Sabtu, 22 November 2025

53 Orang Jepang Akhiri Hidup Setiap Hari, Dipicu Budaya Kerja Ekstrem?

Data pemerintah mencatat ada 21.000 kasus per tahun, menurun tajam dari puncaknya pada 2003 yang mencapai 34.000 kasus atau sekitar 93 kasus per hari

Editor: Eko Sutriyanto
dailypost.ng
ILUSTRASI BUNUH DIRI - Hingga saat ini, sekitar 53 orang bunuh diri setiap hari di Jepang. Jika satu kelas berisi 25 murid, maka setara dengan hilangnya dua kelas sekolah setiap harinya 
Ringkasan Berita:
  • Angka bunuh diri di Jepang masih tinggi, sekitar 53 kasus per hari, dipengaruhi tekanan budaya menahan diri, isolasi sosial, hingga budaya kerja ekstrem. 
  • Meski pemerintah telah menurunkan jumlah kasus dibanding dua dekade lalu, masalah kini bergeser ke kelompok muda, perempuan, dan lansia. 
  • Upaya penanganan terus dilakukan, namun perubahan sosial berjalan lambat.
 

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO – Hingga saat ini, sekitar 53 orang bunuh diri setiap hari di Jepang. Jika satu kelas berisi 25 murid, maka setara dengan hilangnya dua kelas sekolah setiap harinya.

“Masih banyak sekali bunuh diri di Jepang. Sekitar 53 orang setiap hari. Kalau satu kelas berisi 25 murid, berarti dua kelas hilang tiap hari,” ujar seorang polisi Jepang kepada Tribunnews.com, Jumat (21/11/2025).

Pada 15 November lalu, seorang polisi berusia 43 tahun di Akashi, Prefektur Hyogo, bahkan ditemukan tewas bunuh diri setelah melompat dari atap kantor kepolisian sekitar pukul 09.00 pagi.

Meski dikenal sebagai negara maju dengan teknologi dan standar hidup tinggi, Jepang masih berhadapan dengan persoalan serius yang berlangsung puluhan tahun: tingginya angka bunuh diri.

Baca juga: Pelajar di Sukabumi dan Sawahlunto Bunuh Diri, KPAI Dorong Bangun Early Warning System

Data pemerintah mencatat sekitar 21.000 kasus per tahun, menurun tajam dari puncaknya pada 2003 yang mencapai 34.000 kasus atau sekitar 93 kasus per hari.

Namun para ahli menilai masalah ini belum berakhir karena pola bunuh diri kini makin banyak terjadi di kalangan anak muda dan perempuan.

Menurut pengamatan Tribunnews.com, salah satu faktor utama adalah budaya gaman—menahan diri, tidak mengeluh, dan tidak ingin membebani orang lain. 

Banyak warga Jepang memilih menyimpan masalah pribadi, baik ekonomi maupun emosional, tanpa mencari pertolongan.

“Di Jepang, menunjukkan kelemahan masih dianggap tabu. Banyak orang merasa harus kuat sendiri,” ujar seorang konselor di Tokyo.

Budaya Kerja Ekstrem

Jepang juga bergulat dengan budaya kerja yang menekan.

Istilah karōshi—kematian akibat kerja berlebihan—menjadi simbol besarnya tekanan hidup para pekerja.

Jam kerja panjang, beban berat, serta hubungan kerja yang kaku membuat sebagian pekerja mengalami depresi.

Beberapa tahun lalu, seorang karyawan perempuan Dentsu bunuh diri pada malam Natal.

Pihak keluarga memenangkan gugatan karena perusahaan terbukti mempekerjakannya secara berlebihan.

Upaya pemerintah untuk membatasi lembur sudah berjalan, namun perubahan budaya dinilai berjalan sangat lambat.

Isolasi Sosial dan Krisis Kesepian

Jepang mengalami krisis demografis dan sosial: banyak orang hidup sendirian. Kesepian menjadi masalah nasional hingga pemerintah menunjuk Menteri Kesepian pada 2021.

Fenomena hikikomori, yaitu orang yang mengurung diri bertahun-tahun, juga terus meningkat.

Kelompok lansia menjadi penyumbang bunuh diri terbesar. Banyak dari mereka tinggal sendiri, menghadapi penyakit kronis, dan merasa menjadi beban keluarga.

Masalah Ekonomi dan Ketidakpastian Hidup

Meski terlihat stabil, kesenjangan ekonomi di Jepang semakin melebar.

Pekerja kontrak, paruh waktu, ibu tunggal, dan anak muda menjadi kelompok paling rentan.

Ketidakstabilan pendapatan membuat sebagian dari mereka merasa tidak memiliki pilihan lain.

Dampak Media dan Kasus Selebriti

Bunuh diri figur publik sering memicu lonjakan kasus beberapa hari setelahnya, fenomena yang dikenal sebagai Werther effect.

Beberapa artis Jepang yang bunuh diri pada 2020–2021 menimbulkan gelombang besar diskusi dan lonjakan konsultasi kesehatan mental.

Upaya Pemerintah Jepang

Pemerintah terus memperluas layanan konseling 24 jam, kampanye anti-stigma kesehatan mental, pembatasan jam kerja, serta memperkuat dukungan komunitas bagi lansia dan anak muda.

Namun para ahli menilai penyelesaian masalah memerlukan waktu panjang karena terkait erat dengan budaya dan struktur masyarakat.

Data kepolisian Jepang periode Januari–31 Oktober 2025 menunjukkan Tokyo mencatat 1.807 kasus bunuh diri, atau sekitar enam kasus per hari. Menyusul Aichi (990), Osaka (965), Kanagawa (947), Saitama (891), dan Chiba (791).

“Jepang berhasil menurunkan angka bunuh diri dalam dua dekade terakhir. Namun tekanan sosial, kesepian, budaya kerja keras, serta stigma terhadap kesehatan mental masih menjadi tantangan berat,” kata sumber tersebut.

Fenomena ini menegaskan bahwa meski Jepang unggul secara teknologi, tantangan terbesar negara tersebut justru berada pada aspek manusia dan kesehatan mental warganya.

Diskusi tenaga kerja di Jepang dilakukan Pencinta Jepang gratis bergabung. Kirimkan nama alamat dan nomor whatsapp ke email: tkyjepang@gmail.com

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved