Donald Trump Pimpin Amerika Serikat
Iran Kutuk Kebijakan Larangan Perjalanan AS: Sebuah Sikap Rasis dan Bermusuhan terhadap Muslim
Iran kecam larangan perjalanan AS sebagai tindakan rasis dan bermusuhan terhadap warga Iran dan negara mayoritas Muslim lainnya.
Penulis:
Andari Wulan Nugrahani
Editor:
Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Iran mengecam keras larangan perjalanan terbaru yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap warga Iran dan sejumlah negara lainnya.
Dalam pernyataan resmi, Tehran menyebut kebijakan tersebut “rasis” dan mencerminkan permusuhan mendalam terhadap warga Iran serta umat Muslim.
Larangan itu diumumkan pada Rabu (5/6/2025) melalui perintah eksekutif yang ditandatangani langsung oleh Trump.
Aturan tersebut akan mulai berlaku pada Senin (9/6/2025),
Larangan perjalanan Trump mencakup pembatasan atau pelarangan total bagi warga dari 19 negara, mayoritas berasal dari Afrika dan Timur Tengah.
“Keputusan ini menunjukkan dominasi pola pikir supremasi dan rasis di antara para pembuat kebijakan AS,” ujar Alireza Hashemi-Raja, Kepala Departemen Urusan Warga Iran di Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri Iran, dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (7/6/2025).
Ia menilai kebijakan itu melanggar norma hukum internasional dan mengabaikan hak dasar untuk bepergian yang seharusnya dimiliki semua orang tanpa diskriminasi.
Trump berdalih larangan itu diberlakukan demi melindungi keamanan nasional.
Dalam video yang dirilis Rabu lalu, ia bahkan membuka kemungkinan menambah lebih banyak negara ke dalam daftar jika dianggap menimbulkan ancaman.
Negara-Negara yang Terdampak
Larangan penuh diterapkan kepada warga dari 12 negara: Afghanistan, Myanmar, Chad, Republik Kongo, Guinea Khatulistiwa, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman.
Baca juga: 10 Golongan yang Dikecualikan dari Larangan Perjalanan ke AS oleh Donald Trump
Sementara itu, pembatasan parsial diberlakukan terhadap warga dari Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Turkmenistan, Togo, dan Venezuela.
Sebagian besar negara tersebut diketahui memiliki hubungan tegang atau bahkan bermusuhan dengan Washington, serta sedang dilanda konflik atau dipimpin oleh rezim represif.
Beberapa dari mereka juga termasuk dalam daftar "Emergency Watchlist" 2025 dari International Rescue Committee (IRC), seperti Sudan, Myanmar, Haiti, dan Afghanistan.
Kritik Internasional
IRC menyuarakan keprihatinan mendalam atas konsekuensi kemanusiaan dari kebijakan ini, terutama bagi keluarga pengungsi dan pencari suaka yang ingin bersatu kembali.
Organisasi itu menekankan bahwa larangan ini tidak memberikan pengecualian untuk kasus-kasus darurat kemanusiaan.
“Larangan ini dapat merusak prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan nilai-nilai Amerika,” tulis IRC dalam pernyataannya.
Larangan juga memicu respons keras dari berbagai negara.
Presiden Chad, Mahamat Idriss Deby Itno, mengumumkan pembalasan dengan menangguhkan visa untuk warga AS.
Ia menegaskan, “Chad mungkin tak punya pesawat atau uang miliaran dolar, tapi kami punya harga diri.”
Komisi Uni Afrika turut mengecam langkah ini.
Mereka menyatakan kekhawatirannya terhadap dampak larangan tersebut terhadap pertukaran pendidikan, hubungan diplomatik, dan koneksi antarwarga yang telah terjalin puluhan tahun.
Isu Keamanan
Trump mengklaim kebijakan ini penting untuk mencegah masuknya “orang-orang buruk” ke AS.
Sejumlah analis menilai pendekatan ini justru kontraproduktif.
Baca juga: Langkah UEA Mencabut Larangan Perjalanan ke Lebanon Disambut Baik oleh PM Lebanon Nawaf Salam
Dalam periode sebelumnya (2017–2021), larangan serupa telah menuai gugatan hukum dan dinilai diskriminatif.
Kebijakan ini juga tidak menyasar pemegang visa dan kartu hijau yang sudah sah, meski pengecualian itu sangat terbatas.
Beberapa kategori visa masih diizinkan, tergantung pada kepentingan nasional AS.
Meskipun hubungan diplomatik antara Iran dan AS telah terputus sejak 1980, Amerika Serikat tetap menjadi rumah bagi sekitar 1,5 juta diaspora Iran.
Kebijakan baru ini diperkirakan akan berdampak besar pada keluarga-keluarga yang ingin berkumpul kembali atau menjalani studi dan pekerjaan di AS.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.