Jumat, 22 Agustus 2025

Mengenang Sudjana Kerton: Warisan Seniman Revolusioner dalam Lintasan Seni Rupa Indonesia

Karya-karya Sudjana Kerton kembali dihadirkan lewat pameran bertajuk The Hidden Treasures of Sudjana Kerton yang berlangsung di Jakarta

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Erik S
Istimewa
KARYA SUDJANA KERTON - Wakil Menteri Kebudayaan RI Giring Ganesha melihat dari dekat karya seniman Sudjana Kerton, Kamis (12/6/2025). Karya Kerton dihadirkan lewat pameran bertajuk The Hidden Treasures of Sudjana Kerton di Art:1 New Museum, Jakarta, 12–26 Juni 2025 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Setelah 23 tahun absen dari ruang publik, karya-karya Sudjana Kerton kembali dihadirkan lewat pameran bertajuk The Hidden Treasures of Sudjana Kerton yang berlangsung di Art:1 New Museum, Jakarta, pada 12–26 Juni 2025.

Tak kurang dari 70 karya ditampilkan sebagai bentuk penghormatan terhadap sosok penting dalam sejarah seni rupa modern Indonesia.

Pameran ini juga menjadi bagian dari rangkaian menuju ArtMoments Jakarta 2025 yang dijadwalkan berlangsung pada 8–10 Agustus 2025 di Agora Mall.

Baca juga: Sosok John Martono, Dosen Fakultas Seni Rupa ITB Pencetus Mural Lembur Katumbiri di Bandung

Lebih dari sekadar perayaan visual, pameran ini menjadi ruang refleksi—mengapa figur dan karya Sudjana Kerton  belum sepenuhnya mendapatkan tempat yang layak dalam lanskap seni nasional?
Kurator budaya Sadiah Boonstra memandang warisan Kerton bukan hanya sebagai kumpulan karya seni, melainkan sebagai dokumen sejarah yang hidup—penuh narasi kebangsaan, perjuangan, dan ekspresi kemanusiaan yang kuat.

"Warisan Sudjana Kerton melampaui sekadar kumpulan lukisan. Karya-karyanya adalah catatan hidup tentang pendirian dan perkembangan sebuah bangsa, dipresentasikan lewat mata unik dan penuh empati seorang seniman, sekaligus pengamat dan pelaku sejarah,” ujar Sadiah.

Bagi Sadiah, Sudjana Kerton  adalah visual historian—seniman yang merekam peristiwa dan emosi zaman kemerdekaan dengan ketajaman ekspresif.


Dalam sketsa-sketsa masa revolusi, ia menggambarkan wajah pejuang yang letih, suasana meja perundingan, hingga dinamika rakyat biasa yang tetap bertahan hidup di tengah gejolak politik.

“Dalam karya-karyanya, kita tidak hanya melihat narasi perang, tapi juga kelahiran harapan. Ia memperlihatkan bahwa sejarah tidak selalu hitam-putih. Ada ruang untuk cinta, humor, dan hidup yang terus berjalan meskipun dunia sedang terbakar,” tutur Sadiah.

Pameran Sebagai Narasi Historis

Sadiah menuturkan, pameran ini disusun secara protologis—berdasarkan perkembangan waktu—agar publik bisa mengikuti evolusi artistik Kerton secara kronologis: dari awal karier di Indonesia, pengaruh studi di Belanda dan Paris, hingga puncak kreativitasnya selama 27 tahun di Amerika.

Baca juga: KSBN Gelar Pergelaran Seni Rupa Berbasis Budaya Nusantara di Gedung Perpustakaan Nasional

“Ini semacam pameran tinjauan (overview exhibition) yang memperlihatkan bagaimana ideologi, teknik, dan sensitivitas Kerton terhadap isu sosial terbentuk dan berkembang dari waktu ke waktu,” jelasnya.

Banyak karya yang ditampilkan belum pernah dipublikasikan sebelumnya, termasuk sketsa revolusioner yang menurut Sadiah merupakan “dokumen visual tak ternilai” dalam konteks sejarah bangsa.

Nilai terbesar Kerton, lanjutnya, bukan hanya pada teknik atau komposisi, tetapi pada integritas pesan yang dibawanya.

“Di era seni kontemporer yang kerap dikaburkan pasar dan sensasi, Kerton tampil konsisten—percaya bahwa seni adalah medium untuk menyuarakan keadilan, martabat manusia, dan cinta tanah air,” katanya.

Sadiah juga menekankan pentingnya mengenalkan kembali Kerton kepada generasi muda yang mungkin lebih akrab dengan nama-nama internasional, tapi belum mengenal tokoh revolusioner seni rupa Indonesia.

“Pameran ini adalah ajakan untuk membuka ruang—ruang belajar, ruang apresiasi, dan ruang untuk meninjau ulang posisi sejarah seni kita,” pungkasnya.

Baca juga: Guntur Soekarnoputra Gelar Pameran Fotografi Saat Momen Bulan Bung Karno, Ini Alasannya

Putri Sudjana Kerton, Tjandra Kerton, mengenang sang ayah sebagai sosok bersahaja yang tak henti membimbing generasi muda.

“Di akhir hayatnya, beliau membimbing mahasiswa seni secara informal, mendorong mereka untuk setia pada jati diri sebagai seniman Indonesia. Bagi beliau, integritas jauh lebih penting daripada ketenaran atau uang,” kenang Tjandra.

Dikatakannya, Sanggar Luhur, studio sekaligus galeri yang kini ia kelola, kembali mengangkat karya-karya sang ayah ke panggung seni nasional—termasuk melalui partisipasi dalam ArtMoments Jakarta 2025.

Seni sebagai Suara Bangsa

Wakil Menteri Kebudayaan RI Giring Ganesha turut mengapresiasi pameran ini sebagai momentum penting untuk meninjau ulang posisi Sudjana Kerton  dalam sejarah seni nasional.

“Menjelang 80 tahun Indonesia merdeka, karya-karya Kerton kembali mengingatkan kita pada pengorbanan dan harapan generasi terdahulu,” ujarnya saat konferensi pers jelang pembukaan pameran.

Menurut Giring, karya-karya Kerton tidak hanya menggambarkan sejarah, tapi juga menghadirkan kehidupan yang terus berjalan—pernikahan, perdagangan, percakapan rakyat—di tengah suasana revolusi.

“Anak muda harus datang dan menyaksikan sendiri bagaimana seorang seniman di usia 20-an merekam revolusi dengan cahaya dan semangat yang luar biasa,” tegasnya.

Giring juga menyebut pembentukan Kementerian Kebudayaan oleh Presiden Prabowo sebagai peluang strategis untuk memberi ruang lebih besar bagi seni dan warisan budaya.

“Pameran ini bukan hanya untuk mengenang, tapi untuk meneruskan. Dari Sudjana Kerton, kita belajar bahwa seni bisa menjadi suara, perlawanan, dan penanda integritas bangsa,” tandasnya.

Sketsa Revolusi, Potret Emosional Perjuangan

Sudjana Kerton dikenal sebagai seniman sekaligus reporter yang mengabadikan intensitas Revolusi Indonesia dengan ketajaman emosional. Saat berada di Yogyakarta, ia bekerja untuk surat kabar Patriot bersama Usmar Ismail, tokoh perfilman nasional.

Sketsa-sketsa Kerton menggambarkan wajah-wajah pejuang, suasana perundingan, serta momen keseharian rakyat di tengah perang. Dengan tinta dan garis ekspresif, ia menghadirkan dokumen visual yang menggugah kesadaran akan nilai kemerdekaan.

Perjalanan artistik Kerton kemudian membawanya ke Eropa dan Amerika selama lebih dari dua dekade, memperkaya teknik dan perspektifnya. Sekembalinya ke Indonesia pada 1976, ia memasuki fase paling produktif—menggabungkan pendekatan seni Barat dengan narasi lokal yang intim.

Lukisan-lukisan di masa akhir hidupnya menampilkan gaya yang lebih bebas, warna cerah, dan adegan fantastis yang tetap membumi. Ia setia memotret kehidupan rakyat dengan hormat, humor, dan empati.

Salah satu karya unggulan dalam pameran ini adalah Pulang Panen—lukisan cat minyak yang menggambarkan keluarga petani kembali dari sawah, dalam nuansa hijau yang menenangkan.

Karya ini ditaksir senilai Rp900 juta (sekitar 54.000 dolar AS), mencerminkan bangkitnya kembali minat pasar terhadap karya Kerton yang selama ini jarang dibicarakan.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan