Demo di Jakarta
Analisis dan Solusi Pakar Transportasi, Penyebab Halte Selalu Jadi Objek Amukan Demonstran
Kerusakan sejumlah halte imbas demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia terutama Jakarta menjadi perhatian pemerhati transportasi
Penulis:
Facundo Chrysnha Pradipha
Editor:
Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Kerusakan sejumlah halte imbas demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia terutama Jakarta menjadi perhatian pemerhati transportasi, Muhammad Akbar.
Hal itu terjadi pada demonstrasi yang berlangsung dalam sepekan ini, imbas amukan massa lantaran seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan meninggal ditabrak dan dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob pada Kamis (28/8/2025) malam.
Aksi demonstrasi bermula pada 25 Agustus 2025 untuk menolak gaji dan tunjangan anggota DPR, lalu demo 28 Agustus 2025 tuntutan hak buruh, dan demo 29 Agustus 2025 bergeser ke tuntutan keadilan atas Affan dengan elemen reformasi Polri.
Adapun Muhammad Akbar yang merupakan mantan Kepala Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta itu memberikan catatan, halte adalah wajah negara yang minim penjagaan.
Menurutnya, halte dan jembatan penyeberangan orang (JPO) mudah dijangkau, tersebar di jalan utama, tapi tanpa pagar atau aparat bersenjata, menjadikannya sasaran empuk demonstran.
Dalam psikologi sosial, jelas Akbar, kemarahan yang tak tersalurkan ke gedung DPR atau kantor kementerian beralih ke objek terdekat seperti halte.
Penyusupan provokator dan oportunis juga memperkeruh situasi.
“Ada unsur luar yang memicu kekacauan atau penjarah yang memanfaatkan momen,” jelas Akbar dalam keterangannya pada Rabu (3/9/2025).
Visual halte terbakar yang dramatis pun mudah viral, memperkuat persepsi negatif di media sosial.
Untuk mengatasi pola perusakan berulang ini, Akbar mengusulkan solusi inovatif.
Yakni menjadikan halte kokoh dan berbasis komunitas.
Baca juga: Mantan Intel BIN Sebut Ada Skenario Besar dalam Demo Ricuh, Aparat dan Massa Dikendalikan Sosok Ini
“Halte harus kokoh secara fisik dan kuat secara sosial—bukan sekadar struktur indah, tapi ruang publik yang tangguh menghadapi risiko,” katanya.
Desain halte saat ini meski estetis, lanjut Akbar, rentan karena bahan kaca dan akrilik mudah dirusak.
“Halte bisa didesain modular, tahan api, anti-vandal, dan mudah diganti. Kamera pengawas tersembunyi dan pengamanan berbasis komunitas sangat penting,” jelasnya.
Akbar membayangkan inisiatif “Sahabat Halte”, melibatkan warga seperti pengemudi ojek, pedagang, dan pelajar untuk merawat halte melalui mural, pameran karya anak-anak, atau aksi bersih-bersih rutin.
“Ketika warga merasa memiliki, mereka akan menjaga. Seperti mushola kampung, halte bisa jadi ruang hidup bersama,” ungkapnya.
Akbar juga menyoroti dampak operasional kerusakan ini.
“Ada 18 lokasi simpang yang terdampak, dari Jatinegara hingga Senen, mengganggu arus lalu lintas dan memicu kemacetan,” ujarnya, merujuk kericuhan terkini.
Ia mengenang kerusakan 46 halte pada 2020 yang merugikan Rp 65 miliar, menunjukkan pola berulang.
Meski Pemprov DKI menargetkan perbaikan selesai 9 September, Akbar menegaskan solusi jangka panjang ada pada relasi sosial.
“Perusakan halte adalah gejala ketimpangan sosial dan kegagalan komunikasi. Menjadikan halte simbol kehadiran negara yang manusiawi melalui keterlibatan komunitas adalah kunci,” tutupnya.
Peran 38 Tersangka
Sebanyak 38 orang ditetapkan sebagai tersangka kasus kericuhan yang terjadi saat aksi demo di Jakarta pada 25–31 Agustus 2025, pekan lalu.
Aksi demo yang berlangsung sejak 25 Agustus 2025 itu, berawal dari aksi “Bubarkan DPR RI” di Jakarta.
