Konflik Palestina Vs Israel
Tepis Tuduhan Campur Tangan AS, Wapres Vance: Israel Mitra Sejajar, Bukan Boneka Washington
Wapres AS JD Vance tegaskan Israel mitra sejajar, bukan bawahan Washington, di tengah kritik soal campur tangan AS dan ketidakpastian masa depan Gaza.
Ringkasan Berita:
- Wakil Presiden AS JD Vance menegaskan bahwa Israel adalah mitra sejajar, bukan negara bawahan Washington, menepis kritik bahwa A S terlalu mencampuri urusan dalam negeri Israel
- Vance menegaskan kunjungannya bukan bentuk pengawasan, melainkan kerja sama strategis untuk memastikan implementasi gencatan senjata tetap berjalan.
- Terkait masa depan Gaza, Vance mengakui belum ada kejelasan soal pemerintahan wilayah tersebut, namun AS memprioritaskan untuk rekonstruksi dan stabilitas keamanan.
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Presiden Amerika Serikat JD Vance menegaskan bahwa Israel merupakan mitra sejajar, bukan “negara bawahan” atau protektorat AS.
Pernyataan tersebut disampaikan di tengah meningkatnya kritik terhadap Washington yang dinilai terlalu mencampuri urusan dalam negeri Israel.
Meski AS dan Israel kerap dipandang memiliki hubungan sangat dekat, muncul kritik bahwa Amerika terlalu mencampuri kebijakan dalam negeri Israel hal yang Vance anggap salah kaprah
Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu di Kantor PM di Yerusalem pada Rabu (22/10/2025), Vance menegaskan bahwa kedatangannya bukan untuk mencampuri urusan dalam negeri Israel, melainkan bagian dari upaya berkelanjutan AS untuk menjaga stabilitas kawasan.
Ia juga mengatakan bahwa kunjungannya tidak untuk “memantau seperti anak kecil”, tetapi untuk memastikan bahwa kerja sama berjalan dan pihak-AS terus mengawasi agar orang-orang mereka menjalankan tugas.
Itu mengingat belakangan ini dunia internasional tengah khawatir akan isu bahwa gencatan senjata yang ditengahi Presiden Donald Trump sejak 10 Oktober lalu mulai rapuh.
Dalam beberapa hari terakhir, bentrokan antara pasukan Israel dan kelompok Hamas kembali pecah di Jalur Gaza, menimbulkan korban jiwa dan ancaman baru terhadap perdamaian.
“Ini bukan tentang pemantauan dalam artian, Anda tahu, Anda memantau balita. Ini tentang pemantauan dalam artian bahwa ada banyak pekerjaan, banyak orang baik yang melakukan pekerjaan itu dan penting bagi prinsip-prinsip administrasi untuk terus memastikan bahwa orang-orang kami melakukan apa yang kami butuhkan," kata Vance.
"Kami tidak menginginkan negara bawahan, dan Israel bukanlah negara itu. Kami tidak menginginkan negara klien, Kami disini karena menginginkan kemitraan," imbuh Wapres AS, mengutip CNBC International.
Pernyataan Vance muncul sebagai upaya Washington untuk meredam kekhawatiran Israel bahwa relasi kedua negara berubah menjadi ketergantungan.
Sekaligus menunjukkan bahwa AS berusaha mempertahankan citra sebagai mitra strategis, bukan pengendali dalam konflik Timur Tengah.
Baca juga: ICJ Wajibkan Israel Permudah Bantuan ke Gaza, Israel-AS Menolak
Rencana Masa Depan Gaza Masih Belum Jelas
Lebih lanjut, selain membahas stabilitas kawasan Timur Tengah, salah satu isu utama yang menjadi perhatian dalam kunjungan Vance adalah rencana pembentukan masa depan Gaza.
Akan tetapi, Vance mengakui masa depan politik Gaza masih belum jelas meski ia menilai kemajuan gencatan senjata berjalan “lebih baik dari yang diantisipasi”.
“Saya tidak tahu jawaban atas pertanyaan itu,” ujar Vance saat ditanya wartawan tentang siapa yang akan memimpin Gaza di masa depan.
“Kita perlu membangun kembali Gaza dan memastikan baik warga Palestina yang tinggal di sana maupun warga Israel dapat memiliki keamanan dan stabilitas. Setelah itu, baru kita memikirkan tata kelola jangka panjang Gaza,” tambahnya.
Kendati demikian, Vance menegaskan bahwa fokus utama AS saat ini adalah membangun kembali kepercayaan dan infrastruktur dasar di Gaza, sembari mendorong upaya perdamaian yang lebih permanen.
Ia juga mulai melakukan koordinasi antarnegara untuk membentuk pasukan stabilisasi internasional meski masih menghadapi banyak tantangan.
Ide ini menjadi bagian dari rencana perdamaian 20 poin yang dicanangkan Presiden Trump. Namun, hingga kini belum ada kejelasan negara mana yang bersedia mengirim pasukan.
Ia menyebut kemungkinan keterlibatan beberapa negara Teluk, Turki, dan Indonesia dalam operasi stabilisasi kawasan, namun menegaskan bahwa pembahasan masih dalam tahap awal.
“Pertanyaannya bukan hanya siapa yang akan ikut, tetapi bagaimana kita memastikan kerja sama itu benar-benar membawa perdamaian jangka panjang,” kata Vance.
Sementara itu, Netanyahu menolak kemungkinan keterlibatan pasukan Turki, dengan alasan perbedaan pandangan politik yang cukup tajam antara kedua negara.
(Tribunnews.com / Namira)
 
							 
							 
							 
			 
				
			 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
	
						        	 
	
						        	 
	
						        	 
	
						        	 
											 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.