Konflik Palestina Vs Israel
Warga Gaza Terus Dibombardir, Netanyahu Bicara Gencatan Senjata Sambil Rencanakan Serangan Baru
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan dua pesan bertolak belakang di tengah serangan yang terus berlanjut di Gaza.
Penulis:
Farrah Putri Affifah
Editor:
Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM - Ketika langit Gaza terus dipenuhi suara dentuman dan ledakan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan dua pesan bertolak belakang.
Pesan berbeda yang diungkapkan oleh Netanyahu adalah dimulainya negosiasi baru untuk membebaskan para sandera, sekaligus persetujuan rencana militer besar-besaran untuk menguasai Kota Gaza sepenuhnya.
Di tengah kehancuran dan penderitaan yang terus berlangsung, wacana Israel terkait gencatan senjata dan eskalasi militer kembali berjalan beriringan.
Konflik di Gaza kembali memanas sejak Oktober 2023, di mana Israel melancarkan serangan besar-besaran di Gaza.
Operasi Israel di Gaza kini telah berlangsung hampir dua tahun dan menewaskan lebih dari 62.000 warga Palestina.
Dalam beberapa hari terakhir, Israel meningkatkan intensitas serangan di wilayah utara Gaza.
Militer menyatakan bahwa serangan udara dan artileri telah menggempur pinggiran Kota Gaza sebagai bagian dari fase kedua operasi militer yang disebut “Kereta Perang Gideon”.
Puluhan orang dilaporkan tewas hanya dalam sehari, dan masyarakat sipil menghadapi malam-malam tanpa tidur di bawah ancaman ledakan terus-menerus.
Setelah serangan tersebut, Netanyahu tiba-tiba muncul dalam siaran video dan memberikan pernyataan yang mengejutkan.
“Saya datang untuk menyetujui rencana IDF untuk menguasai Kota Gaza dan mengalahkan Hamas,” ujar Netanyahu dalam pernyataan videonya dari markas militer, dikutip dari Al-Arabiya.
Ia mengklaim bahwa operasi militer harus tetap berjalan, walaupun adanya negosiasi gencatan senjata.
Baca juga: Rencana Israel Kerahkan 60.000 Tentara Cadangan ke Kota Gaza Tuai Kekhawatiran, ICRC: Tak Tertolerir
“Pada saat yang sama, saya telah menginstruksikan untuk segera memulai negosiasi guna membebaskan semua sandera kami dan mengakhiri perang dengan syarat-syarat yang dapat diterima oleh Israel," tegasnya.
Namun, pernyataan ini tidak serta-merta membawa harapan.
Meski Hamas telah menyetujui proposal gencatan senjata selama 60 hari yang disusun oleh mediator Qatar dan Mesir, yang mencakup pembebasan sebagian sandera secara bertahap, Israel belum memberikan tanggapan resmi, dikutip dari BBC.
Netanyahu dan para pejabat Israel bersikeras bahwa pembebasan semua sandera harus dilakukan sekaligus, bukan bertahap, dan bahwa syarat-syarat akhir perang mencakup pelucutan senjata Hamas, demiliterisasi Gaza, serta kendali penuh Israel atas wilayah perbatasan.
Di sisi lain, masyarakat internasional dan organisasi kemanusiaan menyuarakan kekhawatiran mendalam.
Palang Merah menyebut rencana serangan ke Kota Gaza sebagai sesuatu yang “tidak dapat ditoleransi”, sementara PBB memperingatkan potensi dampak kemanusiaan yang mengerikan terhadap sekitar satu juta penduduk yang masih bertahan di wilayah tersebut.
Upaya evakuasi warga sipil juga terhambat karena penolakan Kementerian Kesehatan Gaza, yang menegaskan bahwa sistem kesehatan yang tersisa tidak mampu bertahan jika terjadi perpindahan besar-besaran.
Dengan lebih dari 20 dari 50 sandera yang diyakini masih hidup, tekanan publik terhadap pemerintah Israel untuk mencari solusi damai semakin meningkat.
Namun, rencana serangan darat ke jantung Kota Gaza tetap berjalan.
Israel bahkan telah mengaktifkan 60.000 pasukan cadangan sebagai persiapan perebutan wilayah tersebut, yang diklaim sebagai benteng terakhir Hamas.
Kondisi ini justru memperburuk kondisi di Gaza dan menambah panjang daftar korban.
Netanyahu menyatakan bahwa upaya militer dan diplomatik tidak dapat dipisahkan.
Namun bagi warga Gaza, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa gencatan senjata tetap jauh dari jangkauan, sementara bom terus menghujani langit mereka.
Operasi Kereta Perang Gideon 2
Pada bulan Agustus 2025, Israel meluncurkan fase baru dari operasi militernya di Jalur Gaza, yang diberi nama Operasi Kereta Perang Gideon 2.
Operasi ini bertujuan untuk menguasai Kota Gaza, yang dianggap sebagai pusat kendali terakhir bagi Hamas.
Langkah ini diambil setelah Operasi Kereta Perang Gideon pertama yang dimulai pada Mei 2025 dinilai belum sepenuhnya mencapai tujuan untuk mengalahkan Hamas.
Pada tanggal 18 Agustus 2025, Hamas mengejutkan dunia dengan menyetujui proposal gencatan senjata yang diajukan oleh para mediator internasional.
Proposal ini mencakup pertukaran sandera dan gencatan senjata selama 60 hari.
Namun, tanggapan dari Israel tidak datang, dan sebaliknya, militer Israel justru meningkatkan serangan di Kota Gaza.
Langkah ini dianggap sebagai taktik untuk menekan Hamas sambil mempersiapkan operasi darat skala penuh.
Pada 20 Agustus 2025, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, secara resmi menyetujui rencana untuk menduduki Kota Gaza.
Juru bicara militer Israel, Effie Defrin, mengumumkan bahwa fase pendahuluan operasi telah dimulai.
Untuk mendukung operasi besar-besaran ini, Israel mulai memanggil 60.000 tentara cadangan tambahan.
Pasukan darat Israel dilaporkan telah mulai bergerak maju, menguasai pinggiran kota, dan beroperasi di lingkungan Zeitoun.
Keesokan harinya, 21 Agustus 2025, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu secara terbuka mengonfirmasi persetujuan rencana tersebut.
Pernyataannya menjadi sinyal bahwa Israel berkomitmen untuk menyerang pusat kota, tanpa mempedulikan seruan dari komunitas internasional.
Seiring dengan eskalasi militer, peringatan keras datang dari lembaga internasional.
PBB dan Palang Merah Internasional mengeluarkan peringatan darurat, menekankan bahwa operasi di Kota Gaza dapat menyebabkan bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi.
Mereka menyoroti risiko besar bagi warga sipil yang masih terjebak dan ketidakmampuan fasilitas medis untuk menangani lonjakan korban.
Di lapangan, serangan Israel pada 21 Agustus 2025 sangat intensif.
Serangan udara, artileri, dan tembakan dari Israel terus menggempur Kota Gaza.
Laporan menyebutkan bahwa penghancuran sistematis telah dimulai, dengan menargetkan lingkungan padat penduduk seperti Az Zaytoun dan As Sabra.
Militer Israel juga mengeluarkan perintah evakuasi, mendesak warga Palestina untuk pindah ke selatan.
Pada 22 Agustus 2025, meskipun ada ancaman, ribuan warga Palestina menolak untuk meninggalkan rumah mereka.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman di Jalur Gaza, yang telah berubah menjadi "medan pembunuhan."
Operasi Kereta Perang Gideon 2 diprediksi akan berlangsung lama, dan melibatkan hingga 130.000 tentara cadangan.
(Tribunnews.com/Farra)
Artikel Lain Terkait Konflik Palestina vs Israel
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.