaran TV pada tahun 2022.
Setelah itu, ia juga melarikan diri dari tahanan rumah dan berhasil keluar dari Rusia.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.