Konflik Palestina Vs Israel
Daftar 156 Negara yang Akui Negara Palestina per September 2025
Inilah daftar 156 negara, ditambah Vatikan, yang mengakui negara Palestina, terbaru ada Prancis dan Inggris.
TRIBUNNEWS.COM - Pada hari Senin, 22 September 2025, dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Prancis, Belgia, Luksemburg, Malta, dan Andorra mendeklarasikan pengakuan mereka terhadap Negara Palestina.
Sehari sebelumnya, Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal juga telah mengakui Palestina.
Keputusan ini menambah jumlah negara yang saat ini mengakui negara Palestina menjadi 156, mengutip lemonde.fr.
Pada Juni 2024, Armenia dan Slovenia telah mengambil langkah serupa, di tengah perang mematikan di Jalur Gaza.
Sebulan sebelumnya, Spanyol, Irlandia, dan Norwegia telah bergabung dalam daftar tersebut dalam upaya serupa untuk menghidupkan kembali perundingan solusi dua negara.
Uni Eropa (UE) masih terpecah belah dalam isu ini.
Sejak berdirinya Israel pada tahun 1948, berbagai gerakan politik Palestina telah menjadikan pembentukan negara Palestina yang merdeka sebagai salah satu tuntutan utama mereka.
Pada tahun 1988, deklarasi kemerdekaan sepihak oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mendorong 82 negara untuk secara resmi mengakui Palestina.
Di antara mereka terdapat mayoritas negara Afrika dan Timur Tengah, serta beberapa negara dari blok Soviet saat itu.
Pada November 2012, Palestina diterima sebagai negara pengamat non-anggota di PBB.
Status ini memungkinkan Palestina untuk menghadiri sebagian besar pertemuan dan mengakses dokumentasi PBB.
Meski begitu, Palestina tidak bisa memberikan hak suara, kemampuan untuk mengusulkan resolusi, atau kelayakan untuk menduduki kantor PBB.
Pada Mei 2024, Prancis telah menegaskan kembali di PBB perlunya menerima Palestina sebagai anggota penuh.
Daftar 156+1 Negara yang Mengakui Palestina
Baca juga: Garda Terdepan Tekan Israel Akhiri Perang Gaza, Spanyol Tolak Janji Netanyahu soal Negara Palestina
Berikut Tribunnews merangkum 156 negara yang mengakui Palestina beserta tanggal pengakuannya.
Jumlah tersebut belum termasuk Takhta Suci, entitas pemerintahan Gereja Katolik dan Kota Vatikan, yang memiliki status pengamat di PBB.
- Iran, 4 Februari 1988
- Yaman, 15 November 1988
- Turki, 15 November 1988
- Tunisia, 15 November 1988
- Somalia, 15 November 1988
- Maroko, 15 November 1988
- Mauritania, 15 November 1988
- Malaysia, 15 November 1988
- Libya, 15 November 1988
- Kuwait, 15 November 1988
- Irak, 15 November 1988
- Indonesia, 15 November 1988
- Bahrain, 15 November 1988
- Aljazair, 15 November 1988
- Zambia, 16 November 1988
- UEA, 16 November 1988
- Serbia, 16 November 1988
- Arab Saudi, 16 November 1988
- Qatar, 16 November 1988
- Pakistan, 16 November 1988
- Nikaragua, 16 November 1988
- Madagaskar, 16 November 1988
- Yordania, 16 November 1988
- Kuba, 16 November 1988
- Bangladesh, 16 November 1988
- Afghanistan, 16 November 1988
- Sudan, 17 November 1988
- Mauritius, 17 November 1988
- Djibouti, 17 November 1988
- Brunei, 17 November 1988
- Albania, 17 November 1988
- Sri Lanka, 18 November 1988
- Slowakia, 18 November 1988
- Seychelles, 18 November 1988
- Nigeria, 18 November 1988
- India, 18 November 1988
- Gambia, 18 November 1988
- Mesir, 18 November 1988
- Republik Ceko, 18 November 1988
- Siprus, 18 November 1988
- Vietnam, 19 November 1988
- Ukraina, 19 November 1988
- Rusia, 19 November 1988
- Namibia, 19 November 1988
- Belarus, 19 November 1988
- Tiongkok, 20 November 1988
- Mali, 21 November 1988
- Guinea-Bissau, 21 November 1988
- Guinea, 21 November 1988
- Komoro, 21 November 1988
- Kamboja, 21 November 1988
- Burkina Faso, 21 November 1988
- Senegal, 22 November 1988
- Mongolia, 22 November 1988
- Hongaria, 23 November 1988
- Tanzania, 24 November 1988
- Rumania, 24 November 1988
- Niger, 24 November 1988
- Korea Utara, 24 November 1988
- Tanjung Verde, 24 November 1988
- Bulgaria, 25 November 1988
- Maladewa, 28 November 1988
- Zimbabwe, 29 November 1988
- Togo, 29 November 1988
- Ghana, 29 November 1988
- Cad, 1 Desember 1988
- Laos, 2 Desember 1988
- Uganda, 3 Desember 1988
- Sierra Leone, 3 Desember 1988
- Kongo, 5 Desember 1988
- Angola, 6 Desember 1988
- Mozambik, 8 Desember 1988
- Sao Tome dan Principe, 10 Desember 1988
- Gabon, 12 Desember 1988
- Oman, 13 Desember 1988
- Polandia, 14 Desember 1988
- Kongo, 18 Desember 1988
- Nepal, 19 Desember 1988
- Botswana, 19 Desember 1988
- Burundi, 22 Desember 1988
- Republik Afrika Tengah, 23 Desember 1988
- Bhutan, 25 Desember 1988
- Rwanda, 2 Januari 1989
- Etiopia, 4 Februari 1989
- Kenya, 1 Mei 1989
- Guinea Khatulistiwa, 1 Mei 1989
- Benin, 1 Mei 1989
- Vanuatu, 21 Agustus 1989
- Filipina, 1 September 1989
- Swaziland, 1 Juli 1991
- Kazakstan, 6 April 1992
- Azerbaijan, 15 April 1992
- Turkmenistan, 17 April 1992
- Georgia, 25 April 1992
- Bosnia dan Herzegovina, 27 Mei 1992
- Tajikistan, 2 April 1994
- Uzbekistan, 25 September 1994
- Papua Nugini, 13 Januari 1995
- Afrika Selatan, 15 Februari 1995
- Kirgistan, 1 November 1995
- Malawi, 23 Oktober 1998
- Timor Timur, 1 Maret 2004
- Montenegro, 24 Juli 2006
- Kosta Rika, 5 Februari 2008
- Lebanon, 30 November 2008
- Pantai Gading, 1 Desember 2008
- Venezuela, 27 April 2009
- Republik Dominika, 15 Juli 2009
- Argentina, 6 Desember 2010
- Bolivia, 17 Desember 2010
- Ekuador, 27 Desember 2010
- Chili, 7 Januari 2011
- Guyana, 13 Januari 2011
- Peru, 24 Januari 2011
- Suriname, 26 Januari 2011
- Paraguay, 29 Januari 2011
- Uruguay, 16 Maret 2011
- Lesotho, 3 Mei 2011
- Liberia, 1 Juli 2011
- Sudan Selatan, 14 Juli 2011
- Suriah, 18 Juli 2011
- El Salvador, 25 Agustus 2011
- Honduras, 26 Agustus 2011
- Saint Vincent dan Grenadines, 29 Agustus 2011
- Belize, 9 September 2011
- Dominika, 19 September 2011
- Antigua dan Barbuda, 22 September 2011
- Grenada, 25 September 2011
- Brasil, 3 Desember 2011
- Islandia, 15 Desember 2011
- Thailand, 18 Januari 2012
- Guatemala, 9 April 2013
- Haiti, 27 September 2013
- Swedia, 30 Oktober 2014
- Tahta Suci*, 26 Juni 2015
- Saint Lucia, 14 September 2015
- Kolombia, 3 Agustus 2018
- Saint Kitts dan Nevis, 29 Juli 2019
- Barbados, 20 April 2024
- Jamaika, 24 April 2024
- Trinidad dan Tobago, 3 Mei 2024
- Bahama, 8 Mei 2024
- Spanyol, 22 Mei 2024
- Norwegia, 22 Mei 2024
- Irlandia, 22 Mei 2024
- Slovenia, 4 Juni 2024
- Armenia, 21 Juni 2024
- Meksiko, 20 Maret 2025
- Inggris, 21 September 2025
- Kanada, 21 September 2025
- Australia, 21 September 2025
- Portugal, 21 September 2025
- Prancis, 22 September 2025
- Belgia, 22 September 2025
- Luksemburg, 22 September 2025
- Malta, 22 September 2025
- Andorra, 22 September 2025
Mengakui Negara Palestina, Apa Maksudnya?
Menurut hukum internasional, sebuah negara berdaulat perlu memenuhi empat kriteria utama:
- Memiliki penduduk tetap;
- Memiliki wilayah yang jelas;
- Memiliki pemerintahan yang efektif;
- Memiliki kapasitas untuk menjalin hubungan internasional.
Kualifikasi ini ditetapkan dalam Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara.
Namun, seperti dikutip ABC News, dokumen ini tidak dapat ditegakkan seperti perjanjian yang memiliki kewajiban hukum.
Dokumen itu lebih merupakan deklarasi prinsip-prinsip yang diakui secara umum dalam hukum internasional.
Meskipun pengakuan dari negara lain bukanlah kriteria formal untuk menjadi sebuah negara, menjalin hubungan internasional akan sangat sulit tanpa adanya pengakuan luas dari negara-negara lain.
Konvensi Montevideo menyatakan bahwa pengakuan suatu negara berarti "menerima kepribadian negara lain dengan segala hak dan kewajiban yang ditentukan oleh hukum internasional".
Dalam konteks saat ini, pengakuan berarti mengakui kedaulatan Palestina sebagai otoritas tertinggi dalam batas-batas wilayah tertentu.
Namun, dengan sekitar 4,5 juta warga Palestina yang masih hidup di bawah pendudukan militer Israel, mereka belum memiliki kedaulatan atau kemerdekaan penuh.
Karena itu, langkah pengakuan ini sebagian besar dianggap bersifat simbolis.
Profesor Yossi Mekelberg, pakar Timur Tengah di lembaga pemikir Inggris Chatham House, menyatakan bahwa mayoritas negara di dunia tidak diragukan lagi mendukung kenegaraan Palestina.
Meski begitu, bahkan jika tiga negara anggota G7 memberikan pengakuan, hal itu tidak akan serta-merta membuat Palestina diakui secara universal.
"Pengakuan Inggris atau Prancis tidak otomatis membuat [Palestina] diakui secara internasional," ujarnya.
"Anda membutuhkan dukungan Dewan Keamanan PBB, dan itu tidak akan terjadi karena satu orang tertentu di Gedung Putih."
Baca juga: Puluhan Ribu Warga Italia Turun ke Jalan Protes PM Meloni Karena Menolak Dukung Negara Palestina
AS, meskipun telah lama mendukung solusi dua negara, secara tradisional menolak upaya Palestina untuk memperoleh status negara di PBB dengan alasan bahwa hal tersebut hanya dapat dicapai melalui negosiasi langsung dengan Israel.
Apa yang Akan Berubah Setelah Pengakuan Negara Palestina?
Walau banyak pihak menilai pengakuan ini hanya simbolis, beberapa berpendapat bahwa langkah tersebut tetap memiliki dampak nyata.
"Kita berbicara tentang negara-negara besar dan sekutu utama Israel," kata Alon Pinkas, analis politik Israel dan mantan konsul jenderal di New York dalam sebuah wawancara dengan ABC News pada Agustus lalu.
"Mereka mengisolasi AS dan membuat Israel bergantung — bukan pada AS secara keseluruhan, tetapi pada kemauan dan perilaku satu orang — Trump."
Julie Norman, profesor madya di University College London yang fokus pada politik Timur Tengah, menilai langkah ini memiliki bobot diplomatik dan moral yang besar.
Dengan pengakuan kenegaraan, Inggris berpotensi membuka kedutaan besar resmi.
Seorang pejabat pemerintah Inggris juga mengatakan kepada Reuters bahwa negaranya pada akhirnya dapat membuka kedutaan besar di Tepi Barat, di mana Otoritas Palestina menjalankan pemerintahan terbatas di bawah pendudukan Israel.
Hal serupa disampaikan Jaringan Advokasi Palestina Australia (APAN), yang menilai pengakuan Australia terhadap Palestina berarti membangun hubungan diplomatik resmi.
Solusi Dua Negara
Mengutip Sky News, solusi dua negara telah lama diajukan sebagai harapan terbaik untuk mewujudkan perdamaian dalam konflik Israel-Palestina.
Gagasan ini mencakup pembentukan negara Palestina merdeka yang hidup berdampingan dengan negara Israel, memberikan masing-masing bangsa wilayahnya sendiri.
Namun, kendala terbesar dari solusi dua negara adalah penentuan batas wilayah negara Palestina yang potensial.
Banyak pihak meyakini bahwa batas tersebut seharusnya mengikuti garis sebelum Perang Enam Hari 1967, yang berakhir dengan pendudukan Israel atas Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza.
Sejak saat itu, semakin banyak permukiman Israel dibangun di Tepi Barat, dengan sekitar 600.000 warga Israel kini tinggal di wilayah tersebut serta di Yerusalem Timur yang diduduki.
Meskipun menurut hukum internasional permukiman ini dianggap ilegal, keberadaannya membuat penetapan wilayah Palestina semakin sulit.
Baca juga: Menerka Alasan Negara di Eropa Dukung Kedaulatan Palestina, Murni Kemanusiaan atau Utang Sejarah?
Pembentukan Israel dan perang Arab-Israel pada tahun 1948 menyebabkan ratusan ribu warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka, dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba atau “bencana”.
PBB kemudian memberikan status pengungsi kepada sekitar 750.000 orang, yang didefinisikan sebagai mereka yang “bertempat tinggal normal di Palestina pada periode 1 Juni 1946 hingga 15 Mei 1948, dan kehilangan rumah serta mata pencaharian akibat konflik 1948”.
Dengan definisi tersebut, kini ada sekitar 5,9 juta warga Palestina tinggal di Tepi Barat, Gaza, Yerusalem Timur, serta kamp-kamp pengungsian di Yordania, Lebanon, dan Suriah, yang memenuhi syarat sebagai pengungsi, dan banyak di antaranya ingin kembali ke tanah asal mereka.
Namun, jumlah yang besar ini sulit ditampung di wilayah pendudukan.
Beberapa di antaranya harus direlokasi ke wilayah Israel, sesuatu yang hampir pasti tidak akan diterima oleh pihak Israel.
Yerusalem
Yerusalem juga menjadi salah satu isu paling rumit dalam konflik ini.
Kedua belah pihak mengklaim kota kuno tersebut sebagai ibu kota mereka.
Hal ini disebabkan oleh signifikansi historis dan religius Yerusalem bagi orang Yahudi, Muslim, maupun Kristen.
Kota Tua yang bertembok, misalnya, merupakan lokasi Bukit Bait Suci—situs paling suci dalam agama Yahudi—dan Masjid Al-Aqsa, situs ketiga tersuci dalam Islam setelah Mekah dan Madinah, tempat umat Islam meyakini Nabi Muhammad naik ke surga.
Pada tahun 2023, kawasan ini kembali menjadi titik konflik, ketika terjadi bentrokan antara polisi Israel dan jamaah Palestina.
Pemerintah Israel mengklaim Yerusalem sebagai “ibu kota tak terbagi”, yang juga menjadi pusat pemerintahan serta parlemen Israel (Knesset).
Namun, komunitas internasional secara luas masih menganggap Yerusalem Timur sebagai wilayah Palestina yang diduduki.
Secara teori, solusi dua negara akan menetapkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina, sementara bagian barat kota menjadi milik Israel.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Konflik Palestina Vs Israel
| Ratusan Ribu Yahudi Ultra-Ortodoks Turun ke Jalan di Yerusalem Tolak Wajib Militer, 1 Tewas |
|---|
| Lebanon Siap Hadapi Serangan Israel, Hizbullah Beri Pujian |
|---|
| Menhan Israel Peringatkan Hamas Soal Kekebalan, Sebut Seluruh Pimpinan jadi Target IDF |
|---|
| Hamas: Israel Sabotase Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza |
|---|
| Israel Sasar Gudang Penyimpanan Senjata di Beit Lahiya, Qatar Frustasi dengan Kekerasan Bertubi |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.