Kamis, 28 Agustus 2025

1,2 Miliar Anak Mendapat Hukuman Fisik dari Orang Tua dengan Alasan Disiplin, WHO Ingatkan Bahayanya

Tak hanya di rumah, praktik hukum fisik juga marak dilakukan guru di sekolah. Alasan praktik itu dilakukan untuk mendisiplinkan anak.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
HO/AI Chat GPT
KEKERASAN ANAK - Gambar ilustrasi ini diolah menggunakan AI pada Jumat (22/8/2025). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Masih banyak orang tua dan pengasuh yang meyakini bahwa hukuman fisik dapat membuat anak disiplin. 

Namun, laporan terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) justru menegaskan sebaliknya, praktik tersebut terbukti berbahaya dan meninggalkan dampak jangka panjang bagi kesehatan anak.

Secara global, diperkirakan 1,2 miliar anak berusia 0–18 tahun masih mengalami hukuman fisik di rumah setiap tahun. 

Baca juga: Perbedaan Mencolok Pengasuhan Anak Zaman Dulu dan Kini serta Tantangannya

Data dari 58 negara menunjukkan bahwa sekitar 17 persen di antaranya menghadapi bentuk yang paling parah.

Misalnya, dipukul di kepala, wajah, atau telinga, bahkan mengalami pukulan keras berulang kali.

Angka Tinggi di Sekolah dan Rumah

Di kalangan anak usia 2–14 tahun, tingkat hukuman fisik sangat bervariasi. 

Misalnya, sekitar 30 persen anak di Kazakhstan melaporkan masih dipukul di rumah, sementara di Togo angkanya mencapai 77 persen.

Praktik ini juga marak di sekolah. Di beberapa negara Afrika dan Amerika Tengah, 7 dari 10 anak mengaku pernah mendapatkan hukuman fisik selama bersekolah. 

Sebaliknya, di wilayah Pasifik Barat, angka tersebut relatif lebih rendah, yakni sekitar 25 persen.

“Kini terdapat bukti ilmiah yang sangat kuat bahwa hukuman fisik membawa berbagai risiko bagi kesehatan anak,” ujar Etienne Krug, Direktur Departemen Penentu, Promosi, dan Pencegahan Kesehatan WHO, dikutip dari website resmi, Senin (25/8/2025). 

Risiko Nyata bagi Kesehatan Anak

Laporan berjudul Hukuman Fisik pada Anak: Dampak Kesehatan Masyarakat menunjukkan bahwa konsekuensi dari praktik ini tidak hanya berupa cedera fisik. 

Anak yang mengalami pukulan atau bentakan keras juga menghadapi gangguan biologis yang serius, termasuk peningkatan hormon stres, serta perubahan struktur dan fungsi otak.

Dampak jangka panjangnya lebih mengkhawatirkan. 

Anak-anak yang terpapar hukuman fisik rata-rata 24 persen lebih kecil kemungkinan untuk berkembang optimal dibandingkan teman sebaya yang tidak mengalami hukuman. 

Mereka juga lebih rentan terhadap depresi, kecemasan, hingga harga diri rendah yang berlanjut sampai dewasa.

Tak berhenti di situ, laporan WHO mengingatkan bahwa praktik ini memperkuat siklus kekerasan lintas generasi. 

Anak-anak yang tumbuh dengan hukuman fisik lebih berisiko mengembangkan perilaku agresif, sulit berprestasi di sekolah, dan ketika dewasa cenderung terlibat dalam kekerasan atau perilaku kriminal.

“Hukuman fisik tidak memberikan manfaat bagi perilaku, perkembangan, atau kesejahteraan anak, dan juga tidak bermanfaat bagi orang tua maupun masyarakat. Sudah saatnya mengakhiri praktik berbahaya ini demi memastikan anak-anak berkembang baik di rumah maupun di sekolah,” tegas Krug.

Faktor Risiko dan Tantangan Sosial

Laporan WHO juga menyoroti bahwa anak-anak dengan disabilitas, yang orang tuanya pernah mengalami kekerasan serupa, atau tinggal dalam keluarga dengan masalah kesehatan mental dan penyalahgunaan zat, menghadapi risiko lebih besar. 

Faktor sosial seperti kemiskinan, diskriminasi, dan rasisme turut memperburuk situasi.

Di banyak negara, hukuman fisik sebenarnya sudah dilarang secara hukum. 

Namun kenyataannya, praktik ini masih terjadi karena keyakinan masyarakat yang menganggap hukuman fisik sebagai “cara mendidik” yang sah.

WHO menekankan bahwa perubahan hukum perlu dibarengi dengan edukasi publik. 

Orang tua, pengasuh, dan guru harus mendapat dukungan serta pelatihan mengenai bentuk disiplin positif yang mendidik tanpa melukai.

“Peringatan ini jelas: tanpa tindakan nyata, hukuman fisik akan terus melanggengkan lingkaran kekerasan yang merugikan generasi mendatang,” kata WHO dalam laporannya.

Dengan laporan terbaru ini, pesan WHO kepada dunia semakin tegas.

Saatnya menanggalkan paradigma lama dan menumbuhkan lingkungan keluarga serta sekolah yang aman, penuh kasih, dan sehat bagi anak-anak.

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan