Kamis, 28 Agustus 2025

Pilpres 2024

Jelang Putusan Sengketa Pilpres 2024: Menanti MK Bawa Demokrasi Maju atau Justru Mundur Satu Abad

Okky menyebut, bahwa besok rakyat akan melihat apakah MK akah teguh menjalan tugasnya sebagai penjaga konstitusi dan mewujudkan dengan sebenarnya.

Editor: Wahyu Aji
Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo dan tujuh hakim konstitusi yang bertugas untuk perkara PHPU Pilpres 2024. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Budayawan yang juga sosiolog Okky Madasari PhD menyoroti putusan yang akan dibacakan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (22/4/2024) terkait sengketa hasil Pilpres 2024 atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU).

Hadir sebagai orator pada peringatan Hari Kartini pada Minggu (21/4/2024) di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Okky menyebut, bahwa besok rakyat akan melihat apakah MK akah teguh menjalan tugasnya sebagai penjaga konstitusi dan mewujudkan dengan sebenar-benarnya demokrasi di Indonesia.

“Besok kita akan sama-sama melihat, apakah MK akan membawa demokrasi kita untuk terus maju atau justru mundur satu abad,” katanya.

Okky yang juga seorang novelis menuturkan, jika revolusi adalah utopi dan kekerasan adalah hal yang harus dihindari, maka MK adalah harapan.

MK, ujarnya, adalah anak kandung Reformasi yang dilahirkan dengan harapan bisa menjaga Indonesia agar tetap berpijak pada konstitusi dan mengawal demokrasi.

Melalui MK, rakyat bisa mengadukan ketidakadilan yang disahkan oleh peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

Okky menyebut, bahwa dua puluh lima tahun memang waktu yang singkat dalam usia perjalanan demokrasi sebuah bangsa. Namun, nilai-nilai dasar demokrasi telah tertanam dalam gagagasan sejak lebih dari satu abad lalu.

“Demokrasi bukan sebuah hadiah, bukan pula warisan, melainkan benih yang terus dirawat dan dijaga agar terus tumbuh dan berbuah. Atas kesadaran itu, pada awal Reformasi MK dibentuk. MK adalah anak kandung Reformasi yang dilahirkan dengan harapan bisa menjaga negeri ini agar tetap berpijak pada konstitusi dan mengawal demokrasi,” tuturnya.

Pada kesempatan itu, Okky mengatakan, bahwa Kartini tidak seharusnya diperlakukan sebagai mitos. Demikian juga demokrasi Indonesia.

Merayakan Kartini adalah merayakan pikiran-pikirannya, membaca dan mengkaji ulang tulisan-tulisannya, menggunakannya untuk memahami permasalahan hari ini.

Kartini adalah seorang pemikir sosial. Pramoedya Ananta Toer tak segan menggunakan istilah teori Kartini untuk merujuk gagasan-gagasan Kartini.

“Kartini adalah seorang manusia politik. Sebagai pemikir bumiputra pertama yang hidup di masa peralihan, Kartini merumuskan dan memperjuangkan kemajuan yang kemudian menjadi milik seluruh bangsa,” lanjutnya.

Pemikiran Kartini berdasar pada etika, pada prinsip untuk menegakkan kebenaran, mewujudkan kesetaraan dan keadilan sosial.

Ditegaskan, bahwa Kartini sejak awal juga selalu menggarisbawahi rakyat sebagai tujuan. Hal itu pula yang menjadi prinsip demokrasi.

Demokrasi tanpa ada etika, kesetaraan dan keadilan sosial, hanyalah mitos belaka.

“Mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, namun membiarkan adanya pelanggaran etika, merayakan pelanggaran hukum dan ketidakadilan adalah puncak kemunafikan sebuah bangsa,” pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama, pengacara yang juga aktivis perempuan Sri Wiyanti Eddyono berharap, para hakim MK memiliki nalar untuk secara komprehensif menganalisis dengan meletakkan keputusannya pada konteks keadilan substantif ketimbang keadilan formal.

Baca juga: Jelang Sidang Putusan Sengketa Pilpres 204, Majelis Hakim MK Diharapkan Dengar Kritik Masyarakat

Menurut dosen Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM itu, putusan MK akan berdampak pada nasib bangsa Indonesia pasca-25 tahun Era Reformasi di Indonesia.

