Jumat, 12 September 2025

Kasus Century

Timwas Century: Aulia Pohan Diduga Terlibat Kasus Century

Mantan Deputi gubernur Bank Indonesia, Aulia Pohan diduga kuat berperan dan memiliki keterlibatan dalam mata rantai kasus

zoom-inlihat foto Timwas Century: Aulia Pohan Diduga Terlibat Kasus Century
Persda/TRIBUNNEWS.COM/Bian Harnansa
Mantan anggota Dewan Gubernur Aulia Tantowi Pohan (kiri) dikawal petugas polisi saat akan memberikan kesaksian di PN Tipikor, Jakarta. Rabu (16/7/2006) Aulia Pohan memenuhi pangilan sidang untuk menjadi saksi terkait kasus aliran dana YPPI sebesar 31,5 milyar dengan terdakwa Hamka Yamdhu dan Anthony Zeidra Abidin. (TRIBUNNEWS.COM/Bian Harnansa) 23 09 2008

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Deputi gubernur Bank Indonesia, Aulia Pohan diduga kuat berperan dan memiliki keterlibatan dalam mata rantai kasus Bank Century. Diduga besan presiden SBY ini terlibat mulai dari pemberian fasilitas GSM kepada Bank CIC.

"Untuk membongkar kasus bank Century secara tuntas mau tidak mau investigasi harus dimulai dari tahun 2000 ketika masih bernama Bank CIC," kata Anggota Timwas Century, Bambang Soesatyo kepada Tribunnews.com, Selasa(14/8/2012).

Bambang mengatakan, Bank CIC ikut serta dalam program GSM 102 pada tahun 2000 dan 2001 dengan jumlah fasilitas yang diterima sebesar  US$ 953.9 juta diberikan oleh Commodity Credit Corp melalui USDA. Dana tersebut diterima dari tiga bank, yakni SCB US$ 191.4 juta, Bank Denver US$ 616 juta, dan Deutsche Bank US$ 146.5 juta

Alokasi yang diberikan untuk Indonesia lanjut Bambang secara total adalah US$ 1,2 milyar, dimulai sejak bulan Oktober 1999 dengan plafon awal US$ 400 juta.

"Ada 14 bank lokal termasuk bank BUMN yang ditunjuk oleh BI sebagai bank pelaksana. Adalah suatu keanehan bahwa dari plafon yang diberikan kepada Indonesia sebesar US$ 1,2 milyar, Bank CIC mendapatkan alokasi sebesar US$ 950 juta atau hampir 85% dari keseluruhan fasilitas," jelasnya.

Bank CIC ketika itu kata Bambang adalah bank kecil yang baru mendapat izin sebagai bank devisa, tidak mempunyai track record sebagai international banking maupun trade financing tapi diberi rekomendasi oleh BI untuk mendapatkan plafon sampai US$ 950 juta. Fasilitas GSM-102 ini berjangka waktu 3 tahun (secara blanket). Ini bukan berarti bahwa fasilitas yang diberikan kepada importir juga 3 tahun.

Fasilitas yang diberikan kepada importir tentunya mengikuti jangka waktu LC sebagai underlying transaction dan sifatnya self liquidating. Artinya pada saat importir melunasi financing import tersebut, maka bank pelaksana harus melakukan pembayaran kepada bank pemberi kredit. Hal inilah yang tidak dilakukan oleh Bank CIC sehingga dapat memanfaatkan fasilitas GSM-102 sebagai suatu pembiayaan tetap berjangka waktu 3 tahun, dalam US$ dengan bunga rendah (karena 80% risiko kredit ditanggung oleh CCC).

"Industri perbankan semakin terpuruk dengan langkanya sumber dana pihak ketiga mengakibatkan pinjaman interbank lokal  sampai mencapai 90% per tahun. Kondisi semakin memburuk sampai  LC  yang diterbitkan oleh bank di Indonesia harus dikonfirmasi oleh bank asing untuk dapat di negosiasikan di LN," jelas Bambang.

Dalam kondisi pasar yang demikian, menurut Politisi Golkar ini tiba-tiba muncul  sebuah bank kecil bernama CIC Bank menikmati likuiditas murah untuk jangka waktu 3 tahun. Sebanyak hampir US$ 1 milyar atau equivalent Rp12 triliun dengan kurs pada waktu itu.

Sekejap CIC dikenal sebagai bank yang bisnisnya terfokus pada trade financing. Aset dan kewajiban bank ini juga meningkat pesat. Jika pada September ,2000 kewajiban CIC masih sekitar Rp 4,4 triliun, per September 2001 melonjak dua kali lipat menjadi Rp 9,2 triliun.

Ironisnya, rasio kecukupan modal (CAR)  menurun dari 10,83 persen pada September 2000  menjadi 4,87 persen per September 2001.

"Berbekal likuiditas dari fasilitas GSM 102 yang diputar dulu CIC Bank membeli instrumen pasar uang valuta asing melalui Chinkara Capital yang juga adalah pemegang saham, CIC berspekulasi dalam membeli instrumen derivative semacam Credit Linked Notes dan instrument lain yang terdapat spread antara harga beli dengan face value," ungkap Bambang.

Bank CIC juga melakukan investasi antara lain membeli US Treasury Strips sebesar US$ 177 juta berjangka waktu 10 tahun dan tidak berbunga. (catatan: US Treasury Strips adalah instrumen yang diterbitkan oleh Bank Sentral Amerika berupa Bonds berjangka waktu 10 tahun dimana coupon pembayaran bunga setiap 6 bulan telah dipisahkan (strip) dan dijadikan instrumen bond tersendiri.
Dengan demikian US Treasury strip Bond hanya terdiri dari prinsipalnya saja atau sama dengan zero coupon bond). Alias tidak menghasilkan pendapatan bunga karena sudah ditarik di depan.

Investasi lainnya adalah dalam instrument Credit Linked Notes CLN yang dibeli sebesar USD 225 juta berkaitan dengan pinjaman pemerintah Indonesia yang akan jatuh tempo pada akhir 2005. Instrumen ini dikenal dengan CLN/ROI 2005.

Berkaitan dengan dugaan penyelewengan atas pengelolaan fasilitas GSM-102 tersebut BI kemudian menerjunkan tim pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan di CIC pada bulan Juli hingga November 2001.

Laporan hasil pemeriksaan BI yang dilakukan pada bulan Juli sampai November 2001 sesungguhnya memberikan gambaran kondisi bank yang lebih realistis dengan berbagai macam pelanggaran perihal ketentuan CAR, NPL, Legal Lending Limit.

"Kondisi CIC ketika itu dapat dikatakan "setengah hidup", hampir 70% sumber dana berasal dari GSM-102. Hasil pemeriksaan BI tersebut ditindak lanjuti dengan surat BI tertanggal 22 Juli 2002 berupa teguran. Sebab managemen dan pemegang saham tidak menanggapi temuan dari hasil pemeriksaan BI November 2001 dengan suatu action plan yang dapat memperbaiki kondisi bank," jelasnya.

Wakil Bendahara Umum Partai Golkar ini juga mempertanyakan kenapa Bank CIC melakukan investasi di US Treasury STRIPS. Patut diduga bahwa coupon bunga untuk jangka waktu 10 thn  yang sudah menjadi menjadi obligasi baru τεlαħ ditarik tunai di depan, walaupun dalam pembukuan tercatat sebesar US$ 177juta namun dana yang dikeluarkan tidak sebesar itu karena dikurangi pendapatan  bunga selama 10 tahun yang ditarik di muka.

Demikian juga untuk instrument CLN ROI sebesar $225juta.

"Menurut sang empunya bank, ini atas perintah Aulia Pohan. Barangkali pada awalnya instrumen ini cukup menjanjikan akan membawa untung, karena sebagai pejabat BI tentunya paling mengetahui apakah pinjaman pemerintah yang akan jatuh tempo 2005 dibayar atau tidak. Yang jelas instrumen derivative ini dijual oleh pasar dengan tingkat discount yang tinggi karena country risk Indonesia masih tinggi," pungkasnya.

Berita Terkait: Skandal Century

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan