Saksi Hidup Cerita Mencekamnya Suasana Lubang Buaya pasca G30S/PKI: Truk Tentara Masuk Kampung
Muhammad Yasin (72) saksi kecil G30S/PKI ingat suasana mencekam Lubang Buaya 1965 yang mirip adegan film Pengkhianatan G30S.
TRIBUNNEWS.COM - Muhammad Yasin (72) menceritakan suasana mencekam di Lubang Buaya, Jakarta Timur saat peristiwa G30S/PKI.
G30S/PKI adalah singkatan dari Gerakan 30 September oleh Partai Komunis Indonesia, sebuah peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia yang terjadi pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965.
Dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), sebanyak tujuh perwira tinggi TNI Angkatan Darat menjadi korban penculikan dan pembunuhan.
Mereka dikenal sebagai Pahlawan Revolusi, dan jasadnya ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Daftar Perwira Tinggi yang Diculik dan Dibunuh:
Jenderal TNI Ahmad Yani – Menteri/Panglima Angkatan Darat
Letjen TNI R. Soeprapto – Deputi II Menteri/Panglima Angkatan Darat
Letjen TNI M.T. Haryono – Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat
Mayjen TNI S. Parman – Asisten I Intelijen Menteri/Panglima Angkatan Darat
Mayjen TNI D.I. Panjaitan – Asisten IV Logistik Menteri/Panglima Angkatan Darat
Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo – Inspektur Kehakiman Angkatan Darat
Kapten Czi Pierre Tendean – Ajudan Jenderal Ahmad Yani (ikut menjadi korban saat berusaha melindungi atasannya)
Ketujuh tokoh ini kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi oleh pemerintah Indonesia. Peristiwa ini menjadi titik balik sejarah nasional dan memicu perubahan besar dalam struktur politik Indonesia, termasuk naiknya kekuasaan militer dan berakhirnya era Presiden Soekarno.
Pemerintah saat itu menyebut PKI sebagai dalang kudeta terhadap negara.
Peristiwa ini menjadi titik awal pembersihan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI. Diperkirakan ratusan ribu orang tewas dalam operasi anti-komunis di berbagai daerah. G30S/PKI menjadi dasar lahirnya Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer ditayangkan wajib setiap 30 September selama era Orde Baru.
Film ini menjadi alat propaganda negara untuk membentuk persepsi publik tentang peristiwa tersebut.
Bagi Muhammad Yasin (72), menonton film Pengkhianatan G30S/PKI di era Orde Baru bukan sekadar tontonan wajib setiap 30 September.
Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah sebuah film dokumenter-dramatis sejarah Indonesia yang disutradarai oleh Arifin C. Noer dan diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN).
Film ini dirilis pada 1984 dan menggambarkan versi resmi pemerintah Orde Baru tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang disebut sebagai kudeta oleh PKI.
Film ini mengisahkan penculikan dan pembunuhan 7 perwira tinggi TNI AD oleh kelompok yang dikaitkan dengan PKI. Menampilkan adegan-adegan dramatis seperti latihan militer Gerwani, penggerebekan rumah warga, dan pembuangan jenazah ke Lubang Buaya.
Film ini menjadi tayangan wajib setiap 30 September selama era Orde Baru, sebagai bagian dari pendidikan ideologi dan propaganda anti-komunis.
Pemeran tokoh-tokoh militer dan sipil dilakukan oleh aktor profesional, dengan narasi yang mengikuti versi sejarah resmi saat itu.
Layar televisi yang menayangkan adegan-adegan kelam itu justru mengembalikan ingatannya pada masa kecil.
Yasin mengalami langsung peristiwa berdarah itu.
Secara singkat, G30S/PKI merupakan peristiwa kudeta yang terjadi pada malam 30 September – dini hari 1 Oktober 1965, di mana sejumlah perwira tinggi TNI Angkatan Darat diculik dan dibunuh, lalu jasadnya dibuang ke sebuah sumur di kawasan yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya di Jakarta Timur.
Partai Komunis Indonesia (PKI) disebut-sebut sebagai dalang di balik kudeta itu.
“Waktu kecil saya memang lihat sendiri suasana kampung saat itu. Begitu nonton filmnya, kok banyak yang mirip dengan yang saya alami,” ujar Yasin saat wawancara eksklusif dengam TribunJakarta.com, Senin (29/9/2025).
Yasin memang warga asli Lubang Buaya, Jakarta Timur. Rumahnya tak jauh dari lokasi yang saat ini jadi Monumen Pancasila Sakti.
Saat peristiwa G30S itu meletus, Yasin masih kelas 3 Sekolah Rakyat.
Hampir tiap hari, ia menonton beragam kesenian di rumah Bambang Harjono yang merupakan Kepala Sekolah Rakyat.
Di mana rumah tersebut, juga dijadikan lokasi latihan militer Pemuda Rakyat dan Gerwani, organisasi sayap partai milik PKI.
Namun setelah September 1965, situasi berubah mencekam. Malam-malam, tentara datang menggerebek rumah warga.
“Kalau ada pakaian hijau bisa bahaya, makanya banyak yang disembunyiin. Saya masih ingat betul ketakutannya,” katanya.
Karenanya, ketika menonton film garapan Arifin C. Noer itu, Yasin merasa seolah peristiwa yang pernah dilihat langsung kembali diputar.
“Adegan latihan di sawah, truk tentara masuk kampung, sampai penggerebekan itu sama persis dengan yang saya lihat waktu kecil,” ujarnya.
Meski begitu, ia juga menilai ada bagian film yang dilebih-lebihkan.
“Namanya film mungkin ada dramatisasi, tapi garis besar ceritanya memang saya alami,” tuturnya.
Setelah reformasi 1998, film ini menjadi bahan perdebatan karena dianggap mengandung unsur propaganda, dramatisasi berlebihan, dan tidak sepenuhnya akurat secara sejarah. Banyak sejarawan dan peneliti mulai menggali ulang peristiwa G30S/PKI dari berbagai sudut pandang.
Artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com
Sumber: TribunJakarta
| Ayah Menyandera Dua Anak Kandung di Ruko Pasar Rebo, Diduga ODGJ |
|
|---|
| Kasus Suami Bakar Istri di Jakarta Timur, Korban Pernah Bantu Pelaku Sembunyi Dari Kejaran Polisi |
|
|---|
| Aktivitas Nikita Mirzani di Penjara: Menjahit, Mengaji, Bikin Mote Lalu Ghibah |
|
|---|
| Prakiraan Cuaca DKI Jakarta Besok, 17 Oktober 2025: Hujan Ringan di Seluruh Wilayah |
|
|---|
| Fakta-fakta Suami Bakar Istri di Jakarta Timur, Kasus Diselidiki, Tabiat Pelaku Dibongkar Warga |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.