Sabtu, 23 Agustus 2025

Konflik Palestina Vs Israel

Netanyahu Gaspol Operasi Caplok Gaza, Tentara yang Burnout Dipaksa Maju Perang

Netanyahu telah memulai operasi besar untuk mengambil alih Kota Gaza, namun pasukan tampak lelah dan burn out gegara agresi perang dengan Hamas.

Facebook PM Israel
NETANYAHU BERPIDATO - Foto ini diambil dari Facebook PM Israel pada Rabu (13/8/2025). Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah memulai operasi besar untuk mengambil alih Kota Gaza, namun pasukan tampak lelah dan burn out gegara agresi perang dengan Hamas yang tak kunjung rampung 

TRIBUNNEWS.COM – Pemerintah Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benyamin Netanyahu mengumumkan bahwa militernya telah memulai operasi besar untuk mengambil alih Kota Gaza.

Dalam keterangan resmi yang dirilis Juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Brigadir Jenderal Effie Defrin, menyatakan bahwa pasukannya saat ini sudah bergerak aktif di sekitar kota.

Mereka mengklaim bahwa kelompok Hamas sudah dalam kondisi “babak belur” serta hanya dapat bertempur dengan taktik gerilya.

“Kami telah memulai operasi awal dan tahap pertama serangan terhadap Kota Gaza, dan saat ini pasukan IDF telah menguasai pinggiran Kota Gaza,” kata Defrin, dikutip dari Reuters.

Israel berdalih pencaplokan Gaza dilakukan agar dapat melemahkan infrastruktur militer Hamas dan memutus kemampuan mereka melakukan serangan.

Terlebih Gaza memiliki posisi strategis di pesisir Laut Tengah. Kendali atas wilayah ini bisa memberi Israel keuntungan militer dan geopolitik dalam jangka panjang.

Terutama jika konflik regional antara Israel dan Hamas yang telah memanas sejak 2022 silam kembali pecah.

Untuk mempercepat pencaplokan Gaza, pemerintah Israel bahkan mengerahkan 60.000 tentara cadangan yang terdiri dari tiga brigade cadangan dan batalyon tambahan,serta lima divisi perang.

Selain pengerahan pasukan baru, kontrak sekitar 20.000 tentara cadangan yang telah aktif akan diperpanjang.

Keputusan ini disebut sebagai bagian dari fase baru perang yang disetujui Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz.

Tentara Israel Burnout

Baca juga: Militer Israel Klaim Kuasai Pinggiran Gaza, Serangan ke Gaza telah Dimulai

Di tengah rencana pencaplokan Gaza, militer Israel diisukan menghadapi masalah serius dalam hal sumber daya manusia.

Pasukan tampak sudah mulai lelah dan burn out setelah menjalani agresi perang hampir dua tahun.

Bahkan ribuan tentara dilaporkan mengalami stres berat, trauma mendalam, hingga gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

Fenomena ini menjadi tantangan baru bagi Israel di tengah operasi militer yang terus berlangsung tanpa kepastian akhir.

Data resmi militer Israel menyebut lebih dari 80 ribu tentara telah masuk ke dalam program rehabilitasi sejak agresi dimulai pada Oktober 2023.

Dari jumlah itu, sekitar 26 ribu kasus berkaitan dengan masalah kesehatan mental, dengan sepertiga di antaranya diagnosis PTSD.

Studi dari Universitas Tel Aviv menunjukkan gejala PTSD di kalangan prajurit meningkat drastis, dari kurang dari 0,5 persen saat awal wajib militer menjadi 12 persen pada 2025.

Lonjakan itu juga terlihat dari permintaan pengakuan cedera psikologis.

Sepanjang 2024, sekitar 9 ribu pasukan mengajukan klaim mengalami depresi, gangguan penyesuaian, hingga trauma berat.

Sebagian besar di antaranya adalah tentara cadangan yang berulang kali dipanggil kembali ke garis depan.

Penyebab Tekanan Mental Prajurit

Ada berbagai faktor yang dianggap mendorong tingginya angka stres di tubuh militer Israel.

Pertama, panjangnya masa penugasan di Gaza membuat pasukan mengalami kelelahan fisik dan mental. Banyak dari mereka ditugaskan hingga ratusan hari, bahkan dalam operasi perkotaan yang brutal dengan risiko tinggi.

Adalah, Avshalom Zohar Sal, salah satu tentara Israel yang menceritakan pengalaman saat bertugas di Gaza selama lebih dari 300 hari.

Dalam durasi waktu itu, ia mengaku diberi empat penugasan berbeda. Penugasan terakhir rampung sebulan lalu, namun Sal enggan kembali ke medan tempur terutama operasi skala besar di Kota Gaza.

 "Saya agak terkejut karena kita masih membicarakan perang yang seharusnya sudah berakhir sejak lama," kata Sal.

 Ia dan anggota lain di unitnya punya kekhawatiran yang sama terkait tujuan operasi skala besar di Kota Gaza.

"Saya pikir keputusan ini adalah hukuman mati bagi para sandera," ujar Sal.

Alasan kedua, munculnya kebingungan moral di kalangan tentara terkait tujuan perang.

Beberapa prajurit menyatakan frustrasi karena misi yang awalnya bertujuan menyelamatkan sandera kini berubah menjadi upaya menghancurkan Hamas—sesuatu yang dinilai tidak realistis.

Kondisi itu membuat sejumlah tentara merasa seolah dikorbankan dalam perang tanpa arah yang jelas.

Sejumlah pejabat militer mengakui bahwa persoalan ini telah berkembang menjadi tantangan nasional.

Anggaran besar digelontorkan untuk memperkuat layanan rehabilitasi, termasuk penambahan ribuan tenaga kesehatan mental serta pembukaan layanan darurat 24 jam.

Namun, beban kasus yang terus bertambah membuat efektivitas penanganan diragukan.

(Tribunnews.com / Namira)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan