Menlu Malaysia Minta Warganya Hindari Istilah 'Ambalat': Kita Tak Ingin Berperang dengan Indonesia
Hasan juga mengimbau agar warga Malaysia tak ikut terpancing emosi dalam pembahasan wilayah yang disengeketakan dengan Indonesia tersebut.
Penulis:
Bobby W
Editor:
Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Luar Negeri Malaysia, Datuk Seri Mohamad Hasan mendesak semua pihak di negerinya untuk menyebut kawasan maritim yang disengketakan di perairan Sabah sebagai "Laut Sulawesi", bukan "Ambalat".
Hal tersebut disampaikan Hasan pada pidatonya di depan anggota Dewan Rakyat Malaysia pada Selasa siang (5/8/2025)
Menurut Hasan, penggunaan istilah Ambalat oleh warga Malaysia dapat digunakan Indonesia sebagai dasar guna memperkuat klaim teritorialnya.
Hasan menyatakan bahwa penggunaan istilah "Ambalat" oleh warga Malaysia menbuat Indonesia mendapatkan keuntungan dalam mengklaim kawasan mencakup Blok ND6 dan ND7 yang disengketakan di perairan Sabah.
“Saya ingin mengingatkan Dewan yang terhormat ini terkait penggunaan istilah "Ambalat" oleh Indonesia. Klaim mereka mencakup sebagian Laut Sulawesi, termasuk Blok ND6 dan ND7,” ujar Hasan yang meyakini bahwa wilayah tersebut masih berada di dalam kedaulatan perairan Malaysia.
“Posisi Malaysia adalah bahwa blok-blok tersebut berada dalam wilayah berdaulat kita, berdasarkan hukum internasional dan putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2002. Oleh karena itu, acuan yang tepat sesuai posisi Malaysia adalah 'Laut Sulawesi', bukan 'Ambalat'." tegas Hasan.
"Kita seharusnya tidak menggunakannya,” tambahnya merujuk Istilah "Ambalat" yang dinilai Hasan sebagai tatanama dari Indonesia yang dipakai untuk memperkuat klaimnya.
Hasan menyampaikan hal tersebut ketika menjawab pertanyaan mengenai kemungkinan pengembangan bersama kawasan tersebut bersama Indonesia dengan dasar penggunaan Peta Baru Malaysia edaran 1979.
Ia menegaskan bahwa putusan ICJ mengenai Sipadan dan Ligitan telah mengukuhkan hak maritim Malaysia yang diproyeksikan dari kedua pulau tersebut.
Putusan ICJ tersebut termasuk Blok ND6 dan ND7 yang kini tengah disengketakan dengan Indonesia.
Menurut Hasan, berdasarkan hukum internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, batas maritim ditentukan berdasarkan garis air rendah di sepanjang pantai, bukan garis pasang tertinggi.
Baca juga: Tangan Terbuka Prabowo Sambut Kedatangan PM Anwar Ibrahim di Istana
Ia menegaskan bahwa Malaysia mematuhi prinsip ini, sementara Indonesia justru mengklaim sebaliknya.
Meski ada selisih paham terkait klaim wilayah tersebut, Hasan menjamin bahwa Malaysia akan menangani masalah ini melalui cara damai.
Hasan mengaku tak mau masalah tersebut mengganggu hubungan bilateral yang kuat dengan Indonesia.
“Negosiasi batas maritim terus berlangsung dalam Rapat Teknis tentang Deliniasi Batas Maritim antara Malaysia dan Indonesia sejak 2005. Kami memiliki hubungan baik dengan Indonesia; 98 persen di antaranya positif. Kita tidak boleh membiarkan 2 persen sisanya memicu konflik." ungkap Hasan.
Hasan juga mengimbau agar warga Malaysia tak ikut terpancing emosi dalam pembahasan wilayah yang disengeketakan dengan Indonesia tersebut.
"Mari kita bernegosiasi mengenai potensi pemicu konflik sebesar 2 persen tersebut dengan tenang. Tentu kita tidak ingin berperang karenanya,” sambungnya.
Hasan juga menekankan bahwa penyelesaian batas maritim tetap menjadi prioritas pemerintah.
Langkah strategis yang diambil meliputi penyelesaian deliniasi maritim dengan Indonesia melalui mekanisme diplomatik, hukum, dan teknis.
Hasan juga ingin memastikan keterlibatan penuh warga Sabah dalam setiap keputusan yang memengaruhi atau berbatasan dengan negara bagian tersebut.
Hal ini dinilainya wajib dilakukan guna melindungi kepentingan strategis dan keamanan Malaysia, khususnya dalam sumber daya alam, perairan teritorial, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Mengenai peran Sabah, Mohamad menyatakan bahwa pemerintah negara bagian terlibat aktif dalam seluruh diskusi teknis dan negosiasi.
Baca juga: Polda Riau Bongkar Sindikat Penyelundupan TKW Ilegal ke Malaysia, 5 Wanita Jadi Korban
“Pemerintah Pusat bekerja sama erat dengan Sabah. Perwakilan mereka hadir dalam pertemuan dan negosiasi teknis mengenai batas maritim dengan Indonesia,” katanya.
Ia juga menyambut usulan agar pejabat dari Wisma Putra atau Departemen Maritim Malaysia memberikan penjelasan kepada anggota parlemen, senator, dan anggota dewan Sabah guna mencegah kebingungan atau manipulasi politik.
“Tidak ada masalah dalam melakukan penjelasan. Kita dapat menjadwalkannya agar semua pihak memahami masalah ini dengan jelas. Kita tidak ingin hal ini menjadi duri dalam daging atau bahan politik, terutama menjelang pemilihan umum Sabah. Mari kita pastikan hal ini tidak menyesatkan rakyat, khususnya masyarakat di Sabah dan Sarawak,” pungkasnya.
Sengketa Wilayah Dibahas dalam Kunjungan Anwar Ibrahim ke Indonesia
Polemik sengketa wilayah Indonesia dan Malaysia ini juga sempat dibicarakan dalam kunjungan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim ke Indonesia pada 29 Juli 2025 lalu.
Di dalam pertemuannya dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta tersebut, Anwar Ibrahim turut membahas perkembangan perundingan perbatasan kedua negara.
Hal tersebut dibenarkan oleh Menteri Luar Negeri RI, Sugiono saat menjelaskan sejumlah topik penting yang dibahas kedua pemimpin negara.
Pembicaraan antara Anwar dan Prabowo tersebut termasuk penurunan jumlah penangkapan nelayan di wilayah masing-masing yang sebelumnya menjadi isu sensitif dalam hubungan Indonesia-Malaysia.
"Kedua pemimpin membahas kemajuan yang telah dicapai selama beberapa waktu terakhir, terutama dalam penyelesaian masalah perbatasan dan penurunan angka penangkapan nelayan," terang Sugiono.
Selain itu, pertemuan juga membahas rencana pembentukan Community Learning Center bagi anak-anak pekerja migran Indonesia di wilayah Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak.
Fasilitas pendidikan ini bertujuan memastikan anak-anak pekerja migran Indonesia dapat mengakses pendidikan yang layak di lokasi penugasan orang tua mereka.
Topik lain yang diangkat adalah situasi di perbatasan Kamboja-Thailand.
Menlu Sugiono menyampaikan bahwa menteri luar negeri ASEAN telah berkoordinasi untuk mendorong kedua negara menahan diri.
"Indonesia telah menyampaikan kepada Ketua ASEAN, yaitu Malaysia, bahwa kami siap melakukan berbagai upaya guna menciptakan suasana deeskalasi dan gencatan senjata antara Thailand dan Kamboja," ujarnya.
Presiden Prabowo juga menyampaikan apresiasi terhadap kepemimpinan PM Anwar Ibrahim dalam memfasilitasi perundingan gencatan senjata Thailand-Kamboja.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Negara menekankan pentingnya hubungan erat antara Indonesia dan Malaysia mengingat kedua negara memiliki akar budaya, bahasa, dan sejarah yang sama.
Pertemuan ini merupakan bagian dari Konsultasi Tahunan ke-13 antara Indonesia dan Malaysia yang telah menjadi tradisi sejak 2004.
Ini menjadi pertemuan bilateral pertama setelah tujuh tahun terakhir, mengingat konsultasi terakhir diadakan pada 2017 di Kuching, Sarawak, Malaysia.
Melalui forum ini, kedua negara memperkuat komitmen untuk terus meningkatkan kerja sama di berbagai bidang demi kepentingan bersama.
Baca juga: Pesanan Rudal Balistik Indonesia Dilaporkan Telah Mendarat, Disiagakan Dekat Perbatasan Malaysia
Sejarah Sengketa Wilayah Indonesia dan Malaysia di Sabah
Kronologi sengketa wilayah ND6 dan ND7 yang diperebutkan Indonesia dan Malaysia dimulai pada tahun 1969, ketika kedua negara melakukan penelitian di dasar laut untuk mengetahui landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif.
Kedua negara kemudian menandatangani Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen Indonesia-Malaysia pada 27 Oktober 1969.
Namun, pada tahun 1979, Malaysia menerbitkan peta yang memasukkan wilayah ND6 dan ND7 sebagai bagian dari wilayahnya, yang bertentangan dengan perjanjian sebelumnya.
Pada tahun 2005, Malaysia memberikan konsesi minyak di blok ND6 dan ND7 kepada perusahaan minyak Shell, yang memicu ketegangan antara kedua negara.
Indonesia menolak klaim Malaysia dan mengklaim wilayah tersebut berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS).
Ketegangan ini berlanjut hingga tahun 2009, ketika pemimpin kedua negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, mengambil langkah politik untuk meredakan ketegangan.
Pada tahun 2025, Malaysia menegaskan bahwa Blok ND6 dan ND7 merupakan bagian dari wilayah kedaulatan negara berdasarkan keputusan Mahkamah Keadilan Antarabangsa (ICJ) pada tahun 2002.
Namun, Indonesia menolak klaim tersebut dan mengklaim wilayah tersebut berdasarkan UNCLOS.
Kedua negara akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur diplomasi dan perundingan.
Hal ini bisa dilihat pada langkah terbaru Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim pada 2025 ini yang menawarkan kesepakatan untuk mengelola bersama sumber daya minyak dan gas di wilayah tersebut, meskipun isu kedaulatan belum terselesaikan.
Indonesia dan Malaysia kemudian sepakat untuk mengelola Blok Ambalat bersama dalam pertemuan bilateral Prabowo-Anwar Ibrahim pada tahun 2025 lalu.
Perjanjian ini pun menandai babak baru kerja sama bilateral antara kedua negara di tengah belum tercapainya kesepakatan batas wilayah landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) antara Malaysia dan Indonesia.
(Tribunnews.com/Bobby)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.