Kamis, 2 Oktober 2025

Kerusuhan di Nepal

Aksi Protes Gen Z di Nepal Jadi Alarm Keras untuk Demokrasi, Jangan Abaikan Suara Publik

Gelombang aksi protes publik di Nepal disebut memberikan pelajaran berharga, terutama dalam menyadarkan pemerintah di seluruh Asia Selatan.

Editor: Wahyu Aji
Tangkapan layar X/@chandangoopta
GEDUNG DIBAKAR- Demonstrasi di Nepal, sejumlah gedung dibakar termasuk gedung Parlemen Nepal. Demonstrasi di Nepal merebak dengan cepat dalam hitungan hari. Sebanyak 23 orang meninggal, dan 422 orang lebih mengalami luka-luka. 

Pengamatan yang dibagikan oleh Commonwealth Observer Group (COG) tentang pemilu federal 2024 telah secara halus menyoroti sentimen-sentimen yang sebelumnya disuarakan secara lebih lirih.

Lanskap politik negara ini telah lama dirusak oleh siklus ketidakstabilan, narasi yang digerakkan oleh elit, dan model pemerintahan yang seringkali mengesampingkan publik dalam proses pengambilan keputusan. Kesombongan negara yang dirasakan, yang terwujud dalam keengganannya untuk terlibat secara bermakna dengan masyarakat sipil, gerakan akar rumput, dan komunitas terpinggirkan, telah menciptakan iklim keterasingan. 

Kaum muda Pakistan, yang merupakan bagian penting dari populasi, sangat frustrasi. Banyak yang menghadapi pengangguran, akses terbatas terhadap pendidikan berkualitas, dan menyusutnya ruang publik. Dalam beberapa tahun terakhir, Pakistan telah menyaksikan lonjakan mobilisasi publik yang mencerminkan tumbuhnya kesadaran di antara warganya dan penolakan untuk tetap diam dalam menghadapi ketidakadilan. 

Pawai Aurat, yang diadakan setiap tahun di kota-kota besar, telah menjadi simbol perlawanan yang kuat terhadap kekerasan berbasis gender, norma-norma patriarki, dan ketidaksetaraan sistemik. Bersamaan dengan itu, protes iklim yang dipimpin oleh kaum muda telah muncul sebagai respons terhadap degradasi lingkungan, kelangkaan air, dan kebijakan iklim pemerintah yang tidak memadai. 

Belajar dari Nepal

Gerakan-gerakan ini digerakkan oleh generasi yang memahami ancaman eksistensial akibat perubahan iklim dan menuntut pembangunan berkelanjutan, transparansi, dan akuntabilitas. Aktivisme mereka tidak terbatas pada slogan, tetapi juga mencakup proposal kebijakan, pelibatan masyarakat, dan advokasi digital.

Selain itu, gerakan-gerakan regional, khususnya di Balochistan, Sindh, dan Khyber Pakhtunkhwa, telah menyerukan otonomi, kendali sumber daya, dan pengakuan identitas etnis dan bahasa. Mobilisasi ini berakar pada puluhan tahun marginalisasi, pengabaian ekonomi, dan eksklusi politik. 

Para pengunjuk rasa menuntut representasi yang adil, diakhirinya penghilangan paksa, dan penghormatan terhadap pemerintahan daerah. Suara-suara ini bukanlah suara pinggiran, melainkan sentral bagi tatanan demokrasi bangsa. Mereka mewakili berbagai lapisan masyarakat yang terlibat, terinformasi, dan bertekad untuk membentuk masa depan Pakistan. 

Namun, respons negara seringkali mengecewakan. Protes damai justru ditanggapi dengan tindakan kepolisian yang keras, penahanan sewenang-wenang, dan kampanye hitam. Tuntutan yang sah dibelokkan melalui penundaan birokrasi atau dilarutkan menjadi gestur simbolis yang tidak berbobot.

Dalam beberapa kasus, para aktivis difitnah, diancam, atau dibungkam melalui intimidasi hukum dan manipulasi media. Pengalaman Nepal menjadi kisah peringatan bagi negara-negara demokrasi lain di kawasan ini, khususnya Pakistan. 

Ketika pemerintah gagal memenuhi harapan warganya, pelanggaran kepercayaan yang diakibatkannya dapat memicu keresahan, polarisasi, dan krisis legitimasi. Pakistan harus bercermin dan meyakinkan diri untuk memilih keterlibatan dan empati, alih-alih menjauh dan menyangkal.

SUMBER

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved