Pemilu 2024
Pengamat Sebut Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Merusak Partai Politik
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka telah merusak parpol.
Penulis:
Ibriza Fasti Ifhami
Editor:
Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka telah merusak partai politik (parpol).
Adapun Pangi menjelaskan beberapa alasan terkait pendapatnya tersebut.
Pertama, Sistem Pemilu Proporsional Terbuka membuat calon legislatif sesama di internal partai bersaing ketat satu sama lain.
"Manusia menjadi serigala bagi sesamanya (leviathan), saling menerkam dan saling memakan di antara internal caleg," kata Pangi, kepada Tribunnews.com, Rabu (11/1/2023).
Kedua, menurut Pangi, sistem tersebut melemahkan parpol, dikarenakan tidak ada caleg yang benar-benar kampanye menggunakan visi dan misi yang telah disusun partai.
"Masing-masing caleg berkampanye dengan cara, tema, dan narasinya sendiri-sendiri bagaimana berpikir untuk menang mengalahkan caleg sesama kader di internal partai," jelasnya.
Ketiga, tutur Pangi, Sistem Proporsional Terbuka lebih cenderung menyebabkan pemilih memilih figur kandidat daripada tautan partai.
"Cenderung memilih presiden ketimbang partai. Senang dengan nama, maka memilih nama dan tidak memilih partai," ujarnya.
Baca juga: Perbedaan Pemilu Sistem Proporsional Terbuka dan Proporsional Tertutup yang Ditolak 8 Parpol
Keempat, Pangi menyebut, Sistem Pemilu Proporsional Terbuka juga menyebabkan rendahnya party-ID.
Ia mengatakan, party-ID hanya sebesar 13,2 persen, pemilih yang merasa dekat baik secara ideologis maupun secara psikologis dengan partainya.
Pangi menduga, salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka.
"Sepanjang tetap memakai Sistem Proposional Terbuka, maka selama itu presentase party-ID di Indonesia tetap rendah."
Kelima, kata Pangi, Sistem Proporsional Terbuka menyebabkan tingginya split ticket votinf atau tidak tegak lurus antara pilihan partai dan pilihan presiden.
Menurutnya, hal itu adalah bentuk dari kegagalan parpol dalam mengelola isu dan program.
"Kejenuhan konstituen yang kemudian menyebabkan pemilih abai terhadap keinginan partai. Kecenderungan pemilih lari kepada calon lain yang justru tidak di-endorse oleh partainya, akibat rendahnya party-ID menyebabkan pemilih tidak taat kepada partainya," katanya.
Baca juga: Soal Isu Sistem Proporsional Tertutup, Pengamat Ingatkan KPU Jaga Netralitas
Terakhir, Pangi menuturkan, Sistem Pemilu Proporsional Terbuka cenderung merusak sistem meritokrasi parpol atau melemahkan proses kaderisasi partai.
"Yang tadinya bukan kader partai, lalu tiba-tiba bisa nyelonong jadi caleg, dapat nomor urut cantik lagi," ucapnya.
Menurutnya, dengan Sistem Proporsional Terbuka, tokoh populer seperti artis dan publik figur mendapatkan tempat istimewa di partai.
Katanya, hal itu dikarenakan caleg artis dimanfaatkan sebagai vote getter atau mesin pengumpul suara oleh parpol.
"Bisa menjadi caleg di partai tersebut tanpa ada bukti kerja dan tanpa melalui proses kaderisasi yang matang."
Oleh karena itu, ia menduga, ada wakil rakyat yang tidak memiliki kompetensi sehingga produk Undang-Undang yang dihasilkan kurang berpihak kepada rakyat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.