Kerusuhan di Angola Berawal dari Protes Kenaikan Harga BBM, Picu Eksodus Massal Warga Tiongkok
Demo di Luanda, Angola, protes kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menyebabkan korban berjatuhan.
Editor:
Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Angola tengah menghadapi krisis ganda: kelumpuhan ekonomi dan ketegangan diplomatik.
Bisnis-bisnis masih tutup, sementara ribuan warga negara Tiongkok yang meninggalkan negara itu diperkirakan tidak akan kembali dalam waktu dekat.
Dikutip dari Tribun Sulbar, Kondisi ini bermula dari sebuah protes lokal yang dipicu kenaikan harga bahan bakar pada akhir bulan Juli 2025 lalu.
Angola dikenal sebagai negara penghasil minyak terbesar di Afrika.
Kebijakan pemerintah yang dipimpin Joao Lourence ditentang keras rakyatnya.
Joao Lourence menaikan harga BBM subsidi dari 300 menjadi 400 kwanza.
Atau sekitar Rp 5.300 ke Rp 7.100.
Kekacauan mulai Senin (28/7/2025) menyebabkan aktivitas di Ibu Kota Luanda lumpuh total.
Protes dimulai dari gerakan mogok sopir taksi secara nasional.
Kebijakan itu memicu kemarahan para pengemudi candongueiro (taksi minibus bersama) yang menjadi tulang punggung transportasi umum di Luanda.
Sementara serikat pekerja ANATA mengorganisir aksi mogok tiga hari sebagai bentuk tekanan.
Namun, protes tersebut dengan cepat meluas menjadi gelombang kerusuhan besar di Luanda dan Malanje.
Distrik komersial hingga kawasan industri ikut terdampak, sementara amarah massa banyak diarahkan kepada bisnis milik warga Tiongkok.
Lebih dari 90 gerai ritel dirusak, sejumlah pabrik milik investor Tiongkok terpaksa ditutup, dan kerusuhan merenggut setidaknya lima nyawa.
Kerusuhan Meluas di Angola
Kerusuhan sosial meluas di Angola. Suara tembakan terdengar di kawasan Cazenga, Luanda.
Massa terlihat menjarah makanan dan kebutuhan pokok dari sejumlah toko.
Bentrokan hebat juga terjadi di Rocha Pinto, dekat bandara.
Jalanan di kawasan Prenda diblokade dengan tong sampah yang dibakar.
Polisi Angola menyebut insiden sebagai “kekacauan terisolasi”.
Namun, mereka mengakui adanya korban.
“Saat ini kami melaporkan empat korban tewas,” kata Wakil Komisaris Polisi, Mateus Rodrigues, dalam konferensi pers.
Ia tidak merinci penyebab kematian tersebut.
Sebanyak 400 orang ditangkap pada malam sebelumnya.
Penerbangan dari Angola penuh sesak, sementara misi diplomatik Tiongkok mengeluarkan imbauan darurat agar warganya segera meninggalkan negara itu.
Eksodus Massal
Gelombang kekerasan ini menyingkap kebencian yang lebih dalam. Selama bertahun-tahun, investasi Tiongkok menjadi tulang punggung rekonstruksi pascaperang Angola.
Dari pembangunan jalan, rel kereta, hingga sektor ritel dan manufaktur, perusahaan Tiongkok telah mengakar dalam ekonomi negara itu. Namun, kehadiran mereka juga menimbulkan sentimen negatif.
Seiring ketimpangan ekonomi yang melebar dan layanan publik yang memburuk, banyak warga Angola menilai bisnis Tiongkok eksploitatif dan tidak peduli pada kesejahteraan masyarakat.
Menurut laporan Ecodima, asosiasi perdagangan Angola, tujuh jaringan ritel besar yang terkait dengan Tiongkok dijarah, dan 72 gerai merek Arreioua ikut menjadi sasaran.
Video yang beredar di media sosial menunjukkan pemilik toko asal Tiongkok membarikade diri di dalam toko sementara massa menjarah barang dagangan.
Di kawasan industri, pabrik-pabrik ditutup tergesa-gesa, gerbang digembok, dan produksi berhenti total. Dampak psikologisnya besar, baik bagi pekerja lokal maupun komunitas Tiongkok.
Eksodus massal warga Tiongkok menimbulkan kekosongan besar.
Angola, yang menampung salah satu komunitas ekspatriat Tiongkok terbesar di Afrika dengan jumlah sekitar 250.000–300.000 orang, kini harus menghadapi dampaknya.
Bukan hanya perdagangan yang lumpuh, tetapi juga rantai pasokan dan proyek infrastruktur strategis ikut terhenti.
Pemerintahan Presiden João Lourenço mendapat kritik tajam atas penanganan krisis.
Meski pemerintah mengutuk kekerasan, banyak pihak menilai mereka gagal mengantisipasi dampak kenaikan harga bahan bakar dan abai terhadap penderitaan rakyat.
“Pemerintah membiarkan harga naik dengan harapan mencegah pemberontakan, tetapi justru memicu kemarahan yang lebih besar,” kata aktivis lokal, Laura Macedo.
Sentimen Anti-Tiongkok
Kekecewaan publik ini memperlihatkan masalah struktural yang lebih dalam. Kekayaan minyak Angola selama ini tidak dirasakan mayoritas rakyat, melainkan memperlebar jurang antara elit dan masyarakat biasa.
Bagi Beijing, Angola merupakan mitra strategis yang kaya minyak, mineral, dan berpengaruh secara geopolitik.
Namun, kerusuhan ini mengancam investasi dan hubungan diplomatik yang telah dibangun bertahun-tahun.
Pemerintah Tiongkok belum mengeluarkan pernyataan resmi, tetapi media pemerintah sudah menyoroti krisis ini dengan nada penuh kekhawatiran.
Dampaknya bisa meluas ke negara-negara Afrika lain, di mana pengaruh Tiongkok juga kuat.
Baca juga: Penggelapan Dana di Expo Osaka 2025, Pavilion Angola Picu Gugatan Subkontraktor
Jika sentimen anti-Tiongkok terus berkembang, Beijing berpotensi menghadapi penolakan lebih luas terhadap model “infrastruktur untuk sumber daya” yang selama ini mereka terapkan.
Situasi di Angola masih bergejolak.
Meski kerusuhan mereda, ketegangan tetap terasa.
Pasokan BBM di Manggarai NTT Dipastikan Aman Setelah Sempat Alami Kelangkaan |
![]() |
---|
Sambut HUT RI, Pertamina Guyur Diskon BBM hingga Rp 450 Per Liter |
![]() |
---|
Pajak BBM di Jakarta Dipangkas hingga 80 Persen, Ini Syarat dan Cara Lapornya |
![]() |
---|
BBM Sempat Langka di Jember, Anggota Komisi VI DPR Usul Pengiriman BBM Lewat Jalur Kereta |
![]() |
---|
Polisi Dalami Unsur Kelalaian Kasus Kesalahan Pengisian Tangki BBM di SPBU Kembangan, Jakarta Barat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.