“Normalisasi kecarut-marutan patut kita respons, baik sebagai insan pribadi, rakyat atau warga negara maupun selaku akademisi. Kita berharap masih ada nalar bagi para hakim di MK yang secara komperhensif menganalisis dengan meletakkan keputusannya pada konteks keadilan substantif ketimbang keadilan formal. Kita bicara pada nasib bangsa Indonesia yang harapannya berubah lebih baik dalam mencapai paska 25 tahun Era Reformasi Indonesia,” ujarnya.

Peneliti ini menyebut bahwa aspek dan kondisi penegakan hukum di Indonesia tidak baik-baik saja dan kondisi buruk ini telah berjalan puluhan tahun.

Era reformasi tidak bisa meretas problematika penegakan hukum yang cenderung meminggirkan pihak yang lemah dan memperkuat pihak yang memiliki posisi, cenderung tebang pilih, dan menjadi cara untuk mengambil keuntungan bagi mereka yang berkuasa bahkan di level yang paling bawah.

Hukum dan Politik

Lebih jauh, Sri Wiyanti menuturkan, paradigma hukum yang sangat erat dengan politik.

Dalam wacana hukum dan politik yang berkeadilan, hukum diidealkan sebagai sebuah kesepakatan masyarakat yang berbasis pada idealitas dan moral kebajikan untuk menjaga aras politik dan pembangunan.

Tapi, dalam praktiknya paradigma hukum yang berkeadilan tertebas dengan politik yang buas, maskulin, dan tanpa dasar nilai-nilai kemaslahatan.

“Proses pembentukan hukum diwarnai pembentukan politik praktis dan produk hukum menjadi legitimasi kekuasaan untuk kepentingan elite semata. Apa yang terjadi dalam perdebatan Pemilu 2024 adalah contoh yang sangat transparan terhadap bagaimana hukum digunakan secara sistematis dan menggunakan insitusi demokrasi yaitu DPR dalam pengesahan Bansos yang digulirkan secara masif selama Pemilu. Ini contoh legitimasi hukum oleh kekuasaan karena dana Bansos tersebut seolah-olah sah dan legitimated,” paparnya.

MK dan Kekuasaan

Sri Wiyanti juga menyebut paradigma hukum bekerja berdasarkan struktur hukum, yaitu institusi peradilan, aparat hukum, dan pemerintahan.

Mengutip pandangan Prof Sajipto Raharjo ada lima hal yang sangat berpengaruh pada struktur hukum bekerja, yakni nilai-nilai, kapasitas, kepentingan, budaya institusi dan kebijakan turunan.

Menurutnya, lima aspek ini sangat problematik dalam konteks Indonesia masa kini: Mahkamah Agung (MA) dan MK sebagai dua pilar keadilan paling akhir cenderung tidak imun dengan kekuasaaan dan kepentingan politik karena digunakan untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan.

Baca juga: Survei Indikator: Kepercayaan Publik Terhadap MK Mulai Pulih Jelang Putusan Sengketa Pilpres 2024

Contoh yang paling jelas di depan mata adalah penentuan batas usia calon wakil presiden (Cawapres) dalam Putusan MK Nomor 90/2023.

Putusan ini dianggap sebagai ‘karpet merah’ bagi putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melaju sebagai Cawapres pada Pilpres 2024.

“Praktik-praktik kekuasaan yang vulgar dan berkelindan dengan hukum ini apakah masih akan terus dinormalisasi? Sudah pasti implikasi yang sangat besar adalah pada penyelenggaraan kekuasaan kenegaraan yang tidak akan bertumpu pada kemaslahatan dan kesentosaan rakyat banyak. Apalagi kelompok rentan diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya,” pungkasnya.

Seperti diketahui, besok MK menggelar sidang dengan agenda pembacaan putusan PHPU Tahun 2024 yang dimohonkan oleh paslon nomor 01 Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar (Amin) dan paslon 03 Ganjar Pranowo - Mahfud MD.

Dalam petitumnya, kedua paslon itu meminta MK mendiskualifikasi pasangan 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024, dan memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU).

Adapun peringatan Hari Kartini digelar sebagai salah satu rangkaian kegiatan Kampus Menggugat. Civitas Akademika UGM memaknai Hari Kartini sebagai tonggak pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan