Kisah Nenek Tinah Dipecat dari 'Pasukan Orange', Salat di Trotoar Hingga Tidur Bareng Kucing
Cerita tentang Nenek Tinah yang diberhentikan dari pekerjaannya sebagai "pasukan oranye" menjadi viral di Facebook.
Editor:
Wahid Nurdin
Saat itu sayup-sayup azan Isya berkumandang di Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Di pinggir pagar kompleks itu, tepatnya di trotoar yang menghadap Gedung Kemenpora yang berada di seberang, terlihat sesosok perempuan yang sedang berdiri.
Dalam kegelapan malam dengan temaramnya lampu, lambat laun terlihat gerakannya menyerupai orang yang sedang menjalankan shalat.
Tidak nampak sajadah yang empuk terhampar, pun tidak terlihat mukena putih yang melekat di tubuhnya.
Sajadah yang menjadi alas hanya lembaran spanduk pemberitahuan.
Di depannya, tersandar sapu lidi dan di belakangnya baju oranye terlihat menyangkut di teralis pagar GBK.
Lokasi shalat di sebelah kanannya terserak tanah dan bebatuan dengan lubang galian yang menganga panjang karena ada pembongkaran trotoar, sedangkan di sebelah kirinya berdiri kokoh pagar GBK.
Lalu lintas kendaraan yang memang saat itu adalah jam keramaian, menyumbang kebisingan di lokasi.
Namun, perempuan itu berhasil menyelesaikan ritual kewajibannya untuk waktu malam.
Usai menjalankan shalat, Kompas.com pun menemuinya. Dia menyebut namanya adalah Nenek Tinah.
Tidak jelas berapa usianya. Berdasarkan tebakannya, dia lahir 3 tahun sebelum pelaksanaan Pemilu 1955.
"Saya tidak pernah meninggalkan shalat, itu sudah kewajiban," kata Nenek Tinah ditemui pekan lalu.
Trotoar itu jadi tempatnya beribadah lantaran tidak ada lokasi terdekat untuk shalat. Selain itu, ia meyakini waktu paling tepat beribadah adalah ketika suara azan memanggil.
Nenek Tinah merupakan warga kelahiran Pemalang, Jawa Tengah yang mengadu nasibnya di Jakarta pada akhir 1990an.
Ia berangkat ke Ibu Kota bersama suami dan anaknya.