Konflik Palestina Vs Israel
Gencatan Senjata Alot, Israel Minta Waktu 2 Minggu untuk Rampungkan Kesepakatan dengan Hamas
Israel minta waktu untuk rampungkan negosiasi gencatan senjata dan pembebasan sandera dengan Hamas selama dua minggu
Penulis:
Namira Yunia Lestanti
Editor:
Sri Juliati
TRIBUNNESS.COM - Kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera antara Israel dan Hamas kemungkinan baru dapat tercapai dalam waktu satu hingga dua minggu ke depan.
Demikian kata pejabat senior Israel dalam laporannya.
Ia menyebut bahwa proses negosiasi gencatam senjata yang tidak mungkin selesai hanya dalam satu hari, meski sejumlah kemajuan telah dicapai.
“Jika kesepakatan sementara selama 60 hari berhasil dicapai, maka Israel akan menggunakan jeda tersebut untuk mendorong gencatan senjata permanen yang mengharuskan Hamas melucuti senjatanya,” ujar pejabat tersebut yang enggan disebutkan namanya, seperti dikutip dari Reuters.
Pernyataan ini muncul saat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melakukan kunjungan ke Washington dan bertemu Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam dua hari berturut-turut untuk membahas situasi di Jalur Gaza.
Hal senada juga turut dilontarkan Presiden AS Donald Trump yang menyatakan bahwa kesepakatan antara Israel dan Hamas "sangat dekat",
Namun ia menegaskan bahwa pengumuman tidak akan dilakukan terburu-buru, sehingga memungkinkan tercapainya kesepakatan pada minggu ini atau pekan depan, namun belum ada kepastian.
“Kami ingin perdamaian. Kami ingin mendapatkan kembali para sandera. Dan saya rasa kami hampir mencapainya,” ujar Trump saat jumpa pers.
Gencatan Senjata Buntu
Terpisah, delegasi dari Israel dan Hamas memulai perundingan tidak langsung di Doha. Mereka mencoba menyepakati penghentian sementara perang.
Utusan AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, telah mengusulkan gencatan senjata 60 hari dengan imbalan pembebasan separuh dari 20 sandera yang masih hidup di Gaza.
Namun upaya gencatan senjata selama 60 hari antara Israel dan Hamas kembali menemui jalan terjal seusai PM Israel Benjamin Netanyahu bersikukuh mempertahankan pasukan militernya di bagian selatan Jalur Gaza.
Israel bersikeras ingin mempertahankan kehadiran pasukannya di Koridor Morag, jalur strategis di selatan Gaza, selama masa gencatan senjata 60 hari.
Permintaan ini dilontarkan Netanyahu buka tanpa alasan, pasalnya koridor ini dinilai penting bagi strategi militer Israel karena menjadi jalur kendali utama yang memungkinkan pemisahan wilayah utara dan selatan Gaza.
Baca juga: Israel Tolak Mundur dari Gaza, Gencatan Senjata di Ujung Tanduk
Tak sampai disitu, sebagai bagian dari rencana gencatan senjata, Israel turut mengusulkan pembebasan 10 sandera hidup dan 9 jenazah sandera.
Israel juga menyatakan akan menggunakan masa gencatan senjata sementara untuk menawarkan kesepakatan gencatan senjata permanen yang mengharuskan Hamas melucuti senjatanya.
Namun, Hamas menolak opsi ini, menyebutnya sebagai bentuk penyerahan sepihak.
Hamas dengan tegas menolak syarat yang dibawa Israel ke meja negosiasi itu. Hamas, yang diyakini masih menyandera puluhan warga Israel dan asing, menyebut kehadiran Israel sebagai bentuk pendudukan yang tidak bisa ditoleransi.
Dengan Hamas dan Israel masih bersikeras pada posisi masing-masing, tercapainya gencatan senjata jangka panjang tampaknya masih jauh dari harapan.
Tekanan internasional terus meningkat, namun tanpa kompromi dari kedua belah pihak, konflik yang telah merenggut puluhan ribu nyawa ini masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Sementara perundingan berjalan lambat, kondisi kemanusiaan di Gaza terus memburuk. Kekurangan bahan bakar, obat-obatan, dan air bersih telah mengancam nyawa ribuan pasien rumah sakit, termasuk bayi prematur dan pasien dialisis.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut situasi ini sebagai "kondisi kesehatan yang kaku" akibat pengepungan yang terus berlangsung.
RS di Gaza Krisis
Di tengah macetnya usulan gencatan senjata, kini sejumlah rumah sakit besar di wilayah konflik itu tengah menghadapi ancaman krisis bahan baku.
Ancaman krisis bahan bakar yang dirasakan layanan kesehatan di Gaza termasuk Rumah Sakit Al-Shifa dan Rumah Sakit Nasser di Khan Younis terjadi akibat pengepungan ketat oleh Israel.
Sejak Israel mengintensifkan serangan bom ke berbagai wilayah di Gaza, sistem kelistrikan di wilayah itu mulai runtuh.
Alhasil fasilitas kesehatan dan rumah sakit sepenuhnya bergantung pada generator diesel untuk menjalankan operasi.
Ini berdampak langsung pada layanan darurat lainnya, termasuk unit perawatan intensif neonatal yang menampung ratusan bayi prematur yang dirawat di inkubator.
Jika aliran listrik terputus total, para dokter memperkirakan puluhan bayi akan kehilangan nyawa hanya dalam hitungan jam.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 600 fasilitas kesehatan di Gaza telah terdampak sejak konflik meningkat pada Oktober 2023.
Hanya 19 dari 36 rumah sakit yang beroperasi sebagian, dan 94 persen fasilitas medis rusak atau hancur. Kondisi inilah yang membuat korban jiwa akan meningkat drastis, terutama di kalangan pasien kritis seperti bayi prematur.
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.