Kamis, 18 September 2025

Korea Utara Eksekusi Warganya karena Menonton K-Drama, Menurut Laporan PBB

PBB meluncurkan laporan terbaru mengenai kondisi di Korea Utara 1 dekade: kontrol ketat, tidak ada kebebasan berekspresi, konten asing dilarang.

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Sri Juliati
Foto oleh Kristina Kormilitsyna/Rossiya Segodnya/Kremlin
KONTROL KETAT - Foto diambil dari publikasi Kantor Presiden Rusia pada Senin (23/6/2025), memperlihatkan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dalam pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin (tidak terlihat di foto) di Pyongyang pada 18 Juni 2024. PBB meluncurkan laporan terbaru mengenai kondisi di Korea Utara dalam 1 dekade terakhir: kontrol ketat, tidak ada kebebasan berekspresi, konten asing dilarang. 

TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Korea Utara semakin memperketat kontrol terhadap warganya dengan meningkatkan pengawasan elektronik serta mengeksekusi mati orang-orang di depan umum karena menyebarkan media asing.

Temuan ini berasal dari laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis pada Jumat (12/9/2025).

“Tidak ada populasi lain di dunia saat ini yang hidup di bawah pembatasan seperti itu,” demikian bunyi laporan Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR).

Laporan setebal 16 halaman tersebut mengkaji kondisi hak asasi manusia di Korea Utara sejak 2014 dan menyampaikan kesimpulan yang suram.

Dokumen itu menggambarkan negara totaliter yang di bawah kepemimpinan Kim Jong Un, telah mengisolasi sekitar 26 juta penduduknya dari dunia luar.

“Untuk saat ini, hukuman mati semakin dilegalkan oleh hukum dan kerap diterapkan dalam praktik,” tulis laporan itu.

Hasil temuan didasarkan pada wawancara dengan 314 korban dan saksi yang meninggalkan Korea Utara sejak 2014.

Dengan dukungan teknologi, pengawasan terhadap penduduk disebut semakin meluas.

Korea Utara adalah negara komunis di mana seluruh media dikendalikan pemerintah dan tidak ada organisasi masyarakat sipil independen, mengutip CNBC News.

Pembatasan Ketat

Baca juga: Janji Setia Kim Jong Un kepada Putin, Korea Utara Selalu Dukung Rusia

Laporan itu juga menyebut setiap warga diwajibkan mengikuti sesi "kritik diri" mingguan yang ditujukan untuk indoktrinasi.

“Kebebasan berekspresi dan akses informasi menurun drastis, dengan diberlakukannya hukuman berat, termasuk eksekusi mati, untuk berbagai tindakan seperti berbagi media asing, misalnya drama populer Korea Selatan,” kata PBB.

Penindakan keras terhadap akses informasi asing diperkirakan meningkat sejak 2018 dan semakin ketat mulai 2020.

Pemerintah menggelar pengadilan publik dan eksekusi guna menanamkan rasa takut sekaligus menjadi alat pencegahan.

Satuan tugas pemerintah semakin gencar melakukan inspeksi komputer, radio, dan televisi, serta penggeledahan rumah tanpa pemberitahuan atau surat perintah.

Semua dilakukan dengan dalih menekan perilaku “anti-sosialis” dan menjaga keamanan nasional, sebut laporan itu.

Seorang pembelot mengatakan kepada peneliti bahwa pengawasan ketat bertujuan untuk “menutup mata dan telinga” masyarakat.

“Itu adalah bentuk kontrol yang dimaksudkan untuk menghapus sekecil apa pun tanda-tanda ketidakpuasan atau keluhan,” ujarnya.

Akses internet bagi masyarakat nyaris tidak ada.

Pemerintah hanya menyediakan “intranet nasional yang sangat dikontrol,” yang terutama digunakan lembaga penelitian dan pejabat negara.

Menurut laporan PBB, undang-undang baru mengkriminalisasi akses ke informasi asing tanpa izin dan melarang konsumsi maupun penyebaran informasi, termasuk publikasi, musik, dan film dari negara-negara ‘musuh’.

Bahkan penggunaan ekspresi bahasa yang tidak sesuai dengan ideologi sosialis pun dilarang.

Undang-undang itu menjatuhkan hukuman berat, termasuk hukuman mati, sehingga menimbulkan kekhawatiran serius terkait kebebasan berekspresi, tulis laporan tersebut.

Meski begitu, laporan menyatakan warga Korea Utara tetap mengonsumsi informasi terlarang meski risikonya semakin besar.

Tahun lalu, seorang warga berusia 22 tahun dieksekusi di depan umum karena mendengarkan dan membagikan musik K-pop serta drama Korea Selatan (K-Drama), menurut Kementerian Unifikasi Korea Selatan, dikutip Independent.

“Kami memiliki bukti kredibel bahwa beberapa individu dieksekusi, bukan hanya karena menonton drama Korea, melainkan karena menyebarkan media asing pada tingkat tertentu,” kata juru bicara OHCHR, Liz Throssell, Jumat.

Eksploitasi Tenaga Kerja

Baca juga: Kremlin Tepis Tuduhan Trump soal Aliansi Rusia, China, dan Korea Utara

Laporan itu juga menyoroti tenaga kerja yang disebut “brigade kejut” yang dibentuk otoritas Pyongyang.

Ribuan anak yatim dan anak jalanan dipaksa bekerja di tambang batu bara dan lokasi lain, sehingga terpapar bahan berbahaya dan jam kerja panjang.

“Pemerintah menyebutnya sebagai kurikulum untuk mengajarkan keterampilan hidup. Namun, informasi yang kami dapatkan selama bertahun-tahun menunjukkan program ini memenuhi unsur kerja paksa karena anak-anak tidak memiliki pilihan,” kata James Heenan, kepala kantor OHCHR untuk Korea Utara.

Kematian di kamp-kamp kerja paksa dilaporkan sering terjadi, tetapi justru dipuja di depan umum sebagai bentuk pengorbanan bagi pemimpin, menurut laporan tersebut.

Para pembelot juga melaporkan bahwa sejak 2020, eksekusi publik semakin marak, tidak hanya terkait distribusi media ilegal, tetapi juga narkoba, kejahatan ekonomi, prostitusi, pornografi, perdagangan manusia, hingga pembunuhan.

Enam undang-undang baru yang disahkan sejak 2015 disebut memberi wewenang penggunaan hukuman mati untuk pelanggaran yang didefinisikan secara samar, seperti propaganda “anti-negara.”

Laporan terbaru PBB ini menegaskan situasi hak asasi manusia di Korea Utara kian memburuk, seiring meningkatnya isolasi yang diberlakukan pemerintahnya sendiri.

Korea Utara kini menjadi salah satu negara paling terisolasi di dunia, sehingga makin menyulitkan pemantauan dan penegakan standar hak asasi manusia.

“Menyakitkan bagi saya untuk mengatakan bahwa jika DPRK terus berada di jalurnya saat ini, rakyatnya akan menghadapi lebih banyak penderitaan, penindasan brutal, dan ketakutan yang telah mereka alami selama ini,” kata Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Volker Türk.

Republik Rakyat Demokratik Korea (RDRK) dalam tanggapannya menyatakan menolak resolusi Dewan HAM PBB yang mengesahkan laporan terbaru tersebut.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan