Konflik Palestina Vs Israel
Perayaan Idul Adha 2025 di Gaza Sepi, Tak Ada Daging Kurban Warga Hadapi Krisis Pangan
Perayaan Idul Adha 2025 di Gaza berlangsung dalam suasana duka dan kelaparan buntut blokade ketat yang diberlakukan Israel sejak 7 Oktober 2023.
Penulis:
Namira Yunia Lestanti
Editor:
Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM – Tak seperti negara lainnya, perayaan Idul Adha 2025 di Gaza berlangsung dalam suasana duka dan kelaparan buntut blokade ketat yang diberlakukan Israel sejak 7 Oktober 2023.
Idul Adha, salah satu hari raya terpenting bagi umat Islam, biasanya ditandai dengan penyembelihan hewan kurban untuk mengenang Nabi Ibrahim.
Namun sama seperti tahun sebelumnya, di tahun ini perayaan Idul Adha tidak terlalu meriah di banyak wilayah Palestina, di mana konflik selama berbulan-bulan telah membawa kehancuran dan ketidakpastian.
Abu Hatim Al-Zarqa, seorang peternak lokal, mengungkapkan bahwa tidak ada hewan kurban hidup yang masuk ke Gaza sejak Oktober 2023.
Karena impor hewan hidup dari luar wilayah diblokir, sehingga jumlah hewan kurban yang tersedia di Gaza sangat terbatas.
Dalam wawancara yang dikutip Middle East Monitor Ia juga mengaku kesulitan mendapatkan pakan ternak.
Jika pun ada, harga pakan menjadi sangat mahal, pada akhirnya biaya memelihara hewan meningkat tajam.
Alhasil harga hewan kurban yang dipasarkan di Gaza harganya melambung tinggi, membuatnya tidak terjangkau bagi sebagian besar warga.
Gaza Kiamat Pangan
Tak hanya krisis hewan kurban, ancaman blokade yang dilakukan militer Israel telah membuat jutaan orang di Gaza kekurangan pangan yang sangat parah.
Situasi ini diperburuk oleh melonjaknya harga pangan. Di tengah kelangkaan, harga makanan pokok seperti roti dan air meningkat drastis.
Baca juga: Pengungsi Kamp Al-Shati dan Al-Nasr Gaza Krisis Air Bersih dan Bahan Makanan
Banyak keluarga hanya mampu makan sekali sehari, bahkan ada yang tidak makan sama sekali.
Krisis pangan mulai dirasakan warga Gaza sejak awal perang, meski sebagian kecil bantuan mulai masuk setelah blokade 11 minggu oleh pemerintah Israel, namun warga mengatakan bantuan itu tidak sampai ke wilayah utara.
"Kami makan apa pun yang ada, hanya satu kali sehari, dari pagi sampai malam. Kadang-kadang hanya lentil (kacang-kacangan kecil), kadang pasta," ujar Hazem, 21 tahun, dalam pesan video dari Gaza.
"Sudah satu setengah sampai dua bulan tidak ada tepung sama sekali. Harga satu kilo tepung di pasar gelap bisa mencapai 80 - 100 shekel (sekitar Rp350 - 450 ribu), dan kondisi kami sekarang tidak memungkinkan untuk membelinya," imbuhnya.
Sementara menurut laporan UNICEF dan PBB, ratusan ribu anak-anak kini mengalami malnutrisi akut. Sistem kesehatan yang nyaris lumpuh tidak mampu menangani lonjakan kasus kelaparan.
Israel berdalih pemblokiran dilakukan untuk menekan Hamas agar menyetujui persyaratan perpanjangan gencatan senjata.
Akan tetapi buntut kebijakan itu,jutaan warga Gaza terancam mati akibat kelaparan akut.
Terbaru, di tengah terjadinya kiamat pangan, seorang perempuan dan putrinya terpaksa mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah.
“Lalat yang beterbangan seperti tak mengusik keduanya. Semua dilakukan demi mencari sisa makanan di sebuah bangunan yang hancur di Kota Gaza, Palestina,” kata Perempuan bernama Islam Abu Taeima
Gaza Alami Krisis Air
Lebih lanjut aksi blokade yang dilakukan militer Israel juga turut memicu kekurangan air bersih bagi banyak warga Gaza.
Akses terhadap air yang aman untuk dikonsumsi sangat terbatas, diperparah oleh berhentinya operasi pabrik desalinasi dan sumur-sumur air akibat kelangkaan bahan bakar.
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), sebanyak 72 persen fasilitas air, sanitasi, dan kebersihan di Gaza kini berada dalam zona militerisasi Israel atau di wilayah yang telah diperintahkan untuk dievakuasi sejak 18 Maret.
Kondisi ini secara drastis membatasi kemampuan warga untuk mendapatkan air bersih.
Padahal, PBB menetapkan kebutuhan minimum air bersih bagi setiap orang adalah 7,5 liter per hari.
Jumlah ini mencakup air untuk minum, memasak, dan kebersihan pribadi.
Namun kenyataannya, akses rata-rata air bersih yang bisa didapatkan oleh warga Gaza per hari berada jauh di bawah angka tersebut.
Krisis ini menempatkan mereka dalam situasi yang sangat rentan terhadap penyakit, dehidrasi, dan ancaman kesehatan lainnya, terutama bagi anak-anak, lansia, dan mereka yang sakit.
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.