Jumat, 15 Agustus 2025

Pilpres 2024

Sosok 4 Hakim MK Tak Setuju Kepala Daerah Belum Berusia 40 Tahun Bisa jadi Capres-Cawapres

Ada empat hakim yang berbeda pendapat atau tidak setuju terkait putusan MK soal kepala daerah yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres-cawapres

Penulis: Sri Juliati
Editor: Arif Fajar Nasucha
Kolase Tribunnews.com/mkri.go.id
Dari kiri ke kanan: Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Ada empat hakim yang berbeda pendapat atau tidak setuju terkait putusan MK soal kepala daerah yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres-cawapres. Ini sosok mereka. 

TRIBUNNEWS.COM - Sebanyak empat hakim dari sembilan hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda pendapat terkait putusan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023.

Dalam putusan MK tersebut, seseorang yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) asal berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Mereka yang tidak setuju atau berbeda pendapat (dissenting opinion) Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat.

Dua hakim MK lainnya yaitu Daniel Foekh dan Enny Nurbaningsih menyampaikan concurring opinion (alasan berbeda) untuk putusan yang sama.

Selama sidang pembacaan putusan, pertimbangan MK dibacakan dua hakim konstitusi, yaitu Manahan Sitompul dan Guntur Hamzah.

Ketua MK Anwar Usman hanya mengetuk palu, menyatakan bahwa gugatan yang diajukan mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru itu dikabulkan sebagian.

Baca juga: Mahasiswa Pengagum Gibran yang Gugat Syarat Usia Capres-Cawapres ke MK Ternyata Anak Boyamin Saiman

Inilah sosok 4 hakim MK yang tak setuju kepala daerah belum berusia 40 tahun bisa jadi capres-cawapres:

1. Saldi Isra

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra. (YouTube Kompas TV)

Saldi Isra dilantik sebagai salah satu hakim konstitusi pada 11 April 2017 dengan masa jabatan hingga 11 April 2032.

Kini, ia menjabat sebagai Wakil Ketua MK.

Pria kelahiran Paninggahan-Solok, 20 Agustus 1968 itu menggantikan Patrialis Akbar dan langsung diusulkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dikutip dari mkri.id, putra pasangan Ismail dan Ratina memiliki nama sejak lahir yaitu Sal.

Namun karena terlalu, sang ayah menambahkan -di di belakang nama Sal ketika hendak mendaftarkan SD.

Pada kelas 6, Saldi lantas menambahkan nama 'Isra' sebagai nama belakangnya yang merupakan singkatan dari nama kedua orangtuanya.

Saat di SMA, Saldi mengambil jurusan Fisika. Oleh karena itu, ia berharap bisa masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) atau AKABRI.

Namun, keberuntungan belum berpihak pada ayah tiga anak tersebut. Tiga kali ia gagal kuliah di kampus impiannya itu. Pertama gagal PMDK, lalu gagal di Sipenmaru 1988, dan setahun kemudian gagal lagi di UMPTN 1989.

Saldi lantas hijrah ke Jambi untuk mencari kerja. Setelah uangnya terkumpul, suami Leslie Annisaa Taufik itu kembali mencoba UMPTN pada 1990.

Ia mencantumkan tiga pilihan jurusan yaitu Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya, Teknik Sipil Universitas Andalas, dan Ilmu Hukum Universitas Andalas.

Ternyata, yang diterima adalah Ilmu Hukum Universitas Andalas. Ia pun berhasil menamatkan pendidikan di Universitas Andalas dengan IPK 3,86 dan meraih predikat Summa Cum Laude.

Setelah menamatkan pendidikan S1, Saldi yang merupakan lulusan terbaik langsung dipinang untuk menjadi dosen di Universitas Bung Hatta hingga Oktober 1995 sebelum akhirnya berpindah ke Universitas Andalas, Padang.

Di Universitas Andalas, Saldi Isra mengabdi selama hampir 22 tahun.

Ia juga menyelesaikan pendidikan S2 dan meraih gelar Master of Public Administration di Universitas Malaya, Malaysia (2001).

Kemudian pada 2009, Saldi Isra berhasil menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan predikat lulus Cum Laude.

Setahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.

Baca juga: Saldi Isra: MK Kabulkan Gugatan yang Sebenarnya Secara Tekstual Tak Dimohonkan Pemohon

2. Wahiduddin Adams

Mantan Direktur Jenderal Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Wahiduddin Adams menjalani tes seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di ruang Komisi Hukum DPR, Jakarta Pusat, Selasa (4/3/2014).
Mantan Direktur Jenderal Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Wahiduddin Adams menjalani tes seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di ruang Komisi Hukum DPR, Jakarta Pusat, Selasa (4/3/2014). (Tribunnews/Herudin)

Wahiduddin Adams adalah hakim konstitusi kedua yang tidak sepakat mengenai putusan MK yang memperbolehkan kepala daerah belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres-cawapres.

Di MK, ini adalah periode kedua Wahiduddin Adams menjadi hakim konstitusi sejak 21 Maret 2019 hingga 17 Januari 2024.

Sebelumnya, mantan PNS di Departemen Kehakiman atau kini Kementerian Hukum dan HAM juga telah menjadi hakim konstitusi, yaitu pada 21 Maret 2014 hingga 21 Maret 2019.

Saat di Kemenkumham, Wahid menduduki jabatan sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan yang membuat kerap mendatangi gedung MK.

Ia kerap hadir dalam sidang pengujian undang-undang dan sengketa kewenangan lembaga negara di MK.

Pria kelahiran Palembang, 17 Januari 1954 itu pernah mengaku, masa purnabaktinya akan diisi menjadi dosen.

Bahkan surat keputusan (SK) PNS-nya sudah dipindahkan menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum.

Namun menjelang dirinya pensiun, DPR membuka kesempatan untuk menjadi hakim konstitusi.

Ia pun merasa terpanggil. Pengalamannya di Direktorat Jenderal Perundang-Undangan menjadi bekal untuk mengajukan diri menjadi hakim konstitusi.

Peraih gelar doktor Hukum Islam dari UIN Syarif Hidayatullah itu pun lantas terpilih menjadi satu dari sembilan pilar pengawal konstitusi.

Beralih dari seorang PNS menjadi seorang hakim tentu bukan perkara mudah bagi Wahid.

Banyak hal yang mesti Wahid sesuaikan, termasuk sikapnya sebagai seorang hakim.

Kini, Wahid tidak lagi dapat tunduk pada sistem birokrasi.

Ia harus independen dalam bersikap dan berpikir lantaran tugasnya yang bersifat memutus.

Keragu-raguan akan independensinya, diakui Wahid juga disampaikan oleh Tim Ahli untuk Seleksi Hakim Konstitusi di DPR.

Menjawab hal tersebut, dirinya menegaskan persyaratan itu sudah ditentukan oleh konstitusi.

Termasuk bagaimana menjadi hakim konstitusi, suasana kerja, dan aturan kerjanya.

Wahid juga berkomitmen untuk mengikuti aturan sebagai hakim konstitusi yang tentunya lebih banyak batasan yang mesti ia perhatikan.

Baca juga: MK Tolak Uji Formil UU KPK, Ini Pertimbangan Hakim Wahiduddin Adams Beri Dissenting Opinion

3. Suhartoyo

Hakim konstitusi Suhartoyo saat sidang perkara ulang putusan Putusan MK No. 103 terkait pencopotan Hakim Aswanto, di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (16/2/2023).
Hakim konstitusi Suhartoyo saat sidang perkara ulang putusan Putusan MK No. 103 terkait pencopotan Hakim Aswanto, di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (16/2/2023). (Tribunnews.com/Naufal Lanten)

Sosok hakim MK lain yang berbeda pendapat dalam putusan ini adalah Suhartoyo.

Pria kelahiran Sleman, 15 November 1959 itu terpilih menjadi hakim konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya sejak 7 Januari 2015.

Tahun ini pun menjadi periode keduanya menjadi hakim di MK. Yaitu periode pertama pada 7 Januari 2015-7 Januari 2020, sedangkan periode kedua pada 7 Januari 2020-15 November 2029.

Sebelum menjadi hakim konstitusi, Suhartoyo mengawali karier sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri (PN) Bandar Lampung pada 1986.

Lulusan S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu dipercaya menjadi hakim PN di beberapa kota hingga tahun 2011.

Di antaranya Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), Hakim PN Bekasi (2006) sebelum akhirnya menjabat sebagai hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar.

Ia juga terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), serta Ketua PN Jakarta Selatan (2011).

Pencalonan Suhartoyo menjadi hakim MK dari unsur Mahkamah Agung mendapatkan penolakan dari Komisi Yudisial (KY).

KY menduga Suhartoyo melakukan pelanggaran etik dalam proses pengurusan berkas peninjauan kembali (PK) terkait perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan Sudjiono Timan.

Kasus bergulir di PN Jakarta Selatan yang saat itu Suhartoyo menjadi ketua pengadilannya. Ia mengakui, dialah yang menunjuk anggota majelis hakim yang menangani perkara tersebut.

Namun, ia tidak pernah menyidangkan perkara Sudjiono Timan sejak perkara itu di tingkat pertama tahun 2002 sampai perkara PK.

Suhartoyo menduga KY salah mengidentifikasi orang karena nama hakim yang menyidangkan perkara Sudjiono mirip dengan nama Suhartoyo.

Begitu pula dengan isu yang menyebut selama kasus tersebut disidangkan, Suhartoyo telah melakukan perjalanan ke Singapura sebanyak 18 kali.

Ia membantah isu tersebut dan menyebut Dewan Etik Mahkamah Agung (MA) sudah memeriksa paspornya dan hanya satu kali terbang ke Singapura.

Baca juga: Profil Hakim MK Suhartoyo dan M Guntur Hamzah, Nyatakan Dissenting Opinion soal Usia Capres-Cawapres

4. Arief Hidayat

Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden Joko Widodo saat dilantik di Istana Negara, Jakarta, Selasa (27/3). Presiden melantik Arief Hidayat menjadi hakim konstitusi periode 2018-2023 setelah terpilih sebagai hakim konstitusi perwakilan DPR.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden Joko Widodo saat dilantik di Istana Negara, Jakarta, Selasa (27/3). Presiden melantik Arief Hidayat menjadi hakim konstitusi periode 2018-2023 setelah terpilih sebagai hakim konstitusi perwakilan DPR. (Warta Kota/Henry Lopulalan)

Terakhir, ada nama Arief Hidayat yang juga tidak sepakat atau berbeda pendapat dengan putusan tersebut.

Sosok Arief Hidayat bukanlah orang baru di MK.

Ia pernah menjabat sebagai Ketua MK periode 14 Januari 2015 - 14 Juli 2017; Wakil Ketua MK periode 1 November 2013 - 12 Januari 2015; serta Hakim Konstitusi periode 1 April 2013 - 1 April 2018.

Pria kelahiran Semarang, 3 Februari 1956 itu akan menjabat sebagai hakim MK hingga 3 Februari 2026.

Ia dilantik menjadi hakim konstitusi pada 1 April 2013 lantaran menggantikan Mahfud MD yang mengakhiri masa jabatan.

Sementara bagi Arief, MK bukanlah merupakan lembaga yang asing.

Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) itu juga bukan 'orang baru' di dunia hukum, khususnya hukum tata negara.

Sepanjang kariernya, Arief fokus di dunia pendidikan dengan mengajar di Undip. Ia juga pernah menjadi Dosen Luar Biasa pada Fakultas Hukum Program S2 dan S3 di berbagai PTN/PTS di Indonesia

Selain aktif mengajar, ia juga menjabat sebagai ketua di beberapa organisasi profesi.

Sebut saja Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Tengah, Ketua Pusat Studi Hukum Demokrasi dan Konstitusi, Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender Indonesia, serta Ketua Pusat Studi Hukum Lingkungan.

Arief mengisahkan, beberapa tahun lalu mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, pernah mendorongnya untuk maju sebagai hakim konstitusi.

Namun, karena saat itu dia masih memegang jabatan sebagai dekan, maka hal itu tak bisa dipenuhinya.

(Tribunnews.com/Sri Juliati)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan