Krisis Korea
Korea Selatan Gelar Pilpres Imbas Pemakzulan Yoon Suk Yeol dan Kontroversi Darurat Militer
Hingga pukul 11.00 pagi, Komisi Pemilihan Umum Nasional mencatat 8,1 juta orang, atau lebih dari 18 persen pemilih
Editor:
Hasiolan Eko P Gultom
Korea Selatan Gelar Pilpres Imbas Pemakzulan Yoon Suk Yeol dan Kontroversi Darurat Militer
TRIBUNNEWS.COM, SEOUL - Korea Selatan (Korsel) menggelar pemilihan presiden (Pilpres) pada hari ini, Selasa (3/6/2025).
Pilpres Korsel mestinya digelar pada 2027 mendatang.
Namun, pemakzulan mantan Presiden Yoon Suk Yeol akibat kebijakan darurat militernya yang kontroversial memaksa Korsel menggelar Pemilu lebih cepat untuk mengisi kekosongan Presiden.
Pemungutan suara akan dimulai pada pukul 06.00 pagi waktu setempat dan ditutup pada pukul 20.00 malam.
Seperti dikutip dari Reuters, partisipasi pemilih diperkirakan akan tinggi dalam Pemilu ini.
Hal ini didukung oleh data pemungutan suara awal yang menunjukkan lebih dari sepertiga dari 44,39 juta pemilih yang memenuhi syarat telah menggunakan hak suara mereka.
Hingga pukul 11.00 pagi, Komisi Pemilihan Umum Nasional mencatat 8,1 juta orang, atau lebih dari 18 persen pemilih, telah memberikan suara di 14.295 TPS di seluruh negeri.
Para kandidat telah mengakhiri kampanye 3 minggu mereka pada Senin malam.
Setelah berkeliling ke seluruh negeri untuk kampanye, mereka kembali berkumpul di ibu kota, Seoul, untuk mengadakan rapat umum besar terakhir sebelum hari pemilihan.
Dalam setiap kesempatan kampanye, para kandidat berjanji untuk meninggalkan masa-masa kekacauan politik yang telah terjadi selama berbulan-bulan di Korea Selatan dan menstabilkan ekonomi yang kian lesu.
Dua kandidat terkemuka yang bersaing dalam Pemilu ini adalah pemimpin liberal Lee Jae Myung dan saingannya dari partai konservatif, Kim Moon-soo.
Keduanya berjanji untuk menciptakan perubahan bagi Korsel.
Mereka sepakat bahwa sistem politik dan model ekonomi yang telah membantu Korsel muncul sebagai kekuatan demokrasi dan industri kini tidak lagi efektif digunakan untuk menghadapi tantangan zaman.
Meski demikian, ada perbedaan dalam visi ekonomi mereka.
Lee Jae Myung lebih sering mengadvokasi tentang kesetaraan dan bantuan kepada keluarga berpenghasilan menengah ke bawah, sementara Kim Mon-soo lebih sering berbicara tentang memberikan kebebasan lebih luas bagi bisnis dari regulasi yang ketat dan perselisihan buruh.
Terlepas dari segala janji kebijakan, pemilu Korsel tahun ini tak bisa lepas dari bayang-bayang kontroversi darurat militer Yoon, yang secara signifikan memengaruhi sentimen publik dalam memilih.
Lee Jae Myung menyebut pemilu kali ini merupakan ‘’hari penghakiman’’ terhadap Kim Mon-Soo dan Partai Kekuatan Rakyatnya.
Lee menuding Kim dan partainya membiarkan upaya darurat militer Yoon dan tidak berjuang lebih keras untuk menggagalkan kebijakan tersebut.
Lee bahkan menyebut Kim dan partainya mencoba menyelamatkan Kepresidenan Yoon.
Kim Mon-Soo sendiri merupakan Menteri Ketenagakerjaan Yoon sebelum akhirnya mantan Presiden tersebut dimakzulkan.
Disisi lain, Kim melabeli Lee sebagai ‘’diktator’’ dan menyebut partai demokratnya sebagai ‘’monster’’.
Kim memperingatkan bahwa jika mantan pengacara Hak Asasi Manusia itu menjadi Presiden, maka ia dan partainya akan memiliki kekuasaan penuh untuk mengubah undang-undang apa pun semata-mata hanya karena mereka tidak menyukainya.
Dalam suasana yang terpolarisasi ini, para pemilih di Seoul menyuarakan harapan mereka untuk pemimpin selanjutnya.
Mereka mendesak pemimpin berikutnya untuk meredakan perselisihan, memulihkan stabilitas, serta mengatasi dampak dari krisis yang telah menyentuh keluarga mereka secara pribadi.
“Perekonomian telah menjadi jauh lebih buruk sejak 3 Desember, tidak hanya bagi saya tetapi saya mendengarnya dari semua orang,” kata Kim Kwang-ma (81 tahun). “Dan kita sebagai rakyat telah menjadi begitu terpecah... dan saya berharap kita dapat bersatu sehingga Korea dapat berkembang lagi,” lanjutnya.
Berdasarkan survei pendapat Gallup Korea yang dirilis seminggu sebelum pemungutan suara, Lee diprediksi akan memenangkan pemilihan.
Lee mendapatkan dukungan publik sebesar 49 persen dalam survei tersebut, unggul 14 poin dari Kim.
Setelah tempat pemungutan suara ditutup pada pukul 20.00, hasil exit poll (jajak pendapat yang dilakukan di luar TPS sesaat setelah pemilih mencoblos) yang dilakukan oleh tiga jaringan televisi akan dirilis.
Surat suara akan disortir dan dihitung dengan mesin terlebih dahulu, kemudian diperiksa ulang oleh petugas pemilu secara manual untuk memverifikasi keakuratannya.
Belum ada kepastian mengenai kapan hasil resmi pemilu akan diumumkan.
Pada pemilihan tahun 2022 lalu, Lee mengakui kekalahan dari Yoon sekitar pukul 03.00 pagi pada hari setelah pemungutan suara.
Pemilu 2022 adalah pemilihan Presiden tersengit dalam sejarah negara tersebut, dengan selisih kemenangan kurang dari 1 persen.
Komisi Pemilihan Umum Nasional dijadwalkan untuk mengesahkan hasil Pemilu pada hari Rabu, dan pelantikan pemenang diperkirakan akan dilakukan dalam beberapa jam setelah itu.
Pada pemilu kali ini, tidak akan ada transisi kepresidenan seperti biasa karena jabatan Presiden masih kosong sejak Yoon dimakzulkan oleh parlemen dan kemudian diberhentikan oleh Mahkamah Konstitusi pada 4 April lalu.
(Grace Sanny Vania/*)
Krisis Korea
Presiden Baru Korea Selatan Mau Perkuat Hubungan dengan AS-Jepang, Lanjutkan Dialog dengan Korut |
---|
Kisruh di TPS Pilpres Korsel: Pria Serang Petugas, Wanita Robek Surat Suara |
---|
Pilpres Korsel Digelar Besok, Ini Kandidat Terkuat yang Bakal Jadi Presiden pasca Pemakzulan |
---|
Profil Kim Moon Soo, Perjalanan Mengejutkan Aktivis Buruh Pabrik ke Panggung Politik |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.