Kamis, 6 November 2025

Polisi Berlebihan Jika Menilang Pengemudi yang Mendengarkan Radio

"Kedua, radio itu kan one way, bukan perbuatan yang timbal balik seperti telepon misalnya yang harus meladeni orang lain bicara,"

TRIBUN PEKANBARU/BUDI RAHMAT
Ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai, penafsiran Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto yang menyatakan bahwa mendengarkan musik atau radio saat menyetir sebagai bentuk pelanggaran undang-undang itu berlebihan.

Baca: Sang Ajudan Kini Jadi Pengangguran Setelah Rita Ditahan, Jam Tangannya pun Disita KPK

"Menurut saya, tafsir atas ketentuan itu berlebihan, lebay. Kalau kegiatan-kegiatan yang memang nyata-nyata menghilangkan konsentrasi, seperti misalnya merokok, terus kemudian menerima telpon, nah itu masih bisa diterima bahwa perbuatan itu bisa menghilangkan konsentrasi," ujar Abdul saat dihubungi Kompas.com, Kamis (1/3/2018).

Budiyanto sebelumnya menyebut bahwa mendengarkan musik dan radio beserta kegiatan lainnya seperti merokok, menggunakan ponsel, dan terpengaruh minuman beralkohol melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 106 Ayat 1 junto Pasal 283 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 106 Ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.

Kemudian dalam Pasal 283 disebutkan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 750.000.

Nah, menurut Abdul, mendengarkan radio dalam perjalanan dapat memudahkan pengendara menerima berbagai informasi yang mencerdaskan.

Selain itu, kata dia, mendengarkan radio tidak memerlukan komunikasi dua arah sehingga konsentrasi pengemudi yang mendengarkan radio tersebut tetap terjaga.

"Kedua, radio itu kan one way, bukan perbuatan yang timbal balik seperti telepon misalnya yang harus meladeni orang lain bicara," ucap Abdul.

Ia pun berpendapat, dari segi hukum, Budiyanto tak bisa menafsirkan peraturan tersebut secara serampangan.

"Nanti jadi pasal karet kalau tafsirnya melebar. Kalau mau menetapkan, maka harus melalui peraturan pemerintah. Kalau ada evaluasi oke. Tapi harus disampaikan kepada yang berwenang," kata dia.

Data Valid

Saat dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Profesor Topo Santoso mengatakan, tafsir suatu undang-undang beserta kebijakannya harus dilandaskan pada penelitian atau data-data yang valid.

Setidaknya, kata dia, ada hasil penelitian yang menjadi dasar penafsiran tersebut. Ia lantas mencontohkan penelitian mengenai bahaya bertelepon saat menyetir.

"Misalnya dulu ada data mengenai kecelakaan karena telepon, kan sudah ada penelitiannya dan di luar negeri sudah dilarang juga karena menggunakan ponsel akan memecah konsentrasi. Kalau misalnya menyopir memang tidak bisa nonton televisi, tetapi kalau mendengarkan musik apakah sudah ada risetnya?" sebut Topo.

Ia menegaskan, harus ada kajian mendalam mengenai hal ini sebelum membuat tafsir baru mengenai suatu peraturan. Jika tidak, menurut dia, penafsiran undang-undang yang terlalu luas bisa membatasi kebebasan masyarakat.

"Nanti mereka takut membawa anak karena kan juga bisa memecah konsentrasi. Belum lagi untuk industri hiburan melalui musik dan radio. Pasti terdampak itu," tandasnya. (Sherly Puspita)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pengamat: Dengarkan Musik Saat Menyetir Disebut Langgar UU Itu Berlebihan"

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved