Jumat, 15 Agustus 2025

Bamsoet: Jangan Langgengkan Praktik Demokrasi yang Manipulatif

Bamsoet menyebut penyederhanaan syarat menjadi calon presiden memang terkesan populis namun membawa implikasi yang kompleks bagi dinamika politik.

Editor: Content Writer
Istimewa
Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Jayabaya, Trisakti dan Universitas Pertahanan (UNHAN). 

"Untuk alasan populis, keputusan MK itu di satu sisi memberi kesempatan lebih besar bagi semua partai politik untuk berpartisipasi dalam Pilpres, karena  bertambahnya jumlah pasangan calon yang akan bertarung dalam kontestasi Pemilu. Namun, bertambahnya jumlah pasangan calon presiden tidak selalu berdampak positif. Sebaliknya, dia akan menghadirkan persoalan dan tantangan nyata.

"Misalnya, selain praktik demokrasi yang manipulatif, ada risiko fragmentasi politik, polarisasi, tingginya biaya politik dan munculnya calon berkualitas rendah dengan agenda politik yang sempit," ungkap Bamsoet.

Pasal 6A ayat 1 UUD NRI 1945 menyebutkan presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Ayat 2 menegaskan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Artinya, konsekuensi penghapusan presidential threshold bisa diatur dengan pembatasan minimal dan maksimal gabungan (koalisi) partai politik pengusul capres-cawapres, untuk menghindari hanya dua pasang calon maupun dominasi koalisi partai politik pengusul capres-cawapres.

Sebelum dianulir MK, ketentuan presidential threshold mengharuskan partai politik atau gabungan partai politik memenuhi ambang batas tertentu, yaitu 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional, sebagai syarat mengusulkan pasangan calon presiden. Dengan dihapusnya presidential threshold, setiap partai politik memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan pasangan calon presiden.

Hasil Pemilu 2024 mencatat delapan partai politik memperoleh kursi di DPR dan 10 partai politik tanpa kursi di DPR. Dengan dihapusnya presidential threshold, jumlah pasangan calon presiden diperkirakan bisa meningkat dari tiga pasangan di Pilpres 2024, menjadi lebih dari empat atau bahkan enam pasangan pada Pilpres 2029.

"Bertambahnya jumlah kandidat Capres  tidak selalu menjadi indikasi positif bagi demokrasi. Pengalaman di berbagai negara membuktikan banyaknya kandidat Capres dengan latar belakang politik kurang matang; visi misinya terbatas, dan keterwakilan politik yang tidak proporsional. Contohnya, dalam pemilu presiden di Brasil tahun 2018, terdapat 13 kandidat yang bertarung. Hasilnya, muncul beberapa calon presiden dengan pengalaman politik yang minim. Komunitas pemilih justru bingung mencari figur pemimpin yang kredibel dan kompeten," sebut Bamsoet lagi.

"Maka, tantangan utama pasca penghapusan presidential threshold adalah menjaga kualitas kandidat. Masyarakat perlu cerdas dalam memilih. Semua partai politik hendaknya mengusulkan calon presiden dengan visi dan misi yang jelas, serta agenda yang luas dan inklusif," lanjutnya.

Bamsoet mengungkapkan, faktor lain yang tidak bisa diremehkan begitu saja adalah risiko polarisasi di masyarakat akibat banyaknya jumlah calon presiden. Polarisasi dapat terjadi antara pendukung berbagai calon presiden yang pada gilirannya dapat memperburuk kohesi sosial.

Data dari lembaga survei menunjukkan bahwa tingkat polarisasi di Indonesia telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut lembaga riset LSI, data pada tahun 2023 menunjukkan sekitar 42 persen responden merasakan bahwa politik di Indonesia semakin terbagi dalam dua kubu yang saling berlawanan.

Banyaknya jumlah calon presiden dalam Pemilu mendatang juga menyebabkan Pilpres menjadi lebih mahal dan kompleks. Biaya kampanye meningkat, inflasi biaya logistik, serta kemungkinan meningkatnya praktik politik uang. Dengan banyaknya calon presiden, dapat dipastikan bahwa pemilihan presiden akan berlangsung lebih dari satu putaran, dengan konsekuensi menambah beban biaya Pemilu bagi pemerintah.

"Pemerintah bersama DPR perlu memperkuat regulasi Pemilu, menciptakan standar kualitas bagi calon presiden, dan memastikan transparansi dana kampanye. Yang tidak kalah penting adalah peningkatan kapasitas partai politik dalam mengedukasi kader mereka mengenai pentingnya integritas dan kualitas kepemimpinan. Pelatihan dan pembinaan kader bisa memudahkan proses seleksi calon presiden yang lebih berkualitas dan kompeten," pungkas Bamsoet. (*)

Baca juga: Bamsoet Ungkap Pentingnya Koreksi Pilkada Langsung untuk Cegah Pemerintahan Koruptif

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan