Polemik Kalijodo
Meski Tarif Sekali Kencan Rp 150.000, Pelanggan Kalijodo Tak Melulu Kelas Bawah
Pada siang hari kondisi jalan relatif lengang, hanya terlihat beberapa PSK yang keluar dari rumah bordil
Di saat bersamaan, pengunjung tempat pelacuran yang sudah melegenda itu juga semakin bertambah.
Puluhan calo juga mulai aktif menawarkan cafe atau perempuan penghibur kepada pengendara yang melintas di kawasan Kalijodo.
Praktik prostitusi yang terjadi di kawasan Kalijodo merupakan potret nyata kehidupan kaum urban yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan formal di Jakarta.
Bermodal pendidikan rendah, mereka datang ke Jakarta mengadu nasib.
Kata seorang PSK bernama RN (28), mayoritas teman-temannya tidak punya niat menjadi PSK ketika merantau ke Jakarta.
"Biasanya mereka bekerja sebagai pembantu atau di toko-toko. Kemudian ada yang nawarin dan mereka tergiur. Tapi tidak sedikit juga yang direkrut langsung dari daerah untuk bekerja di sini," kata RN.
Genderang perang
Kalijodo mulai bergeliat sejak 1960an. Awalnya, hanya dua tempat hiburan.
Tetapi kemudian, kawasan itu berkembang sebagai sebuah kawasan prostitusi dan perjudian besar.
Hingga saat ini, setidaknya terdapat 65 tempat hiburan malam dan wisma yang masing-masing mempekerjakan lima sampai enam wanita penghibur.
Pada 1998 lokalisasi tersebut pernah digusur oleh Gubernur Sutiyoso. Beberapa germo terusir dengan ganti rugi uang. Namun tak lama lokalisasi itu hidup kembali.
Pada 2002, terjadi keributan besar yang melibatkan dua geng besar penguasa Kalijodo. Saat bersamaan, perjudian di sana ditutup.
Di masa kepemimpinannya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama beberapa kali memberi sinyal bakal menertibkan kawasan itu dan dialihfungsikan menjadi ruang terbuka hijau. Tetapi rencana-rencana itu menguap begitu saja.
Beberapa hari belakangan Basuki kembali mewacanakan penertiban Kalijodo, dengan segala konsekuensinya.
Mendengar kabar itu, para PSK dan preman Kalijodo pun sudah memberikan sinyal perlawanan.