Rabu, 1 Oktober 2025

Pilpres 2024

Meski Dibolehkan MK, HNW Harap Jokowi Tak Izinkan Gibran Maju Cawapres Demi Tinggalkan Legacy Harum

HNW menyesalkan putusan MK yang mengabulkan sebagian uji materi batasan usia calon wakil presiden (cawapres).

Istimewa
Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW). HNW menyesalkan putusan MK yang mengabulkan sebagian uji materi batasan usia calon wakil presiden (cawapres). 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR) Hidayat Nur Wahid (HNW) merespons soal putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK) yang mengabulkan gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023.

HNW menyesalkan putusan MK yang mengabulkan sebagian uji materi batasan usia calon wakil presiden (cawapres), sehingga membolehkan pihak yang berumur di bawah 40 tahun tapi pernah atau sedang menjadi kepala daerah bisa maju atau dicalonkan sebagai Calon Wakil Presiden. 

Menurut dia, putusan tersebut menunjukkan inkonsistensi MK, sehingga dikhawatirkan dapat menjatuhkan marwah dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan tertinggi tersebut. 

"Putusan ini jelas tidak konsisten dengan putusan-putusan MK sebelumnya yang menyatakan berkaitan dengan syarat usia pejabat publik bahwa itu bukan kewenangan MK, melainkan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) dari pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Pemerintah. Ini jelas sangat disesalkan dan disayangkan," kata HNW dalam keterangan resminya, Selasa (17/10/2023).

Baca juga: Saldi Isra: Putusan MK soal Gugatan Batas Usia Cawapres Aneh dan Luar Biasa

Lebih lanjut, HNW juga menyoroti terkait adanya 4 dari 9 hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam memutus perkara gugatan itu.

Menurut dia, meski ada 4 hakim yang memiliki pendapat berbeda, namun jumlahnya lebih sedikit dibanding yang mengabulkan.

Padahal menurut dia, apa yang diputuskan tersebut tidak sesuai dengan prinsip kenegarawanan yang menjadi syarat sebagai Hakim Konstitusi. 

"Dan Rakyat, pemilik Kedaulatan memilih capres dan cawapres, tentu harus memperhatikan dan menyimak putusan tidak konsisten yang dinilai banyak pihak sebagai akan menguntungkan salah satu kepala daerah yang masuk dalam bursa cawapres padahal umurnya belum mencapai 40 tahun, tapi yang bersangkutan adalah anak Presiden Joko Widodo ini," kata dia.

Bahkan atas adanya putusan tersebut, kini telah muncul beberapa julukan baru dari publik terhadap singkatan MK.

Kebanyakan yang beredar kata dia, publik menilai MK merupakan Mahkamah Keluarga bukan lagi Mahkamah Konstitusi.

"Sehingga memunculkan ungkapan yang memelesetkan bahwa MK bukan lagi Mahkamah Konstitusi melainkan Mahkamah Keluarga, hal yang semakin menjatuhkan marwah lembaga peradilan tersebut," kata dia.

Tak hanya itu, putusan tersebut juga kata dia berpotensi menimbulkan praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang sejatinya sudah menjadi prinsip yang harus dilawan sejak reformasi.

"Putusan ini berpotensi menabrak prinsip penting hadirnya salah satu tuntutan reformasi yaitu menolak KKN. Yang ditolak bukan hanya Korupsi, dan Kolusi tapi juga ‘nepotisme’," tuturnya. 

Oleh karena itu, HNW menyarankan agar siapa pun kepala daerah, termasuk Gibran Rakabuming Raka, yang dinilai memenuhi kriteria dalam putusan MK untuk maju menjadi cawapres, agar yang bersangkutan perlu menghadirkan sikap kenegarawanan untuk tidak mengambil kesempatan menjadi cawapres itu. 

Sebab, selain tidak ada kewajiban mengambilnya, hal itu jelas menjurus kepada nepotisme yang ditolak oleh tuntutan Reformasi. 

"Demikian juga ayahnya, yaitu Presiden Jokowi, agar menghadirkan kenegarawanan dengan tidak mengizinkan Walikota Solo yang adalah anaknya itu untuk maju sebagai cawapres, sekalipun MK membolehkannya," kata dia. 

Sikap yang harusnya diambil oleh Presiden Jokowi itu kata dia, semata-mata demi kebaikan eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi berbasis hukum, bukan negara kekuasaan, dan untuk menepis soal nepotisme.

Sehingga, sesuainya menjabat Presiden maka Jokowi menurut dia bisa meninggalkan legacy kenegarawanan yang akan mengharumkan namanya dan anaknya dan menyelamatkan Indonesia sebagai negara hukum juga. 

"Karena Pasal 171 ayat (1) dan ayat (4) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mensyaratkan kepala daerah yang akan maju capres atau cawapres harus meminta izin Presiden. Maka bila Presiden Jokowi memberikan izin, publik akan mendapat konfirmasi bahwa dugaan adanya cawe-cawe Presiden Jokowi dalam pemilu/pilpres, sebagaimana yang dikatakan sebelumnya, memang semakin terbukti, benar adanya," ujarnya. 

Pasalnya kata politikus senior PKS itu, pada akhirnya rakyat yang akan menjadi hakim dan menentukan masa depan Indonesia di bilik suara. 

Jika memang ada target yang pengin dituntaskan oleh salah satu pihak atas putusan ini, maka nantinya rakyatlah yang menurut dia, akan menggunakan kedaulatan dalam mengawal jalannya Pemilu secara berkualitas.

"Sekalipun Ayah dan Anaknya “ngotot” memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh 5 hakim MK tersebut dan sekalipun demikian, Rakyat mestinya juga tetap mempergunakan kedaulatannya dengan memperhatikan, mengawal dan mengawasi penyelenggaraan pemilu/pilpres agar tetap dilaksanakan secara jujur dan adil sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945," kata dia.

"Agar hasil Pemilu termasuk Pilpres benar-benar lebih berkualitas dan mempunyai legitimasi," pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved