Siaga Perang , Taiwan Rilis Buku Panduan Hadapi Serangan dari China
Taiwan edarkan buku panduan darurat untuk hadapi ancaman invasi China, di tengah meningkatnya tekanan militer dan serangan siber yang makin agresif
Ringkasan Berita:
- Pemerintah Taiwan mendistribusikan buku panduan keselamatan kepada seluruh 23 juta warganya
- Buku tersebut berisi petunjuk bertahan hidup, daftar perlengkapan darurat, cara menghadapi tentara musuh, peringatan aplikasi China berbahaya, serta ancaman non-militer seperti serangan siber dan disinformasi.
- Langkah ini diambil karena meningkatnya tekanan militer dan “zona abu-abu” China.
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Taiwan mulai mendistribusikan buku panduan keselamatan kepada seluruh warganya, sebagai langkah antisipasi menghadapi potensi invasi militer dari China, pada Selasa (18/11/2025).
Langkah ini diumumkan Kementerian Pertahanan kepada sekitar 23 juta penduduk yang tersebar di seluruh pulau Taiwan.
Buku panduan itu diluncurkan sebagai petunjuk bertahan hidup, memuat penjelasan rinci mengenai perlengkapan yang harus disiapkan di setiap rumah, seperti kebutuhan dasar untuk bertahan selama satu minggu serta tas darurat yang harus diletakkan di dekat pintu.
Selain itu, dokumen tersebut memberikan arahan tentang tindakan yang harus dilakukan warga jika berhadapan dengan tentara musuh.
Termasuk imbauan untuk segera menjauh dan tidak melakukan perekaman yang dapat membocorkan pergerakan militer Taiwan.
Buku panduan tersebut juga memperingatkan warga mengenai risiko serangan siber serta potensi penyalahgunaan aplikasi buatan Tiongkok.
Baca juga: China Peringatkan Jepang Akan Kalah Telak Jika Nekat Intervensi Militer di Taiwan
Diantaranya seperti WeChat, TikTok, DeepSeek, dan RedNote, yang disebut dapat dimanfaatkan untuk pengintaian dan manipulasi data di masa krisis.
Selain ancaman militer, buku itu membahas ancaman non-militer seperti sabotase infrastruktur, pemadaman listrik, gangguan kabel bawah laut, dan situasi darurat akibat bencana alam seperti topan.
Pemerintah menyatakan bahwa masyarakat harus mampu mengenali tanda-tanda awal krisis dan memahami langkah-langkah penyelamatan diri sebelum bantuan tiba.
Panduan tersebut juga menekankan bahwa setiap klaim mengenai penyerahan pemerintah atau kekalahan Taiwan dalam situasi konflik harus dianggap sebagai disinformasi.
Pemerintah menegaskan bahwa panduan ini merupakan bagian dari strategi memperkuat ketahanan sipil, bukan untuk menimbulkan kepanikan.
Untuk tahap awal, Kementerian Pertahanan akan mencetak sekitar 11 juta eksemplar, termasuk versi berbahasa Inggris untuk komunitas internasional, sebagaimana dikutip dari CNN International.
Distribusi dijadwalkan selesai pada Januari tahun depan, menjangkau hampir seluruh rumah tangga di pulau itu.
Langkah ini disebut sejalan dengan negara-negara Eropa seperti Swedia dan Finlandia yang memperbarui panduan kesiapsiagaan warga di tengah situasi global yang tidak stabil.
Taiwan berharap masyarakat semakin siap menghadapi kondisi darurat apa pun, baik yang bersumber dari alam maupun akibat meningkatnya ancaman dari Tiongkok.
Tekanan Militer China Jadi Pemicu
Pemerintah Taiwan menilai penerbitan panduan ini diperlukan karena meningkatnya tekanan militer, diplomatik, dan ekonomi dari Tiongkok.
Mengingat beberapa bulan terakhir Pesawat tempur Angkatan Udara Tiongkok rutin memasuki Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Taiwan.
Kapal perang China juga kerap berlayar dekat perairan Taiwan, melakukan manuver yang dianggap sebagai latihan operasi pengepungan. Selain aksi militer konvensional,
Tak sampai disitu, Beijing juga melancarkan tekanan non-militer berupa kampanye disinformasi, serangan siber, hingga ancaman ekonomi yang menargetkan sektor strategis Taiwan.
Mempertegas ancaman yang menurut Taiwan dapat berubah menjadi tindakan militer nyata.
Pemerintah Taiwan melihat pola ancaman tersebut sebagai bagian dari strategi “zona abu-abu” China, yang bertujuan melemahkan moral publik dan menciptakan ketidakpastian tanpa memicu perang langsung.
Karena itu, buku panduan darurat dianggap sebagai elemen penting dalam memperkuat ketahanan nasional berbasis sipil, memastikan warga memahami risiko dan mampu mengambil keputusan yang cepat serta tepat jika terjadi krisis.
Baca juga: Trump Kirim Senjata Rp5,51 Triliun ke Taiwan, Penjualan Militer Perdana di Era Kekuasaan Barunya
Akar Mula Konflik China–Taiwan
Adapun ketegangan antara kedua negara ini terjadi sejak beberapa dekade terakhir dimulai ketika Perang Dingin dimana Amerika Serikat memberi perlindungan militer kepada Taiwan.
Beijing, sebaliknya, bersikeras bahwa Taiwan adalah bagian tak terpisahkan dari wilayahnya dan menolak segala bentuk upaya kemerdekaan.
Situasi semakin rumit setelah Taiwan bertransisi menjadi demokrasi penuh pada 1990-an, sementara China menegaskan “Prinsip Satu Tiongkok” dan menyatakan siap memakai kekuatan bila diperlukan.
Dalam beberapa tahun terakhir, konflik memasuki fase baru. China meningkatkan aktivitas militernya di sekitar Taiwan.
Termasuk pengerahan jet tempur melewati median line Selat Taiwan, latihan pendaratan amfibi, hingga blokade simulatif.
Beijing juga menekan Taiwan di ranah diplomatik dengan menarik negara-negara kecil agar memutus hubungan formal dengan Taipei.
Taiwan menilai langkah tersebut sebagai bentuk intimidasi dan ancaman terhadap stabilitas kawasan.
Meski belum menjadi konflik bersenjata, situasi ini tetap menjadi salah satu titik rawan terbesar di Asia.
Kedua pihak terus memperkuat pertahanan, sementara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia ikut memantau intensitas ketegangan yang meningkat.
Konflik China–Taiwan hari ini mencerminkan ketegangan sejarah yang belum tuntas dan dinamika geopolitik modern yang semakin kompleks.
(Tribunnews.com/Namira)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/tribunnews/foto/bank/originals/Kapal-Perang-China-Angkatan-Laut-Tiongkok.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.