Pemilu 2024
Pengamat Pemilu Ungkit Sejumlah Kasus Pilkada Terganjal Pencalonan Mantan Terpidana
Pengamat kepemiluan Titi Anggraini mengatakan sejumlah kasus pilkada di Indonesia pernah terganjal karena pencalonan mantan terpidana.
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah kasus pilkada di Indonesia pernah terganjal karena pencalonan mantan terpidana.
Hal ini menjadi satu di antara topik yang disampaikan oleh pengamat kepemiluan sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini saat menjadi ahli dalam sidang sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Titi menjadi ahli untuk perkara Nomor 55/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang berlangsung di MK, Selasa (11/2/2025) .
Sengketa ini menyoroti Pilkada Gorontalo Utara, diduga salah satu calon tidak memenuhi syarat karena riwayat hukumnya.
Titi menjelaskan, salah satu yang paling terkenal adalah Pilkada Sabu Raijua 2020, di mana pemenang pemilu, Orient Patriot Riwu Kore, kemudian dinyatakan tidak memenuhi syarat karena memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat. Kasus ini berujung pada pemungutan suara ulang.
Kasus lain terjadi di Boven Digoel, Papua, di mana seorang calon bupati dinyatakan tidak sah karena statusnya sebagai mantan terpidana narkoba. Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilihan ulang tanpa keikutsertaan calon tersebut.
”Bisa disebut bahwa pelanggaran terhadap syarat calon dan persyaratan pencalonan adalah pelanggaran yang tidak termaafkan bagi mahkamah,” kata Titi.
Baca juga: MK Gelar Sidang Pembuktian PHPU Pilkada 2024, 40 Perkara Termasuk Barito Utara dan Babel
Kini, persoalan serupa mencuat di Pilkada Gorontalo Utara, di mana terdapat dugaan bahwa salah satu calon tidak memenuhi syarat karena riwayat hukumnya. Jika terbukti, bukan tidak mungkin pemilihan di daerah ini juga akan diulang, sebagaimana putusan MK di kasus-kasus sebelumnya.
MK telah menetapkan aturan ketat terkait pencalonan mantan terpidana dalam pemilihan kepala daerah.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan Nomor 54/PUU-XXII/2024, seorang mantan terpidana harus menunggu lima tahun setelah bebas sebelum bisa mencalonkan diri. Selain itu, ia harus secara jujur mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana.
Aturan ini membedakan antara mantan terpidana dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun dan yang kurang dari lima tahun.
Baca juga: Beredar Dugaan Dokumen Palsu Jelang Sidang MK Pembuktian Pilkada Puncak, Bawaslu Lapor Polda Metro
Untuk yang pertama, masa tunggu lima tahun wajib, sementara yang kedua hanya perlu mengumumkan latar belakangnya.
Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia tergolong moderat. Amerika Serikat misalnya, memiliki aturan berbeda di tiap negara bagian, dengan beberapa daerah melarang mantan terpidana seumur hidup untuk mencalonkan diri.
Sementara itu, di Prancis dan Jerman, rehabilitasi sosial lebih ditekankan, sehingga mantan napi bisa kembali berpolitik setelah menjalani hukumannya tanpa masa tunggu khusus.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.