Aksi tersebut, dipicu kemarahan publik terhadap pernyataan kontroversial sejumlah anggota DPR terkait gaji dan tunjangan DPR Rp50 juta, serta tuntutan reformasi lembaga legislatif.
Puncak kemarahan terjadi pada 28 Agustus 2025, saat Affan Kurniawan (21) pengemudi ojek online, tewas dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat.
Aksi demonstrasi pun berlanjut, berujung pada perusakan sejumlah fasilitas umum, termasuk halte Transjakarta dan area MRT.
Polda Metro Jaya telah memaparkan hasil penanganan aksi unjuk rasa di Jakarta.
Total 1.240 orang diamankan, terdiri 611 orang dewasa dan 629 anak-anak.
Dari jumlah tersebut, diperoleh tiga pelaksanaan pengamanan: 357 orang pada 25 Agustus, 814 orang pada 28–29 Agustus, serta 69 orang pada 31 Agustus.
Hal tersebut, disampaikan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (2/9/2025).
Menurut Ade Ary, sebanyak 38 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kericuhan di Jakarta.
Baca juga: Pemprov DKI: Infrastruktur MRT dan 31 Halte Trans Jakarta Rusak, Total Kerugian Rp51 Miliar
Selanjutnya, seluruh tersangka itu dilakukan penahanan.
"Hingga hari ini (Selasa) kami telah melakukan penahanan terhadap 38 tersangka," kata Ade Ary.
Para tersangka diduga terlibat berbagai tindakan saat kericuhan, seperti melempar molotov dan batu hingga memukul petugas menggunakan bambu.
Molotov bisa diartikan senjata pembakar yang dilempar dengan tangan, terdiri dari wadah mudah pecah berisi zat mudah terbakar dan dilengkapi sumbu.
Selain itu, kata Ade Ary, para tersangka melawan dan menghalangi petugas yang sedang menjalankan tugas.
"Serta melakukan kekerasan secara bersama-sama terhadap Polsek Cipayung, Jakarta Timur," jelasnya.
Beberapa tersangka juga merusak kendaraan, membakar halte Transjakarta, serta menghasut pelajar untuk bertindak anarkis.
Ade Ary menambahkan, ada yang diduga menghasut pelajar melalui ajakan provokatif. Bahkan, ada yang merusak fasilitas umum Halte Bus Transjakarta.
"Salah satu tersangka juga ditahan karena membakar halte bus Transjakarta di depan sebuah mal berinisial F di Jalan Sudirman," tuturnya.
Positif Narkoba
Dijelaskan pula, terdapat 22 orang positif narkoba, dengan rincian 14 positif sabu, 3 ganja, dan 5 benzoat.
Hal tersebut, berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap para tersangka.
Polda Metro Jaya kini masih terus melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mengungkap aktor intelektual di balik kericuhan tersebut.
Baca juga: Situasi Terkini Gedung DPR Pasca Demo: Mobil Anggota Dewan Tanpa Plat Nomor Khusus
Polisi Tetapkan 6 Tersangka Penghasut Aksi Anarkis
Dalam perkembangannya, Polda Metro Jaya menetapkan enam orang sebagai tersangka utama penghasut aksi anarkis melalui media sosial.
Adanya tindakan penghasut tersebut, memicu kerusuhan di sejumlah titik Jakarta pada 25 hingga 31 Agustus 2025.
Keenam orang yang ditetapkan sebagai tersangka, berinisial DMR, MS, SH, KA, RAP, dan FL.
Adapun peran para tersangka di antaranya, admin akun penghasut, penyebar ajakan perusakan, hingga pembuat tutorial bom molotov.
DMR merupakan admin akun Instagram berinisial Lokataru Foundation (LF).
"DMR berperan melakukan kolaborasi dengan sejumlah akun IG lain untuk menyebarkan ajakan provokatif, termasuk seruan kepada pelajar agar tidak takut turun ke jalan dengan narasi 'aksi kita lawan bareng'," ucap Kabid Humas Polda Metro Jaya.
Kemudian, tersangka MS berperan sebagai admin akun Instagram Blok Politik Pelajar (BPP) yang menyebarkan ajakan lebih spesifik ke arah perusakan fasilitas melalui kolaborasi konten bersama akun lain.
Lalu, peran SH sebagai admin akun Instagram Gejayan Memanggil terlibat dalam kolaborasi antar-akun IG untuk menyebarkan ajakan serupa yang mengarah pada tindakan perusakan.
Untuk peran KA sebagai admin akun Instagram Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP) juga aktif berkolaborasi dalam penyebaran ajakan pengrusakan lewat media sosial.
Selanjutnya, peran RAP sosok yang diduga sebagai perakit bom molotov.
RAP juga dikenal sebagai Prof R. Admin akun Instagram @RAP, diduga memiliki peran lebih ekstrem, yakni membuat tutorial pembuatan bom molotov. RAP bertindak sebagai koordinator kurir bom molotov di lapangan.
Selain itu, ada tersangka FL sebagai admin akun media sosial berinisial FG. Ia diketahui menyiarkan langsung (live) aksi pada 25 Agustus 2025, sekaligus mengajak pelajar, termasuk anak di bawah umur, untuk ikut dalam kericuhan.
Atas perbuatannya keenam tersangka, mereka dijerat dengan Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 87 Juncto Pasal 76 H Juncto Pasal 15 Undang-Undang Perlindungan Anak dan atau Pasal 45 A ayat 3 Juncto Pasal 28 Ayat 3 Undang-Undang ITE.
Diketahui, kericuhan bermula dari aksi damai mahasiswa, pelajar, dan sejumlah elemen masyarakat yang menyuarakan aspirasi terkait isu nasional di Jakarta.
Namun, situasi berubah diduga disusupi provokator hingga terjadi kericuhan.
33 Orang Jadi Tersangka Pembakaran dan Perusakan Gedung Grahadi Surabaya
Tak hanya di Jakarta, kericuhan aksi terjadi di Surabaya, Jawa Timur.
Bahkan, terjadi pembakaran dan perusakan Gedung Grahadi, Mapolsek Tegalsari, dan Pos Polisi di Surabaya hingga Sidoarjo, pada Jumat (29/8/2025) hingga Sabtu (30/8/2025) malam.
Atas peristiwa tersebut, sebanyak 33 orang ditetapkan sebagai tersangka pembakaran dan perusakan Gedung Grahadi.
Terdiri dari 22 orang tersangka ditangkap Satreskrim Polrestabes Surabaya, sembilan orang tersangka ditangkap Ditreskrimum Polda Jatim, dan dua orang tersangka ditangkap Satreskrim Polresta Sidoarjo.
Menurut Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Jules Abraham Abast, para tersangka yang ditangkap itu ada yang berusia dewasa dan berusia di bawah umur.
Khusus anak di bawah umur yang berstatus anak berkonflik dengan hukum (ABH), ada yang diserahkan pihak lembaga khusus pendampingan ABH selama proses hukum berlanjut.
"Mengenai rentang usia dalam hal ini tentu saya tidak bisa menyebutkan secara pasti satu persatu usia mereka. Namun ada pelaku dewasa dan ada yang masih anak," ujarnya pada awak media di Mapolda Jatim, pada Selasa (2/9/2025), dilansir Surya.co.id.
Disinggung soal motif khusus dari para tersangka melakukan aksi anarkis tersebut, Jules menjelaskan, penyidik masih melakukan pengembangan dalam proses pemeriksaan.
Mengenai konstruksi hukum yang dikenakan pada para tersangka, mereka dikenakan Pasal 363 KUHP pencurian dengan pemberatan.
Lalu, Pasal 170 KUHP kekerasan dengan orang atau barang, termasuk UU Darurat No 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata.
Selain itu, para tersangka dikenakan Pasal 212 KUHP tentang melawan petugas yang sedang bertugas.
Kemudian, Pasal 351 Ayat 1 tentang penganiayaan yang menyebabkan orang lain terluka.
Ada juga, Pasal 187 Ayat 1 Jo Pasal 53 Tentang percobaan pembakaran, serta Pasal 406 tentang pengrusakan.
Sebelumnya, 580 orang ditangkap Polisi selama terjadinya kerusuhan di enam kabupaten kota wilayah Jatim selama tiga hari sejak Jumat-Minggu (29-31/8/2025).
Sebagian artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul BREAKING NEWS 33 Orang Ditetapkan Tersangka Pembakaran Grahadi dan Pos Polisi di Surabaya-Sidoarjo
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Suci Bangun DS, Reynas Abdila, Surya.co.id/Luhur Pambudi)